Suara Kritis di Tengah Demokrasi yang Terkoyak

Zainal Arifin Mochtar
 
0
61
Zainal Arifin Mochtar
Zainal Arifin Mochtar, Akademisi, Aktivis Antikorupsi (@ugm.yogyakarta)

Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. adalah akademisi, pakar hukum tata negara, dan aktivis anti-korupsi yang tak gentar bersuara lantang dalam mengawal demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. Keberanian dan ketajamannya dalam mengupas isu hukum dan politik tercermin dari caranya berargumen – tegas, padat, dan sering kali dengan sentuhan satire. Lantang mengkritik kebijakan yang melemahkan hukum, membela independensi KPK, hingga terlibat dalam film dokumenter Dirty Vote yang mengungkap dugaan kecurangan Pemilu 2024, ia tak gentar menghadapi tekanan. Tak hanya melalui mimbar akademik, ia juga aktif berdiskusi di ruang publik dan platform digital, menjadikannya sosok yang dihormati sekaligus disegani, bahkan oleh para penguasa (oligarki) yang sering menjadi objek kritiknya.

Zainal Arifin Mochtar lahir di Makassar pada 8 Desember 1978. Ia merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara yang tumbuh dalam lingkungan keluarga religius dan akademis. Ayahnya, KH Mochtar Husein, adalah seorang ulama besar dari tanah Mandar, Sulawesi Barat, yang dikenal dengan julukan “Singa Podium” karena kefasihannya dalam berdakwah. KH Mochtar Husein mendirikan Pondok Pesantren Nuhiyah Pambusuang di Polewali Mandar dan pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan. Ibunya, Hj. Ummi Zaitun, adalah sosok yang membesarkan Zainal Arifin Mochtar dalam suasana penuh nilai-nilai Islam dan pendidikan. Lingkungan pesantren yang dinamis membuat Zainal Arifin Mochtar sejak kecil akrab dengan diskusi keagamaan dan pemikiran kritis.

Pria yang akrab dipanggil ‘Mas Uceng’ ini menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Makassar pada 1994–1997. Awalnya, ia bercita-cita menjadi seorang geolog dan memilih Jurusan Teknik Geologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai pilihan pertama dan Fakultas Hukum sebagai pilihan kedua. Takdir membawanya ke dunia hukum ketika ia justru diterima di Fakultas Hukum UGM. Meski sempat mencoba kembali masuk ke jurusan geologi dua tahun kemudian, ia tetap harus melanjutkan studinya di bidang hukum. Selama masa kuliah, Zainal aktif dalam berbagai diskusi dan kegiatan akademik yang membentuknya menjadi pribadi yang kritis dan vokal. Ia tergabung dalam kelompok diskusi “Forum Rabu” yang membahas filsafat, hukum, dan kebijakan publik. Di lingkungan ini, ia semakin tajam dalam berpikir dan berani menyuarakan pendapat.

Pada 2003, Zainal Arifin Mochtar menyelesaikan studi S1 di Fakultas Hukum UGM dengan skripsi bertajuk “Konsep Pertanggungjawaban Pelaku Crimes Against Humanity di Pengadilan HAM”. Setelah lulus, ia bergabung sebagai peneliti di Mahkamah Konstitusi (MK) di bawah bimbingan Prof. Jimly Asshiddiqie. Ia kemudian melanjutkan studi S2 di Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat, dan meraih gelar Master of Laws (LL.M.) pada 2006 dengan tesis berjudul “The Dusk of Human Rights (The Threat of Privatization for Economic and Social Rights in Indonesia)”. Selain itu, ia juga mengikuti program Summer School Administrative Law di Maastricht University, Belanda, dan Summer School American Legal System di Georgetown Law School, Washington, AS. Pada 2012, ia berhasil menyelesaikan studi doktoralnya di UGM dan meraih gelar Doktor Ilmu Hukum.

Karier akademik Zainal Arifin Mochtar dimulai saat ia bergabung sebagai dosen di Fakultas Hukum UGM pada 2014. Ia mengajar di Departemen Hukum Tata Negara dan aktif dalam penelitian mengenai konstitusi, demokrasi, dan pemberantasan korupsi. Selain mengajar, ia menjabat sebagai Direktur Advokasi di Pusat Kajian Anti-Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM dari 2008 hingga 2017. Sebagai akademisi, Zainal Arifin Mochtar dikenal sebagai figur yang lantang mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Ia terlibat dalam berbagai riset dan advokasi hukum untuk memperkuat integritas institusi negara, khususnya dalam pencegahan korupsi.

Di luar dunia akademik, Zainal Arifin Mochtar juga dipercaya menduduki berbagai posisi strategis di lembaga publik. Ia menjadi anggota Tim Task Force Penyusunan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 2007, anggota Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2015–2017, dan Komisaris PT Pertamina EP pada 2016–2019. Pada 2020, ia juga ditunjuk sebagai anggota Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, sebuah tim yang berperan dalam menindak praktik pungli di berbagai institusi pemerintahan. Pada 2022, ia terlibat sebagai anggota Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sejak 2023, ia dipercaya menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan periode 2023-2026.

Pada 2014, namanya semakin dikenal luas setelah ditunjuk sebagai moderator dalam debat calon presiden dan wakil presiden yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam debat tersebut, Zainal Arifin Mochtar menunjukkan kredibilitasnya sebagai seorang ahli hukum yang netral dan tegas dalam mengajukan pertanyaan. Namun, perannya sebagai moderator juga menuai kontroversi, terutama karena sikapnya yang dianggap terlalu kaku dalam mengatur jalannya debat.

Pada 2024, namanya kembali menjadi perbincangan setelah terlibat dalam film dokumenter Dirty Vote. Film yang disutradarai oleh Dandhy Laksono ini mengungkap berbagai bentuk dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 dan menampilkan tiga pakar hukum tata negara: Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Film ini viral di media sosial dan memperoleh jutaan penonton dalam waktu singkat. Keberanian Zainal Arifin Mochtar dalam menyampaikan analisis hukum mengenai kecurangan pemilu menuai pujian sekaligus kritik. Beberapa pihak mendukung langkahnya sebagai bentuk kebebasan akademik, sementara pihak lain menilainya sebagai tindakan yang terlalu politis. Akibat film ini, ia bersama dua rekannya dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Forum Komunikasi Santri Indonesia (Foksi). Menanggapi laporan tersebut, Zainal Arifin Mochtar menegaskan bahwa Dirty Vote adalah produk akademis dan ia siap menghadapi segala konsekuensinya.

Sebagai akademisi yang produktif, Zainal Arifin Mochtar telah menghasilkan berbagai penelitian dan publikasi ilmiah. Beberapa penelitian penting yang ia lakukan meliputi “Pertanggungjawaban Hukum Partai Politik yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi” (2017), “Garis-Garis Besar Haluan Negara dalam Sistem Presidensial di Indonesia” (2016), serta “Fungsi Koordinasi dan Supervisi KPK Dalam Pemberantasan Korupsi” yang bekerja sama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan PUKAT FH UGM (2013). Selain itu, ia juga menulis sejumlah buku, di antaranya “Menegakkan Konstitusi Melawan Korupsi” (2018), “Menjerat Korupsi Partai Politik” (2018), dan “Lembaga Negara Independen” (2016).

Selain aktif di dunia akademik dan advokasi hukum, Zainal Arifin Mochtar juga memiliki rekam jejak dalam transparansi keuangan publik. Ia tercatat melaporkan hartanya ke LHKPN saat menjabat sebagai Komisaris PT Pertamina EP. Pada 2019, total kekayaannya tercatat sebesar Rp 7,6 miliar, yang terdiri dari tanah dan bangunan senilai Rp 5,1 miliar, alat transportasi dan mesin senilai Rp 585,5 juta, serta kas dan setara kas sebesar Rp 2,3 miliar.

Advertisement

Atas kontribusinya dalam dunia hukum dan demokrasi, Zainal Arifin Mochtar menerima berbagai penghargaan, salah satunya adalah Anugerah Konstitusi M. Yamin 2016 untuk kategori Pemikir Muda Hukum Tata Negara. Ia juga aktif berbagi pemikiran melalui media sosial, termasuk Instagram, X (Twitter), dan kanal YouTube pribadinya yang berisi diskusi hukum, politik, dan pemberantasan korupsi.

Sebagai seorang akademisi, aktivis hukum, dan pakar tata negara, Zainal Arifin Mochtar terus berperan dalam memperjuangkan supremasi hukum dan demokrasi di Indonesia. Keberaniannya dalam mengkritisi praktik yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan keterbukaan menjadikannya salah satu tokoh hukum yang disegani di Indonesia. Ia tidak hanya berkontribusi di dunia pendidikan, tetapi juga dalam advokasi dan reformasi kebijakan publik, memberikan dampak yang signifikan bagi sistem hukum dan demokrasi di Tanah Air. (atur/TokohIndonesia.com)

Referensi:

  • Situs Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)
  • Medsos Zainal Arifin Mochtar
  • Film Dokumenter “Dirty Vote” (2024)
  • Media Nasional: Kompas, Detik, dan lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini