
VISI BERITA (Energi Terbarukan, 27 Juli 2006) – Era banjir minyak bumi sudah berlalu. Cadangan minyak bumi menyusut sejalan dengan melonjaknya konsumsi energi dunia. Menurut perkiraan para ahli, 20 tahun ke depan dunia akan mengonsumsi minyak mentah 40 persen lebih banyak dari sekarang. Akibatnya, harga minyak mentah terus meningkat, bergerak antara 70-72 dolar AS per barel, suatu kenaikan yang fantastis dibandingkan dengan era 1970-an, hanya antara 17-20 dolar per barel.
Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 17 | Basic HTML
“Bom” ekonomi di banyak negara mengantar jutaan penduduk bumi menikmati gaya hidup yang membutuhkan bahan bakar berlipat ganda. Di Indonesia, di antara mayoritas masyarakat miskin, segelintir orang berpunya menikmati kehidupan yang memboros energi, sehingga pemerintah harus mengimpor minyak mentah dan BBM untuk menutupi konsumsi dalam negeri yang terus membengkak.
Menristek Kusmayanto Kadiman mengisyaratkan bahwa Indonesia tidak pantas lagi menjadi anggota OPEC, lebih pas menjadi anggota organisasi negara-negara pengimpor minyak. Sekarang, produksi minyak bumi nasional sekitar 1,050 juta barel per hari. Sedangkan konsumsi sudah melampaui 1,2 juta barel per hari. Karena itu, Indonesia harus mengimpor minyak mentah dan BBM sekitar 600.000 barel per hari.
Karena itu pemerintah menata kembali manajemen energi dalam “cetak biru” Strategi Dasar Energi 2025 (Energy Grand Strategy 2025). Faktanya, ketergantungan yang dominan pada BBM menjadi penyebab utama memburuknya ekonomi nasional. Krisis BBM tahun lalu menjadi pelajaran pahit bagi kita semua, di mana pemerintah harus dua kali menaikkan harga BBM akibat kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia. Dampaknya masih sangat terasa sampai sekarang.
Di dalam cetak biru tersebut pemerintah menempuh sejumlah langkah, antara lain: menghemat konsumsi BBM dan listrik; meningkatkan eksplorasi minyak dan gas bumi; melakukan diversifikasi sumber energi dan mengembangkan bahan bakar nabati (BBN). Satu hal yang patut dihargai bahwa pemerintah sudah meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan BBN, sumber energi terbarukan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sudah menetapkan langkah-langkah konkrit, menjadikan empat komoditi – kelapa sawit, jarak, tebu, dan singkong – sebagai prioritas untuk dikembangkan dan diproses menjadi BBN, baik berupa biodiesel (setara solar) maupun bioethanol (setara bensin).
Ditilik dari segi makro dan mikro ekonomi, kebijakan tersebut akan berdampak positif pada perekonomian nasional. Sebab pengembangan BBN tidak hanya mengurangi ketergantungan pada BBM dan menghemat devisa, tetapi juga membuka lapangan kerja, lapangan usaha, dan menaikkan pendapatan petani.
Namun yang sering terjadi, kebijakan di atas kertas menjadi mentah kembali ketika diterapkan di lapangan. Pengembangan BBN juga mengandung kelemahan, terutama di dalam menjamin ketersediaan bahan baku yang cukup dan berkesinambungan. Karena itu dua hal yang perlu dikaji dan diperhatikan; kecukupan bahan baku tebu dan kelapa sawit. Sebab ketersediaan kedua bahan baku tersebut masih rawan, jangan-jangan nantinya juga diimpor. Sedangkan yang berkaitan dengan singkong dan biji jarak, jangan-jangan ketika petani memanen tidak ada yang membeli atau harganya anjlok.
Budidaya bahan baku BBN sangat membutuhkan komitmen para petani. Kegiatan raksasa tersebut tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit, jutaan hektar lahan, ratusan pabrik pengolahan, prasarana, dan transportasi. Tetapi akan menyerap tenaga kerja yang sangat besar pula. Artinya, ratusan ribu TKI tidak perlu lagi menghamba di negeri orang, lantas diusir karena alasan masuk secara gelap (ilegal).
Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Departemen Kehutanan memperkirakan, di seluruh Indonesia terdapat 10 juta hektar lahan yang bisa digunakan untuk budidaya bahan baku BBN. Dari segi pendanaan, Susilo sudah mengisyaratkan alokasi dana APBN/APBD atau investasi swasta dalam dan luar negeri. Menperin Fahmi Idris sedang merancang enam pabrik pengolahan yang akan menelan dana tak kurang dari Rp 10 triliun.
Pada langkah awal semua hal kedengarannya sangat bagus. Biji jarak, sawit, tebu, dan singkong yang dihasilkan para petani akan ditampung oleh pabrik-pabrik pengolah BBN. Sedangkan produk finalnya – biodiesel dan bioethanol – akan dibeli oleh PT Pertamina untuk dipasarkan kepada konsumen, seperti transportasi, PLN, dan industri.
Tetapi jangan dibayangkan bahwa kebutuhan energi dalam negeri seratus persen dipasok oleh BBN. Sebab BBN hanyalah pencampur BBM. Semakin tinggi persentase BBN di dalam campuran tersebut semakin menguntungkan, baik dari segi pengurangan pencemaran udara maupun penghematan BBM.
Biosolar yang dipasarkan Pertamina saat ini hanya mengandung 5% biodiesel dari minyak sawit dan 95% solar. Tentu makin lama unsur biodieselnya makin bertambah, dari B-5 menjadi B-10, B-20, dan seterusnya. Brasil yang lebih awal mengembangkan BBN, bioethanol dari tetes tebu telah mampu memenuhi campuran: 40% ethanol dan 60% bensin. Di negeri penghasil tebu terbesar di seluruh dunia itu, ethanol telah diekstrak menjadi bahan bakar pesawat.
Ditilik dari sudut penghematan energi dan devisa, lapangan kerja, dan penambahan pendapatan petani, memang semuanya tampak indah. Mudah-mudahan di dalam pelaksanaannya, tidak seperti kata pepatah, “lebih indah kabar dari rupa.” (red/BeritaIndonesia)
Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 17
Dari Redaksi
- Dari Redaksi – Halaman 4
Surat Komentar
- Surat Komentar – Halaman 5
Highlight / Karikatur Berita
- Highlight/Karikatur Berita – Halaman 7
Berita Terdepan
- Palu Sudah Diketok – Halaman 12
Visi Berita
- Energi Terbarukan – Halaman 13
Berita Utama
- BBN Energi Masa Depan – Halaman 14
- Bahan Bakar Nabati yang Jadi Pilihan – Halaman 17
- Penghematan BBN – Halaman 18
- Membuat “Buku Putih” LITBANGRAP Energi Sampai Tahun 2025 – Halaman 19
- Kompor Gas BBT – Halaman 21
- Langkah Besar PLN – Halaman 22
Berita Khas
- Berjubel di KRL Kumuh – Halaman 24
- Kemelut Lalulintas Jakarta – Halaman 25
- Menhub Ir. M. Hatta Radjasa: Pemkab Kelola 10 Pelabuhan Lokal – Halaman 26
- Maut Mengintai di Ujung Landasan – Halaman 27
- Manusia Penyebab Utama – Halaman 29
Berita Politik
- Ketika Senator Tuntut Hak Veto – Halaman 30
Berita Ekonomi
- Usulan Baru APBN-P 2006 – Halaman 31
Berita Tokoh
- Letjen TNI Erwin Sudjono, SH – Halaman 32
Lentera
- Kesatuan Melek Huruf pada Zaman Mutakhir – Halaman 34
- Al-Zaytun Pionir Sistem Pendidikan Satu Pipa – Halaman 38
Berita Wawancara
- Drs. Togar M Sianipar, MSi – Halaman 41
Berita Nasional
- Merajut Persahabatan di Batam – Halaman 43
- Misteri Senjata Sang Jenderal – Halaman 44
Berita Daerah
- Pak Gub Tersandung Sawit – Halaman 45
- Habis Banjir, Datang Kemarau – Halaman 46
Berita Hukum
- Menyoal Izin Memberi Kado – Halaman 47
- Setelah Sang Ustadz Bebas – Halaman 47
Berita Hankam
- Malindo Gelar Latihan Gabungan – Halaman 49
Berita Mancanegara
- Setelah PM Alkatiri Mundur – Halaman 51
Berita Khusus
- Para Korban UN 2006 Meminta Keadilan – Halaman 52
- Takaran Nilai Lulus dan Tidak – Halaman 54
Berita Media
- Demam Bola – Halaman 56
- Pesta Akbar Tak Pernah Berakhir – Halaman 57
- Dua Miliar Untuk Logo – Halaman 57
Berita Perempuan
- Gusti Kanjeng Ratu Hemas – Halaman 58
- Demi Muda Selamanya – Halaman 59
Berita Pariwara
- Solusinya Kepastian Hukum – Halaman 60
Berita Humaniora
- Bantu Ringankan Beban Penderita – Halaman 61
Berita Agama
- Islamofobia Segera Dihapus – Halaman 62
Berita Lingkungan
- Monster Pekat Telat Dicegah – Halaman 63
Berita Kesehatan
- Permak Sampai Ke Negeri Gajah – Halaman 64
- Ketika Darah Mudah Pecah – Halaman 64
Berita Features
- Jalan Panjang Menuju Kebebasan – Halaman 65
Berita Budaya
- Menyelamatkan Syiwa dan Budha – Halaman 66