
Mitologi Batak mengisahkan adanya dua jenis Pustaha Batak yang diamanatkan Debata Mulajadi Nabolon kepada dua putera Si Raja Batak yakni: 1) Pustaha Agong (Pustaha Agung) yang diamanatkan kepada Guru Tatea Bulan; dan 2) Pustaha Tumbaga Holing (Pustaka Tembaga Bekilau) diamanatkan kepada Raja Isumbaon. Mitologi kedua Pustaha Batak ini juga mengamanatkan keberadaan Surat Batak yang kemudian dikembangkan oleh Datu Tala Dibabana (Ibabana) dan Si Singamangaraja.
Oleh Ch. Robin Simanullang, The Batak Institute
Alkisah, turiturian marhahomion (mitologi) Si Raja Batak atau Mitologi Batak sendiri sudah mewariskan Pustaha Agong dan Pustaha Tumbaga Holing yang kitas sebut The Mythology of Batak Literature, yakni dua Kitab Suci Batak pemberian dan amanat Debata Mulajadi Nabolon, beraksara Batak yang dipercaya tidak bisa terhapus kendati terendam air dan tidak hangus dilalap api, karena kedua pustaha itu telah ditaruh (ditulis ) Debata dalam batin dan hati kedua putera Si Raja Batak yakni Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon dan keturunannya. (Ban: Yeremia 31:33). Kedua Pustaha itu adalah:
Video Peluncuran | Video Promo | More InfoĀ | Ā Beli Buku |



1) Pustaha Agong (Pustaha Agung) yang berisi Sahala Hamalimon (Wibawa Kepercayaan/Kemaliman/Kesucian) tentang kepercayaan atas keagungan dan hahomion (rahasia kemuliaan) Debata Mulajadi Nabolon, Sang Khalik alam semesta, kisah penciptaan, dan hubungan dengan ciptaan, kemaliman dan penyembahan, upacara ritual, pernujuman, parhalaan (astronomi), kesaktian, dan pengobatan yang bersifat spiritual-religius; Diamanatkan kepada putera pertama Si Raja Batak yakni Guru Tatea Bulan: Raja Kemaliman, Raja Marsahala Hamalimon.
2) Pustaha Tumbaga Holing, Pustaka Tembaga Berkilau yang berisi Sahala Harajaon (Wibawa Kerajaan), yang kuat laksana tembaga berkilau, wibawa kearifan kepemimpinan, nilai-nilai ideal, filosofis, sistem sosial (kekerabatan), adat dohot uhum (adat dan hukum), amsal (umpama-umpasa), kesejahteraan sosial dan kemakmuran bersama, ketertiban dan keamanan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya untuk memelihara dan memaknai kehidupan di Banua Tonga dan akhirat Banua Ginjang; Diamanatkan kepada putera kedua Si Raja Batak yakni Raja Isumbaon: Raja Dimuliakan, Raja Marsahala Harajaon.
Secara empiris habatahon (kebatakan), kedua Pustaha atau Kitab Sicu Batak tersebut adalah bersifat religius (mitologi) dan satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan. Demikian pula pengamanatan kedua Pustaha Batak tersebut tidaklah bersifat mutlak (hitam putih), tetapi merupakan pemberian amanat kearifan (habisuhon) secara simbolis yang marhahomion (spiritual religius). Hal mana keturunan kedua putera Si Raja Batak (Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon) adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai pewaris kedua pustaha Batak tersebut. Dalam kearifan mitologi Batak tentang pustaha tersebut bahwa Guru Tatea Bulan sebagai penerima Pustaha Agong, yang berisi amanat utama sahala hamalimon (wibawa kemaliman) adalah bersifat simbolis religius mewakili seluruh keturunan Si Raja Batak. Demikian pula sebaliknya Raja Isumbaon sebagai penerima Pustaha Tumbaga Holing, yang berisi amanat utama sahala harajaon (wibawa kerajaan) adalah bersifat simbolis religius mewakili seluruh keturunan Si Raja Batak.
Dalam makna bahwa kedua keturunan Si Raja Batak tersebut adalah sama-sama merupakan pewaris Sahala Hamalimon dan Sahala Harajaon. Dalam paparan sejarah lisan (oral story) berikutnya dari masing-masing keturunan Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon, terbukti sama-sama lahir tokoh-tokoh yang memiliki Sahala Hamalimon dan Sahala Harajaon (Malim, Guru/Datu dan Raja/Tuan). Seorang Guru/Datu tidak hanya memiliki Sahala Hamalimon, tetapi juga memiliki Sahala Harajaon. Sebaliknya, seorang Raja/Tuan tidak hanya memiliki Sahala Harajaon, tetapi juga Sahala Hamalimon. Karena semua orang Batak, terutama para tokoh Batak, adalah (diamanatkan) menjadi insan-insan berkarakter anak ni raja na malim (anak raja yang malim, anak raja religius).
Kemudian, penyebutan nama Pustaha (Pustaka) menegaskan, setidakĀnya, menyiratkan, tentang adanya naskah tertulis kedua pustaka tersebut;Ā Yang juga berarti bahwa leluhur Batak, saat mitologi itu dikisahkan, sudah memiliki, setidaknya diamanatkan untuk memiliki, aksara sendiri (Surat Batak). Dan, terbukti, leluhur Batak memiliki bahasa dan Surat Batak sendiri.
Namun, di sisi lain, dalam kisah mitologi kedua pustaka Batak (Pustaha Agong dan Pustaha Tumbaga Holing) tersebut, juga menyebut bahwa kedua pustaka pemberian dan amanat Debata Mulajadi Nabolon beraksara Batak tersebut, yang dipercaya tidak bisa terhapus kendati terendam air dan tidak hangus dilalap api; Hal ini menyiratkan bahwa naskah kedua pustaka tersebut tertulis dalam hati leluhur Batak yang diwariskan secara lisan turun-temurun dan teraplikasi (dilakukan) dalam pengalaman hidup empiris keseharian (tradisi, karakter dan jatidiri) orang Batak. Sehingga disebut tidak bisa terhapus kendati terendam air dan tidak hangus dilalap api; karena memang tertulis dan hidup dalam hati manusia Batak, tidak (hanya) di pustaha laklak, bambu atau media kertas lainnya. Inilah suatu amanat kearifan (strategi kebudayaan) turiturian lisan Pustaha Agong dan Pustaha Tombaga Holing, dan turiturian Batak lainnya.
Hal mana, mitos suci kedua jenis Pustaha Batak tersebut, di samping substansi isinya, mengamanatkan bahwa kedua pustaha itu diwariskan dalam dua bentuk, yakni: 1) Tertulis dalam aksara Batak (Surat Batak), Pustaha Laklak (Pustaka Batak); 2) Lisan yang tertulis dalam hati Batak setiap generasi, sehingga keberadaannya tidak bisa hilang (kendati terendam air tidak bisa terhapus dan dilalap api tidak hangus).
Kearifan mitos Pustaha Batak ini sangat sempurna, yakni memadukan amanat naskah tertulis dalam: (1) media pustaha laklak (kulit kayu, bambu; dan saat ini, kertas, buku, bahkan hingga media digital); 2) media hati, naskah lisan yang tertulis dalam hati, batin, karakter empiris orang Batak sendiri yang diwariskan turun-temurun.
Kita sebut sempurna, karena keduanya sama-sama mempunyai kelebihan dan kelemahannya yang saling melengkapi. Kelemahan turiturian lisan (ditulis dalam hati): tidak mempunyai dokumen otentik; dasar buktinya lemah; mudah diubah atau memiliki sujektivitas lebih tinggi; juga keterbatasan daya ingat dan ketidakseragaman pemahaman penutur, serta penuturannya bisa berubah dan terputus. Namun, tuturian lisan memiliki keunggulan antara lain, ekspresif, dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik muka yang memperkaya arti, makna, maksud dan tujuan, juga bisa memperkuat dan membuat pendengar lebih yakin akan kandungan isi yang dilisankan, sehingga lebih hidup dalam keseharian (empiris).
Sementara, keunggulan turiturian tertulis, mempunyai dokumen otentik, dasar bukti yang kuat; lebih terstruktur dan terencana; lebih sulit diubah jika sudah tersebar; penyebarannya lebih luas,Ā cepat, efisien serta dengan biaya relatif murah; bertahan lama dan dapat dibaca berulang-ulang. Kelemahan turiturian tertulis, tidak dapat memberikan visualisasi ekspresi ataupun perasaan atau tidak dapat dibantu dengan gerak tubuh atau mimik muka, lebih bersifat formal; kata-kata tertulis dapat memiliki arti, konotasi ataupun makna yang berbeda dan memberikan ruang yang dapat mengakibatkannya menjadi ambigu, abstrak, rancu, dapat memberikan bias budaya serta bias perspektif, seringkali menjadi salah kaprah atau salah pengertian; tidak dapat langsung diperbaiki bila ada kesalahan; juga tidak lepas dari subjektivitas penulisnya, mengubah dan memalsukan, yang justru bisa dilakukan secara sistematis dan terstruktur.
Dari sudut pandang penulisan sejarah (historiografi), atau sumber sejarah, turiturian tertulis mempunyai kekuatan bukti (akurasi) yang lebih kuat dibanding lisan. Namun, turiturian lisan (ditulis dalam hati) lebih hidup dalam hati sanubari keseharian (empiris) masyarakatnya. Lauri Hanko (1998) dalam The Epic: Oral and Written menyebut tradisi epik lisan tradisi adalah pengalaman komunikatif dan emosional multidimensi yang tidak dapat ditangkap dalam teks verbal sederhana. Tidak dapat dipungkiri bahwa hasil penerbitan sebuah teks epik lebih bersifat kesusastraan dari pada pertunjukan (penuturan)Ā lisan aslinya dan selalu berupa kompromi (kearifan).[1]
Charles Foster Kent, Ph.D. (1906) dalam The Origin and Permanent Value of The Old Testament (Asal usul dan Nilai Permanen Perjanjian Lama), mengemukakan bagaimana penulisan Alkitab dilakukan, bergantung pada sumber tertulis dan lisan untuk datanya, dan juga pada kesaksian lisan dari para saksi mata serta tradisi dan hukum lisan.[2]
Prof. Gregor Shoeler (2006) dalam The Oral and The Written in Early Islam mengatakan tentang pertanyaan transmisi lisan versus tertulis dengan tepat diilustrasikan oleh pernyataan M. Fleischhammer tentang sumber subjek yang dia pelajari secara intensif: āSaat ini, … ada kesepakatan luas bahwa, dalam banyak kasus, isnad menyembunyikan sumber tertulis, sementara di sisi lain, seringkali, kita tidak dapat menyangkal tanpa ragu akan adanya tradisi lisan yang murni.ā[3]
Menurut hemat kita, intinya adalah kearifan, kearifan hati nurani. Demikianlah kiranya, penulisan (tertulis) dan/atau penuturan (lisan) mitos Pustaha Batak (Pustaha Agong dan Tumbaga Holing) tidak bisa lepas dari kearifan atau istilah Batak, Habisuhon. Termasuk dalam hal: Sesungguhnya, apakah kedua Pustaha Batak itu diamanatkan dalam bentuk tertulis di atas media Pustaha Laklak, atau bentuk lisan yang tertulis dalam media hati Pustaha Nurani Batak? Kedua bentuk tersebut (tertulis dan lisan) adalah satu tarikan nafas. Atau berupa amanat kearifan supaya keduanya diwariskan dalam bentuk pustaha (Surat Batak) dan bentuk lisan (ditulis dalam Hati Batak) dalam satu tarikan nafas, satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua Pustaha atau Kitab Suci Batak tersebut adalah tambang tak terhingga energi nilai-nilai luhur Batak yang masih terpendam, yang masih sangat terbatas tereksplorasi. Adalah menjadi tugas dan tanggung jawab sejarah bagi setiap generasi Hita Batak untuk mengeksplorernya secara kreatif-inovatif, transformatif dan kolaboratif, dengan belajar raksasa, berpikir raksasa, berkarsa raksasa, lintas disiplin ilmu dan lintas aktivitas, dengan narasi-narasi baru yang strategis lebih bermakna kemuliaan kemanusiaan dan kehidupan. Untuk itu perlu dilakukan percakapan-percakapan, dialog, diskusi-diskusi, pendalaman filosofis, sosiologis dan sebagainya, hingga mewujudkan amanat tentang keberadaan kedua Pustaha Batak tersebut dalam wujud nyata kontemporer. Wujud nyata Pustaha Batak (Kitab Suci Batak) segala zaman.
Penulisan (penarasian baru) Pustaha Agong secara ilmiah (disertasi Doktor) telah diawali oleh Dr. Philip O. Lumban Tobing tahun 1956 dengan tema The Structure of the Toba-Batak Belief in the High God (Struktur Kepercayaan Batak Toba pada Tuhan Yang Maha Tinggi); Kemudian dilanjutkan (disempurnakan, diperkaya) oleh Uskup Agung Mgr. Dr. Anicetus B.Sinaga, OFM, 1975 berjudul The Toba-Batak High God: Transcendence and Immanence (Allah Tinggi Batak-Toba, Transendensi dan Imanensi). Kedua disertasi tersebut kita sebut sebagai Teologi Batak, Teologi Pustaha Agong.
Sementara, Raja Patik Tampubolon telah menulis buku Pustaha Tumbaga Holing, tahun 1964, sebagai ālangkah awalā yang sangat penting dan strategis dalam proses pembukuan (kanonisasi) Pustaha Tumbaga Holing Batak; yang saat ini memerlukan perubahan naratif (narasi baru) berbasis nilai-nilai luhur intrisik Batak (meta-narrative), yang berinkulturasi dan (namun) tidak terjebak dalam sinkritisme. (Bersambung: Kisah Awal Surat Batak).
Cuplikan Buku Hita Batak A Cultural Strategy.
Footnote:
[1] Hanko, Lauri; Handoo, Jawaharlal; Foley, John Miles, 1998: The Epic: Oral and Written; Mysore: Central Institute of Indian Languages (CIIL), p.9.
[2] Kent, Charles Foster, 1906: The Origin and Permanent Value of The Old Testament; New York: Charles Scribnerās Sons, 72+77+126.
[3] Shoeler, Gregor, Prof., 2006: The Oral and The Written in Early Islam (Translated by Uwe Vagelpohl Edited by James E. Montgomery); London and New York: Routledge Taylor &. Francis Group, p.29.
Video Peluncuran | Video Promo | More InfoĀ | Ā Beli Buku |


