Urgensi Reklamasi Teluk Jakarta

 
0
37
Majalah Berita Indonesia Edisi 95
Majalah Berita Indonesia Edisi 95 - Urgensi Reklamasi Teluk Jakarta

VISI BERITA (Reklamasi untuk Siapa?, Mei-Juni 2016) – Izin prinsip reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta sudah lama diberikan Pemprov DKI Jakarta kepada sembilan perusahaan pengembang yang didominasi oleh swasta. Dua di antaranya yang sudah mengantongi izin pelaksanaan malah sudah mulai mengelola proyek reklamasi berbiaya triliunan rupiah tersebut. Dalam pelaksanaan reklamasi itu, terlihat jelas bahwa pihak pengusaha swastalah yang men-drive dan menguasai pulau-pulau reklamasi itu.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 95 | Basic HTML

Dengan demikian, sudah barang tentu, hanya kalangan ataslah yang mungkin akan menikmati pulau-pulau hasil reklamasi itu, karena harganya pasti mahal sehingga tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Jika hal tersebut dibiarkan (dilanjutkan) tanpa perobahan aturan dan kebijakan, maka di sepanjang pantai Teluk Jakarta akan dibangun ‘benteng-benteng’ pemisah antara si kaya dan si miskin. Publik kaget. Bahkan anehnya, pemerintah pusat pun terkesan ikut kaget dan terbelalak.

Secara umum reklamasi berlangsung demi kemajuan suatu bangsa, seperti Singapura, Uni Emirat Arab di Teluk Persia yang menambah sekitar 250 km persegi pantai kota Dubai yang dikenal dengan Palm Islands, reklamasi Songdo di Korea Selatan, 38.000 hektare, yang dibagi menjadi 3 (tiga) zona, yakni resort, Bandara Internasional Incheon, dan kawasan industri, reklamasi Kansai di Kyoto, Jepang, reklamasi Cao Fe Dian di pantai timur Beijing, China.
Tetapi menerapkannya secara semberono dan serakah di pantai utara Jakarta, sangatlah tidak patut dilakukan. Atau paling tidak, belum terlalu urgen dilakukan. Sebab Indonesia punya 18 ribuan pulau yang sebagian belum terjamah bahkan enam ribuan lebih belum dikasih nama.

Maka timbul pertanyaan apa urgensi dan untuk siapa reklamasi Teluk Jakarta dilakukan? Melihat kenyataan yang ada, tampaknya pemerintah kehilangan visi dan orientasi ketika memberikan izin prinsip dan izin pelaksanaan reklamasi tersebut kepada para pengembang yang berorientasi kapitalis, pemburu rente, dan keuntungan material semata.

Selama ini, pemerintah sepertinya ‘dibuat’ terbuai sehingga lalai akan fungsi dan tanggung jawabnya untuk mengutamakan kepentingan rakyat. Untunglah, Allah tidak pernah tidur. Allah membuka tabir, dengan memakai tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan penerima dan pemberi suap yang terkait dengan proses lanjutan reklamasi itu. (Walaupun kemungkinan suap di awal atau akarnya belum pernah tertangkap tangan). Sehingga masalah reklamasi tersebut menjadi mendapat perhatian dan sudah dihentikan sementara. Walaupun moratorium reklamasi itu tidak dimaksudkan untuk menghentikannya, tapi hal itu sudah lebih baik daripada dilanjutkan tanpa ada perobahan visi, pengendali, dan peruntukan reklamasi tersebut. Sesungguhnya, kita berpendapat lebih baik reklamasi itu dihentikan.

Namun, kita juga menghargai keputusan pemerintah yang mengambil kebijakan moratorium selama enam bulan, karena sebelumnya pemerintah sudah terlanjur memberikan izin.
Presiden Jokowi melalui Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung (Pram) menegaskan selama moratorium, pemerintah akan membuat rencana masterplan terkait pengembangan dan pembangunan wilayah pesisir di ibu kota, atau disebut National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Program NCICD itu terintegrasi dengan reklamasi 17 pulau dan dengan penekanan proyek ini tidak boleh di-drive atau dikendalikan swasta, tapi sepenuhnya akan dikontrol pemerintah.

Tampaknya, pemerintah pusat telah menyadari, jika reklamasi diserahkan sepenuhnya kepada para pengembang (swasta) akan menimbulkan masalah sosial yang amat serius. Seperti diakui sendiri oleh Menko Kemaritiman Rizal Ramli, pemerintah tak mau reklamasi ciptakan benteng pemisah sosial. Rizal Ramli meminta ada kajian penggunaan pulau hasil proyek reklamasi sehingga tidak menjadi benteng pemisah antara warga miskin dan kaum kaya.

“Harus ada review penggunaan pulau. Saya tidak ingin di Indonesia ada benteng fisik dan nonfisik. Artinya cuma orang kaya yang tinggal, orang miskin digusur ke mana,” kata Rizal. Hal ini pulalah visi yang ingin kita tegaskan dalam kolom ini. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 95

Iklan

Advertisement

Salam Redaksi

Visi Berita

Iklan

Berita Terdepan

Berita Utama

Berita Politik

Berita Tokoh

Iklan

Lentera

Berita Opini

Berita Ekonomi

Berita Kesehatan

Berita Lingkungan

Berita Humaniora

Berita Iptek

Berita Otomotif

Berita Wisata

Iklan

Iklan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini