Rujukan China Makassar

Shaifuddin Bahrum
 
1
555
Shaifuddin Bahrum
Shaifuddin Bahrum | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Kucini’nu ri alloa Kuso’nanu ri bangngia Muri-murinu Kakkala’ tamassarronu Tatkala kulihat kau di siang hari Kau jadi mimpi di malam hari Senyum malumu Ada tawa bahagia yang kau pendam

Itu adalah sebait puisi berbahasa Makassar, ciptaan Ho Eng Dji. Lewat puisi berjudul “Bunga Sibollo” (Sekuntum Bunga) itulah, Shaifuddin Bahrum mulai menelusuri kiprah kelompok etnis Tionghoa di Makassar, Sulawesi Selatan.

Bekal akademik dari Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin mendorong Udin, panggilannya, memilih karya sastra sebagai titik awal penelusurannya 10 tahun silam.

Kala itu, tahun 2000, ia diminta Asosiasi Tradisi Lisan di Jakarta untuk mempersiapkan materi kesenian dari Makassar untuk ditampilkan dalam Festival Budaya Peranakan China. Udin tertantang untuk menggali lebih dalam soal keberadaan komunitas kesenian China peranakan.

Setelah berkeliling mencari narasumber, Udin pun berkenalan dengan Giok Suherman, pensiunan TNI mantan anggota Korps Musik TNI AD, di Makassar. Sebagai salah seorang pemerhati lagu-lagu daerah, Giok memberi banyak informasi tentang Ho Eng Dji dan Fui Cung An, pentolan kelompok musik yang didominasi orang China peranakan pada periode 1930-1960-an.

“Ternyata, sejak Republik ini belum berdiri, banyak puisi, pantun, dan lagu daerah Makassar ciptaan seniman China peranakan. Saya semakin tertarik untuk menelusuri kiprah mereka,” tutur Udin di kantornya, Jalan Andi Mappaodang, Makassar, pekan lalu.

Lagu-lagu itu antara lain, “Ati Raja”, “Amma’ Ciang”, “Dendang-dendang”, “Sailong”, “Bunga Sibollo”, dan “Malino”. Lagu-lagu tersebut sangat melegenda di Bumi Anging Mamiri, tetapi tak banyak yang tahu bahwa itu adalah karya seniman peranakan China.

Ada pula Liem Kheng Yong, seniman yang menerjemahkan 64 cerita klasik China ke dalam bahasa Makassar dengan Lontara’, aksara tradisional Bugis-Makassar. Udin pun kian larut dalam penelitiannya. Bahkan ia mendapat tambahan informasi soal perkembangan kelompok musik China peranakan saat bertemu dengan anak dan cucu Fui Cung An.

Mengundang perhatian

Ketika data yang terkumpul semakin lengkap, Udin dikejutkan oleh pembatalan festival tanpa alasan yang jelas. Namun, kondisi itu tak membuat Udin menyerah. Proses penelitian yang sudah berjalan sekitar empat bulan itu dituangkannya dalam bentuk tulisan. “Saya ingin masyarakat tahu tentang besarnya peran mereka (China peranakan) terhadap kebudayaan di Makassar,” ungkapnya.

Advertisement

Setelah beberapa tulisannya dimuat dalam harian lokal di Makassar, Udin meluncurkan buku pertamanya yang berjudul China Peranakan Makassar (Pembauran Melalui Perkawinan Antarbudaya) pada 2003. Tiga tahun berselang, Udin mengumpulkan dan menerjemahkan karya sastra Ho Eng Dji sebagai bentuk kekagumannya terhadap seniman yang meninggal dunia tahun 1960 itu.

Kiprah Udin ternyata mengundang perhatian beberapa pakar yang lebih dahulu meneliti kelompok etnis Tionghoa di Makassar, seperti Gilbert Hamonic dan Cladine Simon (Perancis), Heather Sutherland (sejarawan dari Belanda), dan Myra Sidharta. Udin pun mendapat masukan sejumlah literatur yang dibutuhkan untuk memperdalam penelitiannya.

Berbagai bekal tersebut membuat dia semakin percaya diri untuk mengupas sisi lain kelompok etnis Tionghoa. Dua tahun lalu, Udin meluncurkan buku ketiganya, Metamorfosis Masyarakat Tionghoa Makassar dalam 10 Tahun Reformasi.

Dalam buku itu Udin menunjukkan bahwa reformasi membawa berkah bagi warga keturunan karena keberadaan mereka akhirnya bisa diterima secara sosial, budaya, dan politik. Udin menggambarkan pergaulannya selama 10 tahun dengan warga Tionghoa seperti pepatah “tak kenal maka tak sayang”.

“Saya selalu mengajak serta anak-anak (saya) setiap menghadiri acara agar mereka mengenali betul warga Tionghoa sejak dini,” katanya.

Menjadi rujukan

Menjadi seorang penulis sebenarnya bukanlah tujuan utama Udin. Saat masih kuliah, ia justru hanya ingin menjadi dosen di almamaternya, Universitas Hasanuddin. Cita-cita itu berantakan ketika ia terpaksa melepas status dosen luar biasa di Fakultas Sastra yang diemban pada tahun 1993-2001.

Ia sebenarnya sudah diusulkan menjadi dosen tetap oleh dekan. Namun, pihak rektorat justru mengeluarkan surat keputusan untuk orang lain. Meski demikian, semangatnya untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi tak pantang surut. Setahun setelah lulus S-2 Program Studi Antropologi (2005), Udin bekerja di Pedoman Rakyat.

Selama setahun Udin mengasuh rubrik “Persaudaraan” yang berfokus pada aktivitas warga Tionghoa di Makassar. Di tengah kesibukannya, Udin menggagas diskusi budaya rutin setiap perayaan Imlek sejak tahun 2006. “Setelah membedah peranan etnis Tionghoa di masa lampau, diskusi budaya ini dibutuhkan untuk menentukan peranan mereka pada saat ini dan masa mendatang,” ujarnya.

Selepas dari harian Pedoman Rakyat, ia mengelola majalah bulanan Pecinan Terkini. Pekerjaan itu datang dari seorang pengusaha, Adhi Santoso. Majalah yang terbit sejak tahun 2008 itu mengupas berbagai aktivitas sosial, ekonomi, dan politik warga Tionghoa di Makassar.

Berkat konsistensinya dalam memahami kelompok etnis Tionghoa di Makassar, Udin menjadi rujukan sejumlah peneliti. Peneliti Jepang, Makoto Ito, dan Sirtjop Kolhof (Belanda), menemui Udin untuk mengenal lebih jauh kelompok etnis Tionghoa di Makassar.

Mereka ternyata disarankan oleh Wakil Ketua Walubi Sulawesi Selatan Yonggris Lao. Saya sempat terkejut, rasanya saya belum pantas menjadi rujukan,” katanya.

Shaifuddin menegaskan, Republik ini dibangun dengan keberagaman asal-usul, budaya, kelompok etnis, dan agama. e-ti

Sumber: Kompas, 21 April 2010 “Shaifuddin, Rujukan China Makassar” | Aswin Rizal Harahap

Data Singkat
Shaifuddin Bahrum, Dosen Sastra dan Budaya di FKIP Universitas Muhammadiyah Makassar / Rujukan China Makassar | Wiki-tokoh | Dosen, redaktur, peneliti, penulis, sastra

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini