
[BUKU] – Buku yang diluncurkan bertepatan dengan Satu Abad Kebangkitan Nasional, 28 Mei 2008 ini mengulas lengkap sosok Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia, Mangaradja Hezekiel Manullang (1887-1979). Buku ini ditulis cukup tebal karena merangkum berbagai sumber informasi baik dari buku asing dan lokal, artikel-artikel di berbagai media hingga wawancara dengan para kerabat MH Manullang.
Yang membuat buku ini berbeda dengan buku yang pernah mengulas MH Manullang, adalah penulisannya lebih condong pada perpektif gereja serta digunakannya sumber catatan-harian sang tokoh sendiri dan sumber-sumber lain yang belum pernah digunakan oleh para penulis lain. Selain itu, buku ini juga mendapat apresiasi lewat kata pengantar dari Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (Fakultas Ekonomi Universita Indonesia), Drs. Maddin Sihombing, M.Si, Bupati Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, dan sebagainya.
Buku ini dibagi dalam 10 Bab. Bab 1-2 mengulas kondisi tanah Batak sebelum dan sesudah invasi kaum Padri, masuknya agama Kristen dan kisah hidup ayahanda MH Manullang, Ompu Singal Manullang. Bab 3-4 menceritakan masa-masa pendidikan MH Manullang hingga ke Singapura, menjadi guru di Pulau Jawa dan bergaul dengan para pendiri Syarikat Islam. Bab 5-6 menjadi pusat kisah perjuangannya melawan penjajah Belanda. Ia mendirikan organisasi politik ‘Hatopan Kristen Batak’, menerbitkan surat kabar Soeara Batak yang mengecam penindasan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Bab 7 menceritakan perjalanan hidup MH Manullang setelah dipenjara karena gugatannya terhadap insiden Pansoer Batu di Soeara Batak. Bab 8-9 menceritakan pelayanannya sebagai pendeta dan perjuangannya untuk mewujudkan gereja yang mandiri, lepas dari kontrol dan dominasi orang Eropa pada zaman itu. Ia bersama rekan-rekannya, 1 Mei 1927, mendirikan Huria Christen Batak (HChB) sebagai gereja yang berdiri sendiri. HChB tahun 1950 berubah menjadi HKI (Huria Kristen Indonesia) yang berkantor pusat di Pematang Siantar. Sedangkan Bab 10 lebih bersifat ulasan tambahan untuk memperkuat pengenalan pembaca akan pribadi MH Manullang.
Hasil kerja keras sang penulis buku ini, Dr. PTD. Sihombing, M.Sc., S.Pd sudah sepatutnya kita hargai. Tidaklah mudah menulis kisah seorang tokoh yang sumber-sumbernya tergolong langka dan sulit didapat. Meski sarat kelebihan, buku ini masih kurang bersahabat bagi para pembacanya. Alangkah baiknya, kalau di akhir setiap bab disertakan ringkasan, intisari atau summary dari uraian dalam bab tersebut.
Dengan begitu, pembaca bisa langsung mendapat informasi penting tanpa harus membaca satu bab secara utuh. Selain itu, pada bagian-bagian tertentu dari buku ini masih terdapat alur cerita yang terkesan melompat-lompat sehingga membuat pembaca bingung. Mungkin pada edisi revisi nanti, kisah MH Manullang ini dibuat lebih mengalir dan menyatu sebagai satu kesatuan cerita. Kekurangan yang terakhir dan sayang sekali tidak disertakan dalam buku ini adalah Curiculum Vitae (CV) atau Riwayat Hidup Singkat dari MH Manullang.
Dengan melihat CV atau Riwayat Hidup, pembaca bisa tahu ‘sekaliber’ apakah tokoh yang diulas dalam buku ini. Pembaca tidak perlu membaca buku ini secara utuh untuk mengetahui bahwa MH Manullang adalah tokoh perjuangan dari suku Batak yang tidak kalah dengan pahlawan-pahlawan nasional lainnya. Terlepas dari beberapa kekurangannya ini, buku ini layak dibaca dan terpajang dalam rak buku di perpustakaan Anda.
Judul:
Tuan Manullang
Subjudul:Pendeta Mangaradja Hezekiel Manullang
Pahlawan Perintis Kemerdekaan Bangsa Indonesia & Pelopor Semangat Kemandirian Gereja di Tanah Batak
Penulis:Dr. PTD. Sihombing, M.Sc., S.Pd
Penerbit:Albert-Orem Ministry bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan
Cetakan:Edisi Pertama, Mei 2008
Halaman:XXXIX + 398 halaman
ti/mangatur l paniroy
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Tuan Manullang Malayarkan Perahu
Pendeta Mangaradja Hezekiel Manullang telah membantu melayarkan suatu perahu, yang didalamnya Batak dan Indonesia menyatu, untuk mengarungi dunia menuju dunia yang baru. Itu perahu, yang dia turut memberi namanya Huria Kristen Indonesia, suatu gereja yang baru, sampai akhir zaman akan laju. Dari dia orang dapat tahu, berpolitik dan berpartai bukan suatu hal yang tabu, pendeta pun bisa menjadi pelaku, asal demi bangsa, kerukunan dan kemajemukan yang menyatu dan kalau perlu menjadi abdi negara pembawa damai yang bahu-membahu.
Sekapur Sirih
Saya bukanlah seorang ahli bedah buku, dan saya tidak punya pisau bedah yang cukup tajam untuk mengerjakan pembedahan itu. Tetapi karena didorong oleh kecintaan terhadap tokoh yang dipaparkan, walaupun buku itu tiba di tangan saya hari Sabtu Sore (18 Mei 2008) yang lalu, dan Bapak Pendeta Dr.PTD Sihombing, MSc., Spd meminta saya melakukan pembedahan ini (via telepon) setelah dihubungkan Pdt. Dr. Richard Daulay (Sekum PGI), saya coba melakukannya. Kalau hasil pembedahan ini kurang memuaskan, mohon disempurnakan oleh para ahli bedah lainnya.
Ucapan Terima Kasih
Saya, seorang pendeta HKI, yang pernah membaca “Sejarah Huria Kristen Indonesia,” yang ditulis para tokoh HKI, mengetahui bahwa Bapak Pendeta Mangaradja Hezekiel Manullang (gelar tuan Manullang) adalah pendahulu kami para pendeta HKI, dan ladang Tuhan yang beliau perjuangkan eksistensinya, yakni HKI, adalah tempat kami melayani sekarang dan kami terpanggil untuk meneruskan pelayanan dan perjuangan beliau bersama temannya pendeta HKI. Saya (baca: kami) selaku Pendeta HKI, sangat berterimakasih kepada Bapak Dr.PDT Sihombing, MSc, SPd, yang menolong kami mengenal lebih jelas lagi pendahulu kami yang tak kenal menyerah itu, dengan selesainya Buku TUAN MANULLANG yang diluncurkan sekarang.
Kami menundukkan kepala dan malu melihat diri sendiri, karena menyadari betapa kami ditemukan sebagai orang yang kurang melaksanakan seruan apostel Kristus dalam Ibrani 13:7 Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka. Dengan karya ini, kami ditolong untuk mengingat beliau, dan menjadi tahu jelas akhir hidup beliau, dan kami digerakkan mencontoh iman beliau. Dengan karya ini, cinta kami kepada kepada beliau dibangkitkan lagi, kami dihardik lagi untuk meneruskan perjuangan beliau, dan kami dipanggil untuk mewujud-nyatakan cita-cita beliau (yang menurut kami sama sekali bukanlah utopis).
Kiranya karya besar ini (Buku TUAN MANULLANG) menjadi berkat dan membawa berkat bagi HKI, bagi generasi penerusnya di HKI, dan bagi bangsa dan negara kita. Saya (pendeta HKI sebagai generasi penerus pelayanan beliau), meminta maaf kepada keluarga TUAN MANULLANG, bila kedapatan pernah secara sengaja atau tidak sengaja menunjukkan sikap kurang hormat kepada beliau, dan kepada usaha meneruskan karya-karya dan perjuangannya.
Suaranya yang menolak aneksasi tanah Batak, suaranya yang menolak penyingkiran orang Batak di tanah leluhurnya, pasti tidak akan pernah redup dan masih relevan hingga sekarang. Dengan semangat beliau, dapat kita katakan sekarang, Tanah Batak adalah milik orang Batak. Tolak segala bentuk pengambil-alihan tanah Batak oleh para kapitalis zaman sekarang. Register-register yang dibuat Belanda dulu, bukan legitimasi bagi pengusaha maupun pemerintah zaman sekarang untuk mencaplok tanah Batak. Seruan beliau: ula tanom ulang digomak Ulando berlaku juga sekarang. Para pemilik modal (kapitalis) tidak boleh menguasai sejengkalpun tanah Batak, tetapi mereka harus membantu orang Batak “mangula tanona” (mengolah tanahnya). Orang Batak tunduk pada pemerintah yang mengayomi tanah Batak, dan bukan yang merampas atau menjajah tanah Batak.
Bapak Pendeta Mangaradja Hezekiel Manullang telah membantu melayarkan suatu perahu, yang didalamnya Batak dan Indonesia menyatu, untuk mengarungi dunia menuju dunia yang baru. Itu perahu, yang dia turut memberi namanya Huria Kristen Indonesia, suatu gereja yang baru, sampai akhir zaman akan laju. Dari dia orang dapat tahu, berpolitik dan berpartai bukan suatu hal yang tabu, pendeta pun bisa menjadi pelaku, asal demi bangsa, kerukunan dan kemajemukan yang menyatu dan kalau perlu menjadi abdi negara pembawa damai yang bahu-membahu.
Pengaguman
Saya tidak mengulang lagi pengaguman yang telah diberikan oleh para komentator (dr.Ruyandi Hutasoit; Editor Pitono H), pemberi sambutan atau pengantar dalam buku ini tentang karya ini (Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti; Sabam Leo Batubara; Bupati Drs.Maddin Sihombing, Msi). Sudah pantas juga sebenarnya Bapak Presiden RI atau sedikitnya Menteri Sosial RI memberi apresiasi untuk karya ini dan kepada tokoh perintis kemerdekaan itu.
Bagi saya yang masih “anak bawang” dalam menulis, karya ini merupakan suatu karya besar, hasil kerja seseorang yang sangat cekatan menggunakan waktu, sumber-sumber (tertulis atau oral). Sehingga dapat selesai sesuai jadwal (dapat diluncurkan pada perayaan centenial (100 tahun) Kebangkitan Nasional Indonesia). Editor buku ini pasti sudah bekerja keras, sehingga formatnya ditata sebaik mungkin, dan di sana-sini tidak terlalu banyak kesalahan ketik. Bagi seseorang yang berpengalaman menulis, pasti tahu, bahwa karya sudah dikerjakan dengan cermat bila karya itu dilengkapi dengan daftar singkat dan istilah, kamus kosa kata, terutama daftar indeks untuk nama orang, tempat dan istilah, walaupun itu selektif.
Membaca keseluruhan karya ini, dapat dirasakan bahwa penulis tidak bermaksud untuk menulis suatu biografi TUAN MANULLANG, dan bukan pula suatu kisah perjuangan, melainkan lebih berupa suatu “pembelaan” dan “pelurusan diri dan perjuangan” TUAN MANULLANG, yang dari sejak mudanya sudah menjadi aktivis, penggerak perjuangan dan massa dan kemudian menjadi abdi negara sekaligus hamba TUHAN yang setia sampai akhir hayatnya.
Yang digunakan penulis menjadi alat pembelaan dan pelurusan itu adalah catatan-catatan sang tokoh dan perbandingan-perbandingan Pandangan miring yang rasanya perlu dijawab dan diluruskan adalah pandangan yang sudah pernah dilontarkan para peneliti (terutama dalam karya Lance Castles, yang kalau penulis buku ini menjadi penguji disertasi peneliti ini waktu itu, mungkin saja dia tidak lulus). Selain itu adalah pandangan miring tentang sang tokoh, yang pernah mengkristal di kalangan kaum anti pergerakan nasional, yang ditiupkan oleh beberapa tokoh gereja pada zamannya dan tiupannya masih terasa sampai zaman sekarang.
Menurut pembedah, penulis buku ini berhasil dalam misinya, walaupun di sana-sini masih diperlukan pelengkapan dan pemberian bukti-bukti autentiknya, sehingga kesan pengkultusan sang tokoh sama sekali tidak ada. Adalah sangat melengkapi, apabila bagian dari catatan-catatan sang tokoh juga dilampirkan dalam karya ini.
Penuturan dalam buku ini tampaknya seperti air mengalir, di mana ada lekuk akan dimasukinya, walaupun lekuk itu berupa lekuk yang sama sebelumnya, dan kalau ada air dijumpai, maka akan diserapnya, hingga semua air itu tiba di muaranya. Seni penuturan yang digunakan itulah yang membuat penulis, menurut dugaan kami, menggunakan berbagai ilustrasi untuk mendukung pembelaan dan pelurusan yang ingin dia lakukan. Tampaknya “bumbu” yang diberikan itu bertujuan untuk menambah enaknya sajian, dan bukan bungkus “kebohongan” agar tidak membosankan, melainkan dapat diterima sebagai petunjuk bahwa tokoh yang satu ini berakar di perjalanan bangsanya pada zamannya, dan berpengaruh para generasi di zaman sesudahnya.
Sang Tokoh
Dengan His story, penulis telah memperkenalkan dan membela sang tokoh:
Pertama, sebagai seorang yang lahir dalam suatu keluarga ‘pahlawan,’ dan kepahlawanan sang ayah ditingkatkan oleh sang anak. Dengan menonjolkan sang ayah sebagai ‘perwira intel raja Sisingamaraja’ yang didutakan ke Peanajagar dekat Tarutung, sebenarnya orang mengharap apa kira-kira jasa yang telah diberikannya kepada sang raja. Sang ayah berhasil mempertemukan sang anak dengan raja yang sangat dihormati itu, waktu sang tokoh masih anak-anak.
Ingin ditekankan, bahwa kekaguman sang tokoh kepada sang raja melekat hingga di masa tuanya. Menurut hemat kami, akan lebih komplit, bila dipaparkan bagaimana sang ayah (yang juga seorang tokoh di kalangan kaum semarganya, seorang kaya yang menggunakan kekayaannya demi kemajuan anak-anaknya) menanamkam semangat juang Raja Sisimangaraja yang merdeka dan berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsanya, baik dengan jalan damai dan kalau perlu juga dengan angkat senjata. Ompu Singal Manullang (melalui pendidikan keluarga) berhasil menanamkan jiwa ‘merdeka’ dalam diri Mangihut Hezekiel Manullang.
Dari kecil tampaknya sang tokoh dipersiapkan mengemban makna nama ‘baptis’ yang diberikan missionaris kepadanya. Karakternya diharapkan seperti Hezekiel Alkitab, dan sang tokoh diharapkan ‘mengikut’ (mengihut) karakter itu dan nantinya berjuang di tengah bangsanya dengan cara damai tanpa kekerasan; memperbaiki dan mempersatukan bangsanya yang telah ‘berserak-serak’ (seperti di pembuangan). Kemudian dia mendapat nama Mangaraja, suatu nama kehormatan, baik di Angkola, maupun di Toba. Nama itu mendekatkan sang tokoh kepada rajanya (Singa-Mangaraja), tetapi tidak melangkahi rajanya. Dia bisa ‘mangaraja’ tetapi sang raja yang meng-singa (merancang).
Nama itu menempatkan dirinya dengan baik di tengah kaum ‘hula-hula-nya’, kaumnya Batak-Toba, dan negeri yang kepadanya dia mengabdi. Nama itu juga, dengan didukung oleh kepintaran yang dimilikinya, memungkinkan sang tokoh dipanggil ‘Tuan Manullang’, yang bermkna lebih hormat dibanding dengan gelar-gelar tuan yang dilekatkan kepada berbagai ‘kakek-moyang’ orang Batak (seperti Tuan Mauli, Tuan Sorbadibanua, Tuan Sihubil). Nama panggilan ini, yang menjadi semacam ‘identity card’, menyamakan dirinya dengan kaum sibontar mata.
Kedua, sang tokoh digambarkan sebagai pemuda yang merdeka, gesit dalam belajar dan erat dalam bergaul, suaranya didengar di kalangan kelasnya. Dia mampu menggerakkan kawan-kawannya untuk ‘demo’ memprotes hal-hal yang dipandang kurang beres menurut ukuran kekristenan yang sudah tertanam dalam dirinya mulai dari rumah dan jemaat yang mendidiknya. Dia murid Sekolah Anak Raja (SAR) di Narumonda, tetapi dia mampu juga menguasai ilmu jurnalisme, cetak-mencetak.
Walau dia tidak tamat, tetapi mendapat bekal menunjukkan dirinya sebagai penggerak. Ketidak-puasan mendorong pergerakan. Itu yang terjadi pada dirinya setelah dipecat dari SAR. Dia menjadi aktivis, yang berhadap-hadapan bukan dengan pendeta pribuminya, melainkan dengan pendeta Eropa yang memicingkan mata melihat pribumi ingusan. Penerbit BSB menjadi tampilan orang yang berjiwa ‘merdeka’. Orang tuanya, yang berjiwa merdeka, ingin agar puteranya mendapat pendidikan yang sesuai jiwanya, ‘merdeka’, sehingga dia dikirim belajar ke Singapura. Pendidikan Methodist lebih menerampilkannya, tetapi rupanya sanubarinya telah dirasuk ‘kemerdekaan Kristen’ yang diajarkan kaum Lutheran.
Dia menjadi perintis beberapa jemaat Methodist di Jawa, tetapi di matanya terpampang ancaman derita yang akan dialami bangsanya, Batak, sewaktu melihat derita penduduk Jawa yang sudah lama dijajah Belanda. Di Jawa dia sudah menyadari perlunya; Pendidikan untuk semua, dan pendidikan harus terjangkau oleh rakyat semiskin apapun. Walaupun dia membawa keluarga ke Jawa, tampaknya panggilan kampung halaman lebih kuat. Saya setuju dengan penulis, bahwa sang tokoh masuk di Methodist bukan berarti murtad dari iman yang telah tertanam dalam sanubarinya.
Ketiga, menjadi penggerak kesadaran kemerdekaan bangsanya. Sang Tokoh memilih Balige menjadi tempat kembali ke habitatnya di tanah leluhurnya, dan menjadikan Balige sebagai sentra pergerakannya. Dia memberi contoh, bahwa seorang terpelajar harus dapat menafkahi diri dan keluarganya dengan usahanya sendiri, dan usaha itu dapat dibuat berdampak kemajuan dan menyadarkan bangsa untuk pergerakan nasional. Menurut kami itulah yang tersirat dalam usahanya mendirikan sekolah berbahasa Inggris di Balige dan cabangnya di Tarutung. Dia wiraswasta Tulen, seperti ayahnya. Namun sebenarnya perlu dicatat, bahwa kemandiriannya juga digiring oleh sikap-sikap zendeling yang ada di sekitarnya.
Dia cermat melihat perkembangan situasi dan gerak-gerik penjajah. Semangat ‘kemerdekaannya’ menggelegak, sehingga dia dapat merubah kumpulan koor “Hadomuan” yang dimasukinya/dipimpinnya di Balige menjadi tempat mendiskusikan situasi ‘tanah air orang Batak’ dan menjadi alat yang menyuarakan bahaya yang telah mengancam tanah Batak, dan menjadi gerakan politik yang diberi nama HATOPAN KRISTEN BATAK. Sebenarnya penulis buku TUAN MANULLANG harus lebih jelas menunjukkan bahwa misionaris juga melihat bahaya aneksasi yang akan dilakukan penjajah Belanda terhadap tanah-tanah bangsa Batak.
Pemimpin gereja di Balige setuju atas gerakan itu sehingga tidak ada keberatan sewaktu pendirian organisasi ini dilakukan tanggal 21 September 1917 di gereja Batakmission Balige. Para Zendeling pada mulanya melihat rencana Belanda mengkonsesi tanah Batak kepada kaum pemilik modal. Itu jelas selagi ketua HKB dipegang oleh guru Polin Siahaan, dan Mangaradja Hezekiel Manullang hanya sebagai wakil ketua. Para Zendeling mulai gusar dan mulai menolak HKB setelah MH Manullang menjadi ketua pergerakan ini pada Kongres HKB tanggal 25-28 Januari 1918. Kegusaran itu dilatarbelakangi oleh pengenalan mereka tentang sang tokoh yang sudah berani mengatakan tidak setuju kepada pendapat Zendeling, sejak dia sekolah di SAR Narumonda. Situasi ini juga yang mendorong sang tokoh semakin kuat dalam pergerakannya, dan dia tahu bahwa orang Batak sudah seperjuangan dengan dia.
Dengan pencanangan ‘menolak kedatangan “consessie-jagers’ semua orang Batak yang sadar kemerdekaannya dan yang ingin mempertahankannya datang menghadiri kongres-kongres yang diadakan HKB. Kenyataan yang terjadi adalah, bahwa gereja dan HKB bekerja dengan segala kekuatan damai yang dimiliki hingga suara mereka didengar oleh gubernur jenderal. Ternyata HKB berhasil menyadarkan orang Batak, bahwa darah kemerdekaannya harus dipelihara dan diperjuangkan, dan mulai bergerak untuk itu dalam berbagai lini kehidupan termasuk lini kehidupan kegerajaan. Akhirnya seolah ada komplotan untuk membungkam sang tokoh agar semakin merajalela. Tidak dengan jalan melarang organisasi HKB untuk membungkamnya, melainkan dengan delik pers yang selalu dapat dipermainkan tangan penguasa.
Memang TUAN MANULLANG berhak mendapat bintang mahaputra di negara ini yang berhasil membuat pers sebagai alat perjuangan bangsanya. Setelah 15 bulan di penjara Cipinang, gejolak darah orang Batak di tanah Batak berhasil diredakan, bukan dipadamkan, terutama dengan tidak jadinya tanah Batak dikonsesi pemerintah Belanda kepada para kapitalis. Dalam 15 bulan itu diusahakan kesan bahwa hasil perjuangan itu seolah-olah bukan hasil perjuangan HKB yang diwakili TUAN MANULLANG menyampaikannya langsung kepada Gubernur General Hindia Nederland. Itu sebabnya, setelah dia pulang dari penjara ke habitatnya (1923), HKB meredup, dan tidak berlanjut kepada gerakan kemerdekaan itu. Namun demikian, saudaranya sabangso dan seiman, telah menangkap aspirasi bahwa orang Batak sudah waktunya merdeka juga dalam bergereja.
Dia tidak ikut dalam pendeklarasian tiga gereja mandiri di Sumatera tahun 1927 (Huria Cristen Batak/Huria Kristen Batak, Punguan Kristen Batak, dan Mission Batak), tetapi perjuangan/pergerakan yang dirintis TUAN MANULLANG mendorong para pencetus gereja mandiri tersebut mendeklarasikan kemandiriannya. Saya sependapat dengan penulis, bahwa HKB yang dipimpin TUAN MANULLANG tidak identik dengan HChB yang dideklarasikan sebagai gereja oleh Federik Perdinan ‘Soetan Maloe’ Panggabean dan kawan-kawannya (1 Mei 1972). Memang perlu dicatat, bahwa sebagai perintis kemerdekaan, TUAN MANULLANG adalah warga gereja Batakmision yang setia. Karena perjuangannyalah maka gereja Batak Mission diberi nama Huria Kristen Batak Prostestan (HKBP) tahun 1992, yang sekaligus membedakannya dengan HKB (Organisasi TUAN MANULLANG dkk) dan HChB (Gereja mandiri FP Soetan Maloe Panggabean).
Keempat, sebagai Tokoh kerukunan atau kebersamaan komponen bangsa. Penulis telah mengungkap bahwa TUAN MANULLANG benar-benar nasionalis dan merindukan pergerakan nasional yang dilandasi kasih dan saling mencintai sesama anak bangsa. Mungkin dari ayahnya sudah dia tahu, bahwa rajanya Sisingamaraja juga disertai bukan hanya oleh orang Batak Toba, dan bukan hanya oleh kaum penganut agama Batak saja, melainkan oleh berbagai suku bangsa yang cinta dilestarikannya kemerdekaan tanah air mereka (ada orang Aceh, Minangkabau, yang beragama Islam dan beragam Kristen juga). Batak Kristen yang ada di kampungnya juga telah berhasil, agar Sisingamaraja dan pasukannya tidak berperang melawan para Zendeling dan anggota gerejanya, melainkan berperang melawan sang penjajah yang semakin brutal menindas di negerinya.
Redupnya HKB karena motor penggeraknya yang asli, yaitu TUAN MANULLANG, tidak lagi di dalamnya. Namun langkah sang tokoh mendirikan Persatuan Tapanuli dilengkapi dengan syarikat-syarikat yang menjadi sayapnya dan dilanjut lagi dengan Persatuan Sumatra serta pergaulannya dengan Syarikat Islam, keanggotaannya dalam Partai Insulinde, serta peranannya dalam berbagai bond membuat beliau sebagai tokoh bangsa nasional yang tak dapat dipungkiri.
Kelima, masuk menjadi hamba TUHAN di Huria yang sesuai dengan semangat perjuangannya. Jiwa nasionalisnya kemudian ditunjukkannya melalui peranannya menuntun Huria Cristen Batak, yang menahbiskannya menjadi pendeta tahun 1940 dan menempatkannya melayani di Siaualompu Tarutung, untuk menyesuaikan diri dengan semangat perjuangan nasional Indonesia. Penulis mencatat mulai tanggal 15 Januari 1941 sang tokoh mulai melayani di HChB di Tapanuli. Sayang belum juga dapat ditemukan tanggal berapa beliau ditahbiskan menjadi pendeta tahun 1940. Dia tahu bahwa HChB merupakan dampak dari demam kemandirian yang sudah tercanang di Tanah Batak, yang sedikit banyak sebagai imbas pergerakan HKB yang pernah dipimpin sang tokoh.
Dengan penuh kesadaran beliau menempuh jalan masuk menjadi pendeta di Huria mandiri ini. Dia tahu banyak pergolakan di huria yang dimasukinya, tetapi dia tidak ikut mencampurinya. Tetapi sewaktu tiba masanya, bersamaan dengan waktu sesudah NKRI diproklamasikan, dia ikut menuntun Huria yang dilayaninya tersebut memasuki ‘suasana’ nasional yang mulai bersinar. Maka walaupun tidak dicatat terlalu banyak tentang peranannya di synode HChB yang diadakan di Jemaat HChB Patane Porsea tanggal 16-17 Nopember 1946, dapat dipastikan bahwa sang tokoh menuntun huria mandiri ini (HChB) mengubah namanya menjadi Huria Kristen Indonesia (HKI).
Mungkin semangat itu sebagai pencapaian sementara cita-citanya yang menginginkan adanya Gereja Raya di Tanah Batak atau di Indonesia. Pengalaman dipenjarakan Jepang (1942) dan panggilan tugas di pemerintahan Jepang (kepala dinas propaganda Jepang) tahun 1943-1945 membuat sang tokoh tidak dapat ditempatkan menjadi pendeta yang penuh waktu di resort HKI. Tetapi setiap minggu dia melayani, berkhotbah di Jemaat HKI di mana dia berada. Dia menjadi penopang pucuk pimpinan HKI dalam menghadapi perkaranya dengan FP Soetan Maloe yang terus memimpin HChB yang tidak mengakui keputusan synode HChB di Patane Porsea. Sebenarnya harus dicatat juga bagaimana sang tokoh ini bekerja terus bersama pucuk pimpinan HKI (yang ketuanya Pdt. Thomas Josia Sitorus), pendeta yang jauh lebih muda dari sang tokoh.
Walaupun berperan sebagai abdi negara di zaman kemerdekaan, Pdt. Mangaradja Hezekiel Manullang terpilih juga menjadi anggota Pucuk Pimpinan HKI tahun 1955-1959, 1959-1960. Sewaktu sang tokoh sudah berdomisili di Medan tahun 1950 dan bekerja sebagai patih (sampai pensiun 31 Maret 1958) beliau terus membantu perkembangan jemaat-jemaat HKI Medan. Dalam synode HKI tahun 1960 beliau pernah mencalonkan diri menjadi Ketua I Pucuk Pimpinan HKI (lihat Pdt. TJ. Sitorus dkk, Sejarah Huria Kristen Indonesia, Kolportase HKI, 1978 h.172 dyb) yang menurut tinjauan pembedah, motivasinya adalah untuk menyelesaikan konflik yang sedang terjadi dalam tubuh HKI. Tapi unsur usia (hampir 73 tahun) membuat beliau setuju agar kepemimpinan itu dikembalikan ke tangan Pdt.T.J.Sitorus yang dia dukung sejak tahun 1946.
Setelah beliau pindah ke Jakarta agar bersama keluarga puteranya sejak tahun 1967, dia mendaftar menjadi anggota jemaat HKI di HKI Pulomas yang sudah berdiri sejak 2 April 1967 (gereja HKI tertua di Pulau Jawa), dan kemudian ikut menggerakkan berdirinya HKI Cililitan yang berdiri tanggal 30 Agustus 1970. Beliau menjadi gembala yang menasihati jemaatnya agar utuh bila terjadi riak-riak dakam kehidupan jemaatnya.
Jemaat-Jemaat ini yang memberangkatkan jenazah beliau menuju Siyakuompu, sesudah beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir di Jakarta tanggal 20 April 1979, setelah menerima perjamuan Kudus di Rumah Sakit Cikini Jakarta, dan kemudian disambut jemaat HKI bersama semua pendeta HKI di Silindung di Siualuompu untuk memberikan penghormatan terakhir dan menghantar beliau ke tangan Allah Bapa dalam Tuhan Yesus Kristus. Tanggal 7 Mei 1979, jemaat HKI Siualuompu yang dilayaninya dalam awal kependetaannya (1941/dua tahun setelah jemaat ini berdiri tanggal 7 Mei 1939) memberikan tanda penghormatan dan surat penghargaan atas jasa-jasa belaiau dalam membangun HKI. HKI melihat akhir hidup sang tokoh, dan nasib masih terus bergumul untuk melanjutkan cita-citanya.
Keenam, penopang untuk kemajuan lembaga pendidikan yang diselenggrakan gereja. TUAN MANULLANG adalah tokoh yang berpendidikan tinggi dan punya pengalaman pendidikan di luar negeri. Gereja yang dimasukinya juga adalah gereja yang harus mendidik putra-putrinya secara mandiri. Di awal HChB, sekolah-sekolah HChB terkenal sebagai sekolah-sekolah liar (wilde school). Kehadiran TUAN MANULLANG di pemerintahan Republik ini membuat pengurusan sekolah-sekolah itu menjadi sekolah-sekolah bersubsidi, tidak boleh dilupakan. Mertua Pembedah, Gr Alon Siregar, yang dipercayakan untuk mengurus dan membantu sekolah-sekolah yang dijalankan HKI mendapat subsidi dari pemerintah, selalu berkonsultasi dengan beliau, dan sang tokoh memberi bantuan sedapat mungkin agar urusan itu berhasil. Kemajuan ‘sekolah Inggris’ di lembaga-lembaga pendidikan HKI waktu itu sedikit banyak atas pengaruh beliau.
Ketujuh, sebagai Abdi Negara yang menjalankan misi damai, terima kasih kepada penulis buku TUAN MANULLANG yang mengungkapkan apa yang dapat dilakukan sang tokoh demi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, di zaman mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan. Mudah-mudahan cita-cita beliau tentang “Gereja Raya” dapat diterjemahkan gereja-gereja masa kini dalam usaha menyatukan (bahkan kalau perlu melebur) gereja-gereka Lutheran yang ada. Semangat perdamaian di tengah-tengah bangsa, mungkin akan ditularkan menjadi semangat perdamaian di seluruh gereja-gereja yang ada, sehingga sekat-sekat akan ditularkan menjadi semangat perdamaian diseluruh gereja-gereja yang ada, sehingga sekat-sekat denominasi bisa terhapus.
Beberapa Koreksi
Satu, penulis menyatakan bahwa HChB lahir pada tanggal 1 Mei 1927, h.225.263) dan itulah yang sebenarnya. Oleh karena itu apa yang dikatakan di halaman 271 bahwa “pada tanggal 17 Juli 1927, dideklarasikan kelahiran Huria Christen Batak (HChB) di Pematang Siantar..” harus diperbaiki menjadi tanggal 1 Mei 1927
Dua, sebaiknya nyanyian perjuangan kemandirian pada zaman TUAN MANULLANG (halaman 268) lengkap disalin, agar generasi muda tahu semangatnya: “Las roham nuaeng o bangso Batak dibahen Debata, ai dohot ho ditodo pararat hata-Na. Najolo ho tarpodom, ala so parsidohot nuaeng maho tarsunggul, tongtong ma ho dungo. Godang do na mangambat mulana I songon I do nangnuaeng siparjahati. Mandok tu bangso Batak dang tau ho laho manjujung baringinmu, ninna sibolis i. Halateon najahat sude, pinatupa ni sibolis tahe. Alai na holong, na, tigor, TUHANta, di patimbul bangsonta tongon. Hehe ma ho bangsongku, tinggalhon ma losokmi, porsan ma silangNa I, unang ho ganggu. Ise be mangambat ho, jolma sibolis pe ro, talu ai Jesus di ho. Ima donganmu.” Mungkin lagu ini perlu dinyanyikan seluruh orang Batak, dalam memasuki seratus tahun kedua kebangkitan nasionalismenya. HKI memang membuat lagu ini menjadi lagu marsnya dengan mengubah “bangso Batak,” “bangsongko”, “bangsonta”, menjadi “HKI.”
Tiga, penulis mengakui adanya Huria Kristen Batak Naparjolo di Medan, dan tanggal 9 Desember 1928 mengkristal menjadi Huria Kristen Batak yang bergabung dengan HChB di Pematang Siantar tahun 1932, dan menjadi Huria Kristen Indonesia Jalan Dahlia Nomor 2 di Medan. Penulis kurang jelas memaparkan hubungan Partij 123 yang muncul sebagai gerakan kemandirian di Medan dengan jemaat ini.
Empat, menurut hemat kami, adalah sangat baik apabila dalam daftar literatur yang digunakan itu juga didaftarkan beberapa buku yang pernah ditulis tentang HKI setelah Pdt. Mangaradja Hezekiel Manullang berkarya di HKI. Misalnya: Mangontang S.M.Panjaitan, Jawaban HKBP terhadap pelbagai Gereja yang tumbuh di sekitarnya. Suatu tinjauan historis-theologis para periode 1929-1951 (Thesis yang diserahkan kepada SEAGST untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Master of Theology bidang Sejarah Gereja, 1988; B.Silitonga, parsorian Parhuriaon HChB/HKI Sosunggulon Tarutung, 26 September 1932-26 September 1928 (Tarutung, 1982); T.J.Sitorus, dkk., Sejarah Huria Kristen Indonesia. Pematangsiantar:Kolportase HKI, 1978.
Penutup
Terimakasih sekali lagi kami sampaikan kepada penulis, Bapak Dr. PTD Sihombing, MSc., SPd. Mohon maaf, kalau tugas pembedahan ini kurang memenuhi harapan.
Mengakhiri pembedahan ini, biarlah kata-kata ini berkumandang:
BUATMU SANG PENDEKAR
Gugur sudah engkau pahlawan perintis
Tetapi semangatmu akan selalu menitis
Walau engkau di zamanmu menangis
Perjuanganmu tidak akan pernah terkikis
Di sanubari para penerusmu tetap terlukis
Betapa mulia perjuangan dan karya yang telah engkau rintis
Disampaikan di Jakarta tanggal 24 Mei 2008
oleh Pdt. Lamgsung Maruli Sitorus.Pada acara pembedahan dan peluncuran
Buku TUAN MANULLANG
Judul:
Tuan Manullang
Subjudul:Pendeta Mangaradja Hezekiel Manullang
Pahlawan Perintis Kemerdekaan Bangsa Indonesia & Pelopor Semangat Kemandirian Gereja di Tanah Batak
Penulis:Dr. PTD. Sihombing, M.Sc., S.Pd
Penerbit:Albert-Orem Ministry bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan
Cetakan:Edisi Pertama, Mei 2008
Halaman:XXXIX + 398 halaman
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Tokoh Terkait: Tuan Manullang, | Kategori: Buku | Tags: Pahlawan, Batak, pemred, Soeara