BIOGRAFI TERBARU

Continue to the category
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
27.3 C
Jakarta
Populer Hari Ini
Populer Minggu Ini
Populer (All Time)

Hukum Bukan Alat untuk Kezaliman

Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita

Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK

Opini Lainnya

Hukum seharusnya menjadi benteng keadilan, bukan alat untuk kezaliman. Namun, di Indonesia, penyalahgunaan hukum demi syahwat kekuasaan atau kebencian pribadi masih sering terjadi, mencoreng prinsip keadilan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengingat disiplin tinggi dalam penegakan hukum di negara tetangga seperti Singapura dan Jepang, Indonesia perlu menata kembali moral dan integritas aparatur negaranya. Diperlukan komitmen kuat untuk menegakkan hukum secara adil, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, demi masa depan generasi bangsa yang lebih baik.

Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita

Perilaku zalim terhadap sesama manusia yang dilandasi kebencian atau syahwat kekuasaan jelas dilarang oleh setiap agama. Tindakan ini dipastikan akan mengakibatkan ketidakadilan bagi pihak yang dizalimi. Dalam konteks ini, hukum yang seharusnya melindungi masyarakat dari kejahatan, bisa digunakan untuk tujuan kezaliman berdasarkan nafsu kekuasaan, kebencian pribadi, atau kepentingan politik.

Banyak korban kezaliman melalui kedok hukum kini menghuni Lapas Sukamiskin, Cipinang, dan Nusakambangan. Dipastikan bahwa korban-korban ini menanti waktu untuk melakukan pembalasan yang akan diingat sepanjang hidup mereka, termasuk oleh keturunan mereka. Hukum yang digunakan untuk kezaliman akan berbalas pada waktunya, dan Tuhan tidak akan pernah tidur melihatnya.

Setiap warga Indonesia yang Pancasilais wajib memahami makna sila keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab, yang dilandasi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kadang kita merasa malu dan iri melihat betapa disiplin tinggi aparat hukum di negara-negara tetangga seperti Singapura, Korea Selatan, dan Jepang dalam menegakkan hukum (undang-undang), termasuk dalam menangani kasus kriminal yang melibatkan pejabat pemerintahan. Mereka melaksanakan tugas secara konsisten dan penuh tanggung jawab, bahkan mundur dari jabatan hanya karena dugaan tindak pidana.

Hilangnya rasa malu dan tanggung jawab sosial di kalangan pejabat, termasuk aparat penegak hukum, telah menjadi “sub-budaya” (sub-culture) yang jika dibiarkan bisa menjadi “budaya bangsa” (national’s culture) Lalu, bagaimana masa depan generasi bangsa ini?

Pagar pengaman yang diharapkan dapat menjadi penuntun gaya hidup aparatur negara yang sederhana, baik, dan tidak tercela telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk kewajiban melaporkan harta kekayaan oleh setiap ASN. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga bertujuan menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari penyalahgunaan wewenang apakah dalam bentuk melampaui batas wewenang, mencampuradukkan wewenang atau bertindak sewenang-wenang.

Selain penyalahgunaan wewenang, sejak tahun 1999, aparat pemerintah/ASN dilarang melakukan nepotisme dan kolusi yang mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok. Pelanggaran atas larangan ini diancam pidana paling lama 12 tahun dan pidana denda.

Di sisi lain, setiap ASN, terutama yang memiliki wewenang berdasarkan mandat UU, termasuk presiden, tidak boleh melakukan kezaliman dengan tujuan politis atau personal terhadap sesama, termasuk lawan politiknya. Penyalahgunaan wewenang untuk menzalimi seseorang dengan tameng hukum adalah perbuatan tercela yang mencoreng kemuliaan hukum sebagai produk nurani dan nalar kemanusiaan yang adil dan beradab, menjaga harkat dan martabat setiap insan manusia.

Sejak era 1998, lebih dari seratus produk undang-undang belum termasuk peraturan daerah, telah dihasilkan pemerintahan Joko Widodo, namun kenyataannya produk perundang-undangan tersebut belum cukup bagi bangsa Indonesia. Diperlukan titik balik seratus delapan puluh derajat menuju pembinaan akhlak mulia bagi setiap aparatur pemerintah, terutama aparat penegak hukum sebagai pemimpin dan teladan manusia Pancasilais.

Di sisi lain, fungsi dan peranan hukum sebagai sarana pembaruan (cara berpikir) manusia di dalam mencapai tujuan/cita-cita kehidupannya sering tidak memedulikan aturan hukum yang berlaku. Kajian hukum secara mendalam dari hulu ke hilir sering menemui kegagalan atau hambatan dalam implementasinya, justru diawali dari hulu bukan dari proses di hilirnya.

Contoh produk hukum (baca: undang-undang) yang tidak mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas sering mendapat reaksi penolakan dari masyarakat. Misalnya, terjadinya tindakan menghalang-halangi proses penyidikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam beberapa perkara pidana telah terjadi “permufakatan” antara lembaga penegak hukum, termasuk Mahkamah Agung dan jajarannya, agar perkara “dimenangkan” atau “dikalahkan” tanpa mempertimbangkan secara serius dan objektif kepentingan tersangka atau terdakwa. Yang penting adalah target subjek berhasil dijebloskan ke penjara atau dibebaskan dari tuntutan jaksa.

Kasus-kasus seperti ini sering terjadi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat ASN eselon satu dan elit partai politik. Fenomena ini merupakan hambatan bagi NKRI sebagai negara hukum yang bermartabat, terutama dari pandangan masyarakat umum dan ahli hukum.

Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK

Beli Buku Hita Batak A Cultural Strategy

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Beli Buku The Story of Simplicity Mayjen TNI Dr Suyanto

Terbaru

Saat Pers Diteror, Prabowo Memilih “Adu Domba”

Kepala babi dan bangkai tikus dikirim ke kantor berita, tapi negara tak berdiri tegak. Presiden Prabowo hanya menyebut "adu...
26,568FansSuka
50,200PengikutMengikuti
645PengikutMengikuti
1,720PelangganBerlangganan
Majalah Tokoh Indonesia Edisi 48 PABU

Artikel Lainnya

Beli Buku Hita Batak A Cultural Strategy