Tambang Energi Kebenaran Nilai Luhur Batak
Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (18 Tamat)

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (18 Tamat)
Hita Batak: A Cultural Strategy; frame trilogi omnibus kebatakan; narasi literasi kontemplatif dan transformatif nilai luhur Batak yang membawa kita ‘rindu pulang’ ke pusat jantung Bonapasogit, tatuan harajaon Batak (pusat kerajaan Batak), pusat kebudayaan Batak, pusat penyebaran orang Batak, tambang energi kebenaran nilai-nilai luhur Batak, untuk menjemput masa depan yang lebih inklusif dan adil. Narasi nilai luhur Batak berhuruf cahaya matahari dan bulan dan bersuara darah cinta sejati, yang bergema sepanjang lorong pusaran bola bumi dari Tano Batak Rea (Tanah Batak Raya) hingga ke ujung bumi (diaspora).
Masa depan berbasis nilai luhur Batak yang lebih inklusif dan adil; suatu kondisi di mana semua individu, tanpa memandang latar belakang ekonomi, sosial, atau budaya, ras dan golongan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, berkembang, dan meraih potensi penuh mereka dalam masyarakat yang menghargai keberagaman. Ini melibatkan upaya bersama untuk menghapus hambatan melalui pendidikan inklusif, transformasi digital yang adil, desain yang berpusat pada manusia, serta toleransi dan pemberdayaan masyarakat agar tercipta lingkungan yang harmonis dan setara bagi semua. Toleransi Batak berpikir besar.
Sebagaimana telah dikemukakan, buku ini hanyalah ‘pengantar’, sebagai salah satu dari frame strategi kebudayan Batak, yang berfokus pada perubahan naratif, narasi kontempelasi masa lalu, kini dan masa depan. Mulai dari narasi siapa Batak, narasi mitologi, narasi teogoni Batak, narasi berbagai teori sejarah, narasi The Hilltop Theory (Teori Pusuk Buhit), narasi dialog mitologi dengan sejarah, narasi kekerabatan dan silsilah, narasi Tolu Holong Batak (Trikasih Batak), narasi isolasi indah pusat Tanah Batak, narasi tinjauan stigmatisasi kanibalis, late dan pembunuhan karakter Batak, narasi Segitiga Perang Batak, narasi akulturasi dan inkulturasi budaya: pengaruh kolonisasi, islamisasi dan kristenisasi, narasi agama bagi orang Batak, narasi toleransi berpikir besar, dan ditutup dengan eksistensi dan jatidiri Batak dalam Orde Hidup Baru (Orhiba).
Kita menyadari frame strategi kebudayaan dalam buku ini sangat terlalu luas, mencakup secara keseluruhan mulai dari strategi kearifan mitologi penciptaan sampai kekinian, sehingga kurang mendalam. Tetapi sebagai pengantar sebuah strategi kebudayaan, memang kita rancang untuk mencakup seluas-luasnya secara holistik, bersahaja namun strategis. Frame buku ini adalah satu kesatuan luas dan utuh; Pembagian jilid hanyalah masalah teknis, menjadi tiga jilid, sekaligus mengekspresikan atau merepresentasikan makna Trisila Batak dalam berbagai dimensi ketrisilaan atau Trilogi Batak. Sebuah buku Trilogi Omnibus Kebatakan.
Di bawah judul Hita Batak: A Cultural Strategy, kata Hita adalah kata baku yang sangat mengekspresikan kentalnya hubungan intersubjektif Batak. Intersubjektivitas yang merupakan hasil dari keyakinan dan pemikiran komunitas (kolaborasi), bukan hanya pengalaman dan keyakinan pribadi atau kesediaan dari setiap subyek untuk membuka diri bagi subyek yang lain. Dinarasikan dengan kedalaman hati sebagai pusat berpikir yang harus mempertajam alat-alat logisnya untuk mengontemplasi berbagai nilai dan peristiwa dan menghindari kesimpulan yang salah. Dalam konteks ini, perubahan narasi sejarah perang segitiga Batak, contohnya, menghadirkan ‘kejutan-kejutan’ naratif yang mencengangkan tentang peranan penting misionaris dalam perang Batak, yang mereka pandang sebagai ‘perang yang adil’ atau Perang Suci. Dalam hal ini, hanya pemikiran yang cermat dan teliti serta hati yang arif dapat mengarahkan jalan kebenaran, yang tidak sekadar memberikan kekuatan yang berlebihan dan menempatkan batasan yang berlebihan pada suatu narasi peristiwa masa lalu, kini dan masa depan, tetapi juga menghindari adanya kesungkanan dan kebohongan atas realitas kebenaran, untuk mendidik orang dalam kebenaran (2 Tim 3:16).
Dalam konteks ‘perang suci’ islamisasi dan kristenisasi Batak ini, adalah keharusan (kewajiban) moral bagi orang Batak untuk berterimakasih kepada Paderi dan Misionaris, serta kolonialis Belanda. Namun, secara khusus, dalam hal perang suci, doktrin-doktrin kristenisasi (Gereja) dan pembunuhan karakter Batak, jalan pintas yang dipilih misionaris, terutama Nommensen yang memilih perang suci, yang pada hakikatnya telah mendistorsi Injil, sangat memerlukan interpretasi dan kontemplasi dengan narasi-narasi baru yang transformatif secara kolaboratif. Pengungkapan kebenaran sejarah misi itu laksana api panas yang bahkan membakar dan menyakitkan, tetapi juga menerangi, mencerahkan, mencerdaskan, menginspirasi dan memotivasi. Juga, ketika kita mengungkap kebenaran keterlibatan langsung beberapa misionaris, terutama Ompu i Nommensen, bisa kita analogikan bahwa sesungguhnya kita sedang mencubit diri sendiri; Terasa sakit supaya kita tersadar mawas diri, memperbaiki diri dan mengubah paradigma dalam memahami dan menghadapi tantangan zaman menuju orde hidup baru. Hal mana, hal itu akan lebih sempurna kita pahami dengan kecerdasan hati sebagai pusat berpikir, dengan kearifan dan iman.
Sehingga orang Batak, dan Gereja-geraja Batak, tidak terjebak dalam pergulatan konstan dan siklus, yang dalam tempo lebih 160 tahun (1861-2021), tidak beranjak dari doktrin ‘Gereja Misi Barmen’, yang secara sadar atau tidak, telah mendistorsi Injil (Injil berparadigma Taurat). Hal mana seyogianya telah melahirkan pembaharuan naratif secara fundamental dengan interpretasi dan kontemplasi yang lebih mendalam tentang Injil (sebagai meta-narrative), Pro-Testament, Pro New Testament: Melangkah, langkah demi langkah (saksi hidup) di Jalan, Kebenaran dan Hidup; Yang tidak berkompromi dengan kekerasan, perang, kebencian, penistaan, apapun alasan dan tujuan baiknya, apalagi mengatasnamakan Tuhan, tetapi harus penuh kasih, mengasihi musuh tanpa syarat (agape). Untuk itu, perlu didorong (didukung) munculnya cendekiawan dan rohaniwan yang berinovasi menampilkan interpretasi dan narasi-narasi baru tentang nilai-nilai luhur budaya dan doktrin-doktrin Gereja Batak.
Hastings Rashdall (1898) dalam Doctrine and Development mengatakan interpretasi baru akan sering menemukan makna yang lebih penuh dan lebih tinggi ke dalam kata-kata lama daripada interpretasi lama (tradisional).[1] Narasi (interpretasi dan kontemplasi) transformatif itulah yang didalami dan dieksplorer dalam kerangka berpikir raksasa, belajar raksasa dan berkarsa buddhaya raksasa dalam buku ini, dalam perspektif Hita Batak yang futuristik, berorientasi masa depan. Bukan ‘hukum kemunduran’, transformasi langkah mundur, merindukan masa lalu atau atavis; Apalagi bukan untuk menyesali, meratapi dan mengutuk masa lalu.
Menurut Enrico Ferri (1900) dalam Socialism and Modern Science tentang transformasi (hukum sosiologis), hukum kemunduran membuktikan bahwa pengembalian institusi sosial ke bentuk dan tipe lama (primitif) adalah fakta yang terus berulang, transformasi dalam arah ke belakang.[2] Maka kita juga tidak sudi terjebak oleh ‘kerinduan masa lalu’. Seperti narasi sastra Yunani-Oriental primitif, mengutip Carducci berkata dalam ceramahnya di Universitas Bologna, bahwa perkembangan bentuk dan substansi sastra sering kali hanyalah reproduksi bentuk dan substansi sastra Yunani-Oriental primitif; Dengan cara yang sama, teori ilmiah modern tentang monisme (pen: konsep metafisika dan teologi bahwa hanya ada satu substansi dalam alam), jiwa evolusi universal dan bentuk tipikal dan definitif dari pemikiran manusia yang sistematis, ilmiah, dan eksperiensial yang hanya kembali ke gagasan para filsuf Yunani dan Lucretius, penyair besar naturalisme.[3]
Kahlil Gibran, penyair Kristen Arab-Libanon, menyuarakan dalam Le Livre des Processions (Al Mawâkeb) – Kitab Prosesi: “Untuk pria (seseorang), berbuat baik di bawah paksaan adalah palsu, dan penyakit manusia, bahkan ketika dikubur, tak pernah padam. Pria itu terlahir sebagai budak; yang menolak untuk menekuk lutut; Dan semua orang mengikuti segera setelah dia bangun untuk berjalan.”[4]
Ya, kita suku bangsa yang tidak mau bertekuk lutut pada kezaliman. Kita bangun melangkah maju. Tidak ada kata mundur, ‘transformasi’ langkah mundur! Melainkan, secara strategis, berani gagah maju bersama ke depan dengan langkah raksasa, transformasi futuristik. Dalam strategi kebudayaan Batak, nilai-nilai luhur lama (klasik) adalah meta-naratif (narasi dominan) mutlak, tambang energi kebenaran yang dieksplor dengan kreativitas dan inovasi perubahan naratif (interpretasi dan kontemplasi) transformatif, secara kolaboratif (kolaborasi sosial) berpikir raksasa, belajar raksasa, dan berkarsa buddhaya raksasa, dalam perspektif Hita Batak berorientasi masa depan berkelanjutan, futuristik.
Narasi literasi kontemplatif nilai luhur Batak yang membawa kita ‘rindu pulang’ ke pusat jantung Bonapasogit, tatuan harajaon Batak (pusat kerajaan Batak), pusat kebudayaan Batak, pusat penyebaran orang Batak, tambang energi kebenaran nilai-nilai luhur Batak, untuk menjemput masa depan dalam orde hidup baru. Narasi nilai luhur Batak berhuruf cahaya matahari dan bulan dan bersuara darah cinta sejati, yang bergema sepanjang lorong pusaran bola bumi dari Tano Batak Rea hingga ke ujung bumi (diaspora), serta bersinar terang di pusat lengkungan matahari, bulan dan bintang-bintang, hingga ke langit ketujuh yang tak terhingga, tatuan keabadian kemuliaan Ilahi, saat cinta dan kehidupan abadi memerintah. Itulah gema gita cita narasi strategi kebudayaan Batak berkarakter Trisila Batak: Batak Trisilais! Dan, dalam konteks keindonesiaan, Batak Pancasilais! Konteks Islami, Rahmatan lil’alamin! Konteks Kristiani, Garam dan Terang Dunia.
Horas Hita Batak!
Sebelumnya 17 || Tamat
Penulis Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy
Footnotes:
[1] Rashdall, Hastings, 1898: Doctrine and Development, University Sermons; London: Methuen & Co, p.x.
[2] Ferri, Enrico, 1900: p.100-1001.
[3] Ferri, Enrico, 1900: p.101.
[4] Gibran, Kahlil, 2000: Le Livre des Processions; Titre original: Al Mawâkeb; Traduction de l’arabe et postface par Elie Dermarkar; Calligraphies de Halima; Couverture de Olivier Fontvieille; Éditions Mille et Une Nuits, Arthème Fayard, p.7-8.