Energi Masa Depan

 
0
23
Majalah Berita Indonesia Edisi 17
Majalah Berita Indonesia Edisi 17

VISI BERITA (Energi Terbarukan, 27 Juli 2006) – Era banjir minyak bumi sudah berlalu. Cadangan minyak bumi menyusut sejalan dengan melonjaknya konsumsi energi dunia. Menurut perkiraan para ahli, 20 tahun ke depan dunia akan mengonsumsi minyak mentah 40 persen lebih banyak dari sekarang. Akibatnya, harga minyak mentah terus meningkat, bergerak antara 70-72 dolar AS per barel, suatu kenaikan yang fantastis dibandingkan dengan era 1970-an, hanya antara 17-20 dolar per barel.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 17 | Basic HTML

“Bom” ekonomi di banyak negara mengantar jutaan penduduk bumi menikmati gaya hidup yang membutuhkan bahan bakar berlipat ganda. Di Indonesia, di antara mayoritas masyarakat miskin, segelintir orang berpunya menikmati kehidupan yang memboros energi, sehingga pemerintah harus mengimpor minyak mentah dan BBM untuk menutupi konsumsi dalam negeri yang terus membengkak.

Menristek Kusmayanto Kadiman mengisyaratkan bahwa Indonesia tidak pantas lagi menjadi anggota OPEC, lebih pas menjadi anggota organisasi negara-negara pengimpor minyak. Sekarang, produksi minyak bumi nasional sekitar 1,050 juta barel per hari. Sedangkan konsumsi sudah melampaui 1,2 juta barel per hari. Karena itu, Indonesia harus mengimpor minyak mentah dan BBM sekitar 600.000 barel per hari.

Karena itu pemerintah menata kembali manajemen energi dalam “cetak biru” Strategi Dasar Energi 2025 (Energy Grand Strategy 2025). Faktanya, ketergantungan yang dominan pada BBM menjadi penyebab utama memburuknya ekonomi nasional. Krisis BBM tahun lalu menjadi pelajaran pahit bagi kita semua, di mana pemerintah harus dua kali menaikkan harga BBM akibat kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia. Dampaknya masih sangat terasa sampai sekarang.

Di dalam cetak biru tersebut pemerintah menempuh sejumlah langkah, antara lain: menghemat konsumsi BBM dan listrik; meningkatkan eksplorasi minyak dan gas bumi; melakukan diversifikasi sumber energi dan mengembangkan bahan bakar nabati (BBN). Satu hal yang patut dihargai bahwa pemerintah sudah meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan BBN, sumber energi terbarukan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sudah menetapkan langkah-langkah konkrit, menjadikan empat komoditi – kelapa sawit, jarak, tebu, dan singkong – sebagai prioritas untuk dikembangkan dan diproses menjadi BBN, baik berupa biodiesel (setara solar) maupun bioethanol (setara bensin).

Ditilik dari segi makro dan mikro ekonomi, kebijakan tersebut akan berdampak positif pada perekonomian nasional. Sebab pengembangan BBN tidak hanya mengurangi ketergantungan pada BBM dan menghemat devisa, tetapi juga membuka lapangan kerja, lapangan usaha, dan menaikkan pendapatan petani.

Namun yang sering terjadi, kebijakan di atas kertas menjadi mentah kembali ketika diterapkan di lapangan. Pengembangan BBN juga mengandung kelemahan, terutama di dalam menjamin ketersediaan bahan baku yang cukup dan berkesinambungan. Karena itu dua hal yang perlu dikaji dan diperhatikan; kecukupan bahan baku tebu dan kelapa sawit. Sebab ketersediaan kedua bahan baku tersebut masih rawan, jangan-jangan nantinya juga diimpor. Sedangkan yang berkaitan dengan singkong dan biji jarak, jangan-jangan ketika petani memanen tidak ada yang membeli atau harganya anjlok.

Budidaya bahan baku BBN sangat membutuhkan komitmen para petani. Kegiatan raksasa tersebut tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit, jutaan hektar lahan, ratusan pabrik pengolahan, prasarana, dan transportasi. Tetapi akan menyerap tenaga kerja yang sangat besar pula. Artinya, ratusan ribu TKI tidak perlu lagi menghamba di negeri orang, lantas diusir karena alasan masuk secara gelap (ilegal).

Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Departemen Kehutanan memperkirakan, di seluruh Indonesia terdapat 10 juta hektar lahan yang bisa digunakan untuk budidaya bahan baku BBN. Dari segi pendanaan, Susilo sudah mengisyaratkan alokasi dana APBN/APBD atau investasi swasta dalam dan luar negeri. Menperin Fahmi Idris sedang merancang enam pabrik pengolahan yang akan menelan dana tak kurang dari Rp 10 triliun.

Advertisement

Pada langkah awal semua hal kedengarannya sangat bagus. Biji jarak, sawit, tebu, dan singkong yang dihasilkan para petani akan ditampung oleh pabrik-pabrik pengolah BBN. Sedangkan produk finalnya – biodiesel dan bioethanol – akan dibeli oleh PT Pertamina untuk dipasarkan kepada konsumen, seperti transportasi, PLN, dan industri.

Tetapi jangan dibayangkan bahwa kebutuhan energi dalam negeri seratus persen dipasok oleh BBN. Sebab BBN hanyalah pencampur BBM. Semakin tinggi persentase BBN di dalam campuran tersebut semakin menguntungkan, baik dari segi pengurangan pencemaran udara maupun penghematan BBM.

Biosolar yang dipasarkan Pertamina saat ini hanya mengandung 5% biodiesel dari minyak sawit dan 95% solar. Tentu makin lama unsur biodieselnya makin bertambah, dari B-5 menjadi B-10, B-20, dan seterusnya. Brasil yang lebih awal mengembangkan BBN, bioethanol dari tetes tebu telah mampu memenuhi campuran: 40% ethanol dan 60% bensin. Di negeri penghasil tebu terbesar di seluruh dunia itu, ethanol telah diekstrak menjadi bahan bakar pesawat.

Ditilik dari sudut penghematan energi dan devisa, lapangan kerja, dan penambahan pendapatan petani, memang semuanya tampak indah. Mudah-mudahan di dalam pelaksanaannya, tidak seperti kata pepatah, “lebih indah kabar dari rupa.” (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 17

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight / Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Khas

Berita Politik

Berita Ekonomi

Berita Tokoh

Lentera

Berita Wawancara

Berita Nasional

Berita Daerah

Berita Hukum

Berita Hankam

Berita Mancanegara

Berita Khusus

Berita Media

Berita Perempuan

Berita Pariwara

Berita Humaniora

Berita Agama

Berita Lingkungan

Berita Kesehatan

Berita Features

Berita Budaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini