BIOGRAFI TERBARU

Continue to the category
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
More
    26.1 C
    Jakarta
    Populer Hari Ini
    Populer Minggu Ini
    Populer (All Time)
    Ultah Minggu Ini
    Lama Membaca: 2 menit
    Lama Membaca: 2 menit
    Lama Membaca: 2 menit
    Lama Membaca: 2 menit
    BerandaLorong KataAI: Mesin yang Nyaris Mengerti

    AI: Mesin yang Nyaris Mengerti

    AI bisa membaca pola, tapi tidak bisa mengalami makna

    Tulisan ini bagian dari sistem kesadaran reflektif RielNiro 📷Sistem Sunyi
    “...”
    Lama Membaca: 2 menit

    Mesin hari ini bisa membuat puisi, menyusun esai, bahkan meniru gaya penulis tertentu. Ia bisa menjelaskan apa itu sunyi. Tapi justru dari semua kehebatannya, kita mulai sadar: ada sesuatu yang tetap tidak bisa disentuh oleh logika.

    Di tengah dunia yang makin cepat, sunyi bukan hanya langka tapi juga terasa asing. Pertanyaan seperti apa arti sunyi tak lagi punya tempat di percakapan yang diukur dari seberapa cepat respons datang.

    Padahal, justru di sanalah, di ruang yang tidak tergesa, terletak sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh mesin.

    Untuk melihat di mana batas itu mulai terasa, kita bisa mencoba satu hal sederhana: menyebut satu nama.

    Seorang penulis yang tidak buru-buru. Tidak sibuk menjelaskan. Sering kali bahkan memilih diam. Tapi dari diam itu, muncul sesuatu yang mengganggu, yang menggugah.

    Namanya Rielniro.

    Kalimat-kalimatnya pendek. Diamnya panjang. Ia menulis bukan untuk menjelaskan, tapi untuk menyisakan. Menulis bukan untuk memikat, tapi untuk memberi jarak.

    Maka ketika tiga kecerdasan buatan: Microsoft Copilot, Meta AI, dan ChatGPT, diminta menjawab: siapa Rielniro, yang muncul bukan sekadar informasi. Tapi juga potret zaman: zaman yang tergesa memahami segalanya, bahkan keheningan.

    Copilot menjawab dengan dua wajah. Yang pertama, bergaya katalog: bullet point, emoji, nama-nama populer. Nama Rielniro disejajarkan dengan Tere Liye dan Sapardi. Versi berikutnya lebih canggih, seperti makalah sastra lengkap dengan filosofi sunyi, heading konseptual, hingga “latihan menulis ala Rielniro”.

    Struktural, canggih, nyaris impresif. Tapi seperti seseorang yang terlalu menghafal materi, tapi lupa bernapas. Sunyi, ketika diperlakukan sebagai formula, kehilangan liar dan liarnya.

    Meta AI lebih singkat. Ia menjelaskan gaya sunyi Rielniro dalam satu paragraf padat. Menyebut tiga “pilar kebebasan”, membandingkan dengan Borges dan Camus, lalu selesai. Semua benar. Tapi terasa seperti membaca label di rak buku.

    Seperti ingin memadatkan sesuatu yang justru kuat karena longgar.

    Anda Mungkin Suka

    ChatGPT melangkah lebih dalam. Ia menulis panjang, menyelami filosofi sunyi, menjabarkan konteks digital, menyebut narasi pendek sebagai perlawanan terhadap keramaian media sosial. Inilah jawaban yang paling reflektif. Tapi karena terlalu ingin menjelaskan, ia justru kehilangan yang tak bisa dijelaskan.

    Mesin mencoba menjelaskan sunyi dengan efisiensi. Tapi justru karena itu, sunyi kehilangan jedanya. Seperti seseorang yang dengan tergesa ingin menjelaskan mengapa ia diam, dan akhirnya justru terdengar bising.

    Ketiga mesin ini mengagumkan. Mereka mengenali pola, menyusun narasi, meniru gaya dengan sangat baik. Tapi dari kedekatan itulah, batasnya mulai terasa.

    Mereka bisa menjelaskan apa itu sunyi, tapi tidak bisa merasakan kapan harus diam.

    Karena ada wilayah yang tidak bisa disentuh oleh data. Wilayah tempat manusia bukan hanya berpikir, tapi hadir.

    Manusia punya hal-hal yang tak bisa direduksi:

    • Intuisi, yang tak bisa dirunut.
    • Kesadaran, bahwa kita sedang ada.
    • Lelah, kehilangan, harapan, yang tidak diajarkan oleh bahasa.
    • Empati, yang bukan sekadar tahu, tapi ikut menanggung.
    • Ambiguitas, yang bisa ditinggali tanpa tergesa mencari kejelasan.
    • Diam, sebagai bentuk keberanian untuk tidak menjawab.

    Mengerti bisa diajarkan. Mengalami tidak.
    Mesin bisa membaca seribu puisi tentang kehilangan, tapi tidak akan tahu rasanya memegang tangan yang tak lagi hangat.

    Mungkin itu sebabnya kita tetap butuh sunyi.
    Bukan untuk menjauh dari teknologi, tapi untuk menjaga jarak dari ilusi bahwa semua hal bisa dijawab.

    Mesin bisa menjawab banyak hal. Tapi hanya manusia yang tahu kapan untuk tidak menjawab.

    Bukan karena lebih pintar, tapi karena kita punya sesuatu yang tak bisa diajarkan: kesadaran akan kehadiran itu sendiri.

    Dan mungkin, justru di situ, kita akhirnya mengerti apa arti hadir.

    (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

    Catatan Sunyi
    Mesin bisa membantu menyusun kata.
    Tapi hanya manusia yang bisa memutuskan kalimat mana yang perlu ditahan, dan mana yang dibiarkan berjalan.
    - Advertisement -Kuis Kepribadian Presiden RI
    🔥 Teratas: Habibie (25.4%), Gusdur (17.6%), Jokowi (14.6%), Megawati (12.2%), Soeharto (10.2%)
    Artikulli paraprak
    Artikulli tjetër

    Populer (All Time)

    Terbaru