Benahi Beranda Negeri

 
0
30
Majalah Berita Indonesia Edisi 11
Majalah Berita Indonesia Edisi 11

VISI BERITA (Pulau Terluar, 20 April 2006) – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (29/12/2005) merasa perlu menerbitkan Peraturan Presiden sebagai landasan formal pengelolaan pulau-pulau tersebut. Peraturan itu memberi pedoman bagi pemerintah pusat dan daerah agar tidak saling menyalahkan.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 11 | Basic HTML

Ke-92 pulau tersebut berada di Provinsi Kepulauan Riau (20), Kalimantan Timur (4), Sulawesi Tengah (3), Sulawesi Utara (11), Maluku Utara (1), Papua (9), Maluku (18), Nusa Tenggara Timur (5), Nusa Tenggara Barat (1), Jawa Timur (3), Jawa Tengah (1), Jawa Barat (1), Banten (1), Lampung (1), Bengkulu (2), Sumatera Barat (2), Sumatera Utara (3), dan NAD (6). Pengawasan pulau-pulau ini diserahkan kepada sebuah tim koordinasi yang dipimpin oleh Menko Polhukam, Widodo AS, dengan anggota 15 menteri, Sekretaris Kabinet, Panglima TNI, Kapolri, dan Kepala BIN. Maksudnya adalah menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara, memanfaatkan sumber daya alam, dan memberdayakan masyarakat.

Tujuannya memang sangat ideal, tetapi masalahnya adalah pulau-pulau itu sangat terpencil, hampir semuanya tidak berpenghuni. Hanya para nelayan yang mungkin singgah di sana. Departemen Pertahanan punya gagasan untuk membangun pos-pos penjagaan TNI-AL di pulau-pulau tersebut. Departemen Perhubungan juga punya rencana yang menarik, yaitu membangun mercu suar di setiap pulau kecil terluar. Sedangkan Departemen Kelautan berencana menempatkan para nelayan. Semua gagasan itu bagus, tetapi untuk mewujudkannya diperlukan dana yang cukup besar. Namun, jika tidak ditangani, pelajaran pahit di masa lalu akan terulang kembali.

Pengalaman pahit yang masih disesalkan sampai sekarang adalah lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia pada tahun 2002. Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, memenangkan Malaysia dan mengalahkan Indonesia untuk mengakhiri sengketa yang berkepanjangan. Indonesia terperangah ketika Malaysia menggunakan batas pantai kedua pulau tersebut sebagai titik ukur terdepan untuk mengklaim palung dasar laut milik Indonesia, Blok Ambalat, yang kaya minyak bumi. Baru setelah itu, pemerintah dan masyarakat Indonesia bereaksi keras.

Sebelum menggugat ke Mahkamah Internasional pada tahun 2002, Malaysia secara de facto sudah menguasai Sipadan dan Ligitan, sedangkan Indonesia tidak peduli dan menganggap persoalan ini enteng, sehingga membiarkan kedua pulau kosong dan terlantar. Kepekaan Indonesia menipis karena sibuk dengan euforia reformasi, sehingga lupa bahwa aset berharga mereka dicaplok negara lain. Kedua pulau tersebut memang sudah dipersengketakan sejak lama, dan sengketa itu pernah muncul ke permukaan di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Pak Harto menganggap kepemilikan kedua pulau tersebut sebagai persoalan yang sangat serius dan prinsipil. Ketika pemerintah Malaysia menempatkan para nelayannya di sana, Pak Harto memerintahkan pengiriman satuan TNI-AL untuk mengusir mereka. Malaysia serta-merta mengosongkan kedua pulau tersebut. Pemerintah Indonesia kemudian menempatkan para nelayan yang sesekali dipatroli oleh AL. Nelayan yang bersedia menghuni kedua pulau tersebut mendapat bantuan dari pemerintah, seperti pemukiman, alat penangkap ikan, dan sembako.

Namun, bersamaan dengan jatuhnya pemerintahan Pak Harto (Mei 1998), bantuan untuk para nelayan terabaikan. Pemerintah dan masyarakat terlena oleh euforia reformasi, melupakan para nelayan yang hidup terasing di Sipadan dan Ligitan. Akhirnya, para nelayan itu lama-kelamaan meninggalkan kedua pulau tersebut karena tidak lagi mendapat perhatian dari pemerintah. Sipadan dan Ligitan kembali kosong dan terlantar. Sebaliknya, Malaysia diam-diam menempatkan para nelayannya di tengah kekacauan reformasi di Indonesia. Tidak hanya itu, Malaysia juga membangun berbagai fasilitas pariwisata di kedua pulau tersebut. Kelebihan itulah yang dimanfaatkan Malaysia sebelum mengajukan gugatannya.

Namun, kehilangan Sipadan dan Ligitan belum memberikan pelajaran kepada pemerintah. Pemerintah baru benar-benar tergerak setelah munculnya kasus-kasus Abange, Gosongniker, dan Mengkudu. Terakhir, Pulau Bidadari di lepas pantai Pulau Sumba, NTT, dijual oleh tuan tanah setempat kepada orang asing pada tahun 2005. Yah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 11

Dari Redaksi

Advertisement

Surat Komentar

Highlight/Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Opini

Berita Wawancara

Berita Nasional

Berita Tokoh

Lentera

Berita Khas

Berita Daerah

Berita Hankam

Berita Hukum

Berita Politik

Berita Profil

Berita Mancanegara

Berita Ekonomi

Berita Media

Berita Iptek

Berita Olahraga

Berita Perempuan

Berita Feature

Berita Obituari

Berita Humaniora

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini