Pangeran yang Ditakuti Belanda
KGPAA Mangkunegoro I
Bapak pendiri dinasti Mangkunagaran ini meninggalkan istana pada usia 16 tahun karena tidak betah dengan keadaan keraton yang tidak berdaulat bahkan patgulipat dengan penjajah Belanda. Selama 16 tahun ia memimpin pemberontakan melawan penjajah Belanda yang kemudian menjuluki dia, Pangeran Sambernyawa.
Raden Mas Said yang kemudian bergelar Mangkunegoro I lahir di Kartasura pada 7 April 1725. Ayahnya, Pangeran Aryo Mangkunegoro, dibuang Belanda ke Sri Lanka dengan tuduhan terlibat dalam rencana pemberontakan melawan Belanda. Peristiwa itu menumbuhkan rasa benci Raden Mas Said terhadap Belanda. Ia juga merupakan cucu dari Raja Mataram, Mangkurat IV. Setelah sang kakek wafat, tahta Mataram diduduki oleh Paku Buwono II (PB II) yang memerintah antara tahun 1726-1749.
Pada tahun 1741, Raden Mas Said bergabung dengan Sunan Kuning yang sedang memimpin perlawanan terhadap Belanda. Pada waktu Sunan Kuning memindahkan pusat perlawanannya ke Jawa Timur, Raden Mas Said tetap bertahan di Jawa Tengah. Untuk menumpas perlawanan itu, Belanda mengerahkan pasukan di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi. Perlawanan itu dapat ditumpas, tetapi Raden Mas Said tidak tertangkap.
Sementara itu, di bawah kepemimpinan PB II, kerajaan Mataram bersikap sangat lunak dalam menghadapi Belanda. Hal ini dibuktikan dengan penyerahan wilayah pantai utara pulau Jawa kepada Kompeni pada tahun 1743. Penyerahan itu menimbulkan ketidakpuasan di kalangan para pangeran. Ketidakpuasan semakin bertambah dengan adanya benteng kompeni di Kartasura dan serdadu Belanda yang ditempatkan di dalam istana.
Paku Buwono II (Raja Mataram) berjanji akan menghadiahkan daerah Maospati kepada Mangkubumi. Karena dihasut Belanda, janji itu dilanggarnya. Akibatnya, pada bulan Mei 1746, Mangkubumi memutuskan hengkang dari istana dan membangun kekuatan untuk melawan PB II. Mangkubumi bergabung dengan Raden Mas Said. Para bupati pesisir pun ikut mendukungnya.
Pada tahun 1749, Raden Mas Said yang tadinya ditugaskan untuk menangkap Mangkubumi justru membantu pangeran itu melawan PB II. Selama sembilan tahun mereka berjuang bersama-sama menentang Belanda. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor de Clerx dapat dihancurkan pada tahun 1751. Raden Mas Said kemudian bertahan di daerah Sukawati yang terletak di bagian timur Surakarta (sekitar kota Sragen).
Berkali-kali mereka mengadakan serangan mendadak sehingga sangat merugikan pasukan Belanda. Dalam pertempuran pada 12 Desember 1751, pasukan Raden Mas Said berhasil menguasai daerah Pacitan, Ponorogo, dan Madiun. Mengetahui kenyataan itu, pemerintah Belanda mulai ketakutan. Bahkan Belanda menawarkan perundingan hingga dua kali kepada Pangeran Sambernyawa itu (julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan Raden Mas Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya). Namun, tawaran itu ditolak Raden Mas Said.
Belanda akhirnya berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Pada 13 Februari 1755, Paku Bowono III, Pangeran Mangkubumi, dan Belanda mengadakan perundingan. Perundingan itu kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti yang berisi kesepakatan untuk membagi kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta di bawah PB III dan Kesultanan Yogyakarta di bawah Mangkubumi dengan gelar Hamengku Buwono I. Sementara itu, perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan Raden Mas Said.
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan Raden Mas Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya
Setelah selama enam belas tahun mengadakan perlawanan terhadap Belanda, lama-kelamaan Raden Mas Said menyadari bahwa perang yang berlarut-larut akan tambah menyengsarakan rakyat. Karena itulah ia memenuhi ajakan Paku Buwono III untuk berunding dengan Belanda demi mengakhiri perang.
Perjanjian antara VOC, PB III dan Raden Mas Said yang ditandatangani pada 24 Februari 1757 itu kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Salatiga. Perjanjian itu menetapkan bahwa Kasunanan Surakarta dibagi dua menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran. Raden Mas Said diangkat sebagai kepala daerah Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro I yang memperoleh sebagian wilayah Kasunanan Surakarta, yakni daerah Mangkunegaran.
Ia kemudian membentuk pasukan elite yang terdiri dari 18 pemuda, 2 diantaranya menonjol yakni Jayawiguna dan Jayautama. Pasukan itu memiliki semangat korps (L’Esprit de Coprs) yang sangat kuat dengan semboyan Tiji-Tibeh (mati siji mati kabeh) yang berarti mati satu mati semua. Dua orang pemimpin spiritual membimbing mereka, yaitu Kyai Adirasa dan Kyai Adisana.
Pasukan mereka kian hari kian bertambah besar. Di dalam pasukan dicetuskan sebuah prasetya yang dikenal sebagai Tri darma yaitu mulat sarira hangsara wani (kenalilah dirimu dan bersikaplah gagah berani), rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki), dan melu hangrungkebi (wajib ikut mempertahankan).
Mangkunegoro I wafat pada 28 Desember 1795 di Kartasura dan dimakamkan di Astana Mangadeg, sebuah makam kerabat keraton yang terletak 40 km dari kota Solo.
Atas jasa-jasanya kepada negara, KGPAA Mangkunegoro I dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 048/TK/Tahun 1988, tanggal 17 Agustus 1988. Bio TokohIndonesia.com | cid, red