Teman ‘Curhat’ Kaum Papa
Ma’ad
[WIKI-TOKOH] Rendah hati, sanggup memberikan argumentasi, memiliki pengetahuan luas, adalah syarat bagi seorang petugas pekerja sosial masyarakat. Modal itu ditopang lagi oleh sikap genem alias suka bertanya, berdialog guna mengetahui dan memahami persoalan orang lain.
Kesan itu segera muncul saat mengobrol dengan Ma’ad, warga Dusun Jagapati, Desa Dopang, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Dia sudah seperti teman kaum miskin mencurahkan isi hati (curhat)-nya. “Tugas pekerja sosial masyarakat (PSM) adalah memberikan penyuluhan agar masyarakat tergerak motivasi dan partisipasinya dalam proses pembangunan, termasuk menjadikan masyarakat ataupun individu mandiri, berdaya secara ekonomi,” katanya. Memanfaatkan lahan tidur yang ditanami ubi jalar, vanili, dan lainnya adalah bentuk nyata pemberdayaan dan kemandirian itu.
Lingkungan sekitar tempat tinggalnya adalah media uji coba bagi Ma’ad untuk menerapkan syarat kepribadian yang dimilikinya. Desa Dopang terletak di dekat perbukitan yang dulunya lebat populasi kayunya. Perbukitan itu lambat laun menjadi gundul karena kayunya dibabat habis, mengakibatkan lahan tidur.
Penduduk sekitar yang rata-rata buruh tani hanya berharap penghasilan dari musim tanam petik padi dan palawija. Selebihnya mereka memburuh sebagai pekerja bangunan. Kondisi sosial ekonomi warga itu menimbulkan ekses sosial seperti pencurian ternak dan unggas piaraan penduduk.
Ma’ad juga melihat anak-anak keluarga tidak mampu yang hidup prihatin. Jangankan beli baju seragam, untuk memenuhi kebutuhan makan-minum tiap hari saja orang tua mereka tidak mampu,” ujar Ma’ad yang berprofesi sebagai guru agama Islam di SDN 2 Mambalan, Lombok Barat.
Dalam situasi demikian, Ketua Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat Lombok Barat itu seperti menghadapi ujian sejati di kampungnya, yang perilaku ataupun kebiasaan warganya cenderung malas, pasrah, dan pesimistis. “Saya juga dari keluarga miskin, bertahun-tahun jadi anak panti asuhan, tetapi dengan ketekunan dan rida Tuhan, saya bisa jadi guru. Bapak-ibu pun bisa, asalkan mau bekerja keras,” kata Ma’ad saat ditanya soal bagaimana menyuntik semangat masyarakat akar rumput.
Sisihkan gaji
Berbekal realitas empirik itu, tahun 1981-10982, Ma’ad mengajak warga memanfaatkan lahan tidur, kemudian tiap jengkal tanah ditanami agar menjadi lahan produktif. “Pokoknya, kami mau buat kebun jadi hutan dan hutan jadi kebun,” ujarnya.
Tanaman yang dipilih, antara lain, adalah jambu mete, cokelat, ubi jalar, ketela pohon, dan tanaman umbi-umbian lainnya. Tanaman palawija ini diharapkan sebagai penghasilan tambahan.
“Kebiasaan warga di sini, yang penting sudah ada beras, mereka agak tenang. Soal sayuran, banyak dedaunan yang bisa mereka petik,” ungkap Ma’ad.
Pada areal tertentu, yang memiliki pohon pelindung, ditanami tanaman vanili dan jambu. Hal ini untuk mengajak masyarakat terbiasa melakukan diversifikasi tanaman, juga tanaman tahunan itu lebih tinggi nilai ekonomisnya dibanding padi.
Untuk memenuhi kebutuhan bibit vanili dan jambu mete, Ma’ad berkeliling ke beberapa kecamatan, dengan menggunakan sepeda dayung. Bahkan, dia rela menyisihkan sebagian gajinya untuk membeli bibit tanaman dan membelikan baju seragam bagi siswa. Tahun 1981-1982 gaji Ma’ad Rp 14.000 per bulan.
Lambat laun kehidupan ekonomi masyarakat mulai membaik, apalagi Ma’ad juga rajin mengunjungi instansi yang mengalokasi bantuan untuk kegiatan ekonomi produktif, di antaranya Dinas Sosial NTB. Atas dukungan dana dari dinas itu, Ma’ad mendirikan Koperasi Usaha Bersama (Kube) yang anggotanya, antara lain, adalah pedagang bakulan, perajin mebeler, pemilik kios, dan peternak.
Bantuan dana itu digulirkan dari satu anggota kelompok ke kelompok lain. Agar distribusi dan pengguliran dana mencapai sasaran, Ma’ad rajin menyambangi, mengontrol anggota ataupun kelompok penerima. Kontrol seperti ini ditempuh guna mempersempit gerak oknum provokator yang merayu dan memengaruhi anggota untuk membelanjakan dana itu bagi keperluan lain.
Kelompok pedagang bakulan, usaha mebeler, peternak, dan petani itu kini memiliki Kube. Dari 300 anggota koperasi itu, kini mendapat hasil keuntungan 50 kg beras per orang ditambah Rp 20.000, yang dibagikan saat bulan puasa atau menjelang Idul Fitri.
Kiprah Ma’ad agaknya tercium oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang tahun 2002 kemudian menyalurkan dana untuk kegiatan ekonomi produktif. Sebelumnya, pihak LSM itu menguji Ma’ad, dengan bantuan Rp 5 juta. Pengguliran uang itu ditargetkan mencapai Rp 15 juta dalam tempo setahun. Dalam setahun ternyata dana itu berkembang menjadi Rp 20 juta.
Dicibir
Bagi Ma’ad, menjadi Petugas PSM adalah panggilan hati nurani yang merasa prihatin melihat kesusahan orang lain. Terlebih lagi kemiskinan menjadi bagian perjalanan hidupnya. Lahir di Dusun Beririjarak, Desa Karang Baru, Kecamatan Wanasabe, Lombok Timur, sejak usia tiga tahun Ma’ad ditinggal ayahnya, Lalu Kamal.
Karena tidak mampu, ibunya, Denda Mawiah, menyerahkan Ma’ad ke panti asuhan anak yatim di desanya. Dari panti asuhan inilah dia merasakan beratnya beban hidup. Untuk itu, menyelesaikan sekolah setinggi-tingginya sesuai kemampuannya adalah cita-citanya. Tamat sekolah pendidikan guru agama, Ma’ad melamar jadi pegawai negeri sipil dan ditugaskan di desa tempatnya berdomisili saat ini.
Di tempat tugasnya inilah batin Ma’ad berhadapan dengan kondisi yang dialami semasa kecil. Untuk membantu warga yang kesusahan, terlebih dahulu ia memberdayakan mereka dari kebutuhan hidup sehari-hari.
Hanya saja banyak tantangan yang harus dihadapi, selain ulah provokator tadi, dia juga harus menahan emosi atas cibiran ataupun kecurigaan kalangan tertentu. “Saya dibilang mau memperkaya diri sendiri dengan tameng membantu masyarakat,” ujarnya. Respons negatif itu diacuhkannya dan dijawab dengan perbuatan nyata yang menjadikan orang yang sinis dan mencibir itu “mati kutu”.
Kalau kemudian Ma’ad meraih piagam penghargaan sebagai PSM terbaik tingkat nasional tahun 1996, agaknya tidak lepas dari totalitas dan perannya selaku teman “curahan hati (curhat)” kaum papa sampai saat ini. e-ti
Sumber: Kompas, 22 Oktober 2009 | Penulis: Khaerul Anwar