
[OPINI] – Oleh Try Sutrisno | Bangsa ini tidak boleh terus-terusan berada dalam kungkungan dependensi (ketergantungan), tetapi harus bisa bersikap independen secara internal, dan bersikap interdependen secara eksternal.
Bangsa ini tidak boleh terus-terusan berada dalam kungkungan dependensi (ketergantungan), tetapi harus bisa bersikap independen secara internal, dan bersikap interdependen secara eksternal.
Prasyaratnya adalah persatuan dan kesatuan, kerukunan dan kekompakan, kebersamaan dan kekeluargaan, kesetiakawanan dan kepedulian sosial, toleransi dan empati antar sesama bangsa yang harus ditopang oleh terciptanya stabilitas nasional di segala bidang kehidupan. Karena kita semua sangat menyadari bahwa di masa mendatang adalah masa yang lebih berat dan lebih rumit dari masa kini.
Untuk mampu bersikap independen maka bangsa Indonesia harus selalu membiasakan diri bersikap proaktif (melakukan sekarang untuk yang akan datang) agar tidak selalu bertindak reaktif, kemudian harus selalu berusaha mengarahkan niat pada tujuan (begin with the end of the mind), serta bersikap ambeg parama arta (mendahulukan mana yang lebih penting yang semestinya memang harus didahulukan).
Dalam rangka mewujudkan sikap interdependen dalam arena percaturan global, bangsa ini perlu membiasakan diri berfikir win-win (solusi menang-menang dalam kesetaraan atas dasar ketegasan dan kebijaksanaan) disertai kepemilikan kekuatan tawar yang menentukan, kemudian sikap empati dalam kerangka saling menghormati dan menghargai, serta sikap sinergi atas dasar semangat kerja sama dan kepercayaan yang tinggi.
Agar independensi bangsa dapat terwujud, maka memerlukan kecerdasan yang harus senantiasa diasah dan ditingkatkan, meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, keerdasan fisik, dan kecerdasan spiritual. Tanpa adanya upaya serius ke arah ini, kita sebagai bangsa akan semakin ketinggalan dari negara-negara lain yang terus melaju dengan pembangunan nasionalnya. Dan yang terpenting, apapun yang kita lakukan hendaknya menjadikan Pancasila sebagai landasan berpijak, sebagai orientasi pencapaian cita-cita dan sebagai rambu-rambu dalam meniti jalan kebangsaan dan kenegaran mencapai tujuan nasional kita.
Agar independensi bangsa dapat terwujud, maka memerlukan kecerdasan yang harus senantiasa diasah dan ditingkatkan, meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, keerdasan fisik, dan kecerdasan spiritual. Tanpa adanya upaya serius ke arah ini, kita sebagai bangsa akan semakin ketinggalan dari negara-negara lain yang terus melaju dengan pembangunan nasionalnya. Dan yang terpenting, apapun yang kita lakukan hendaknya menjadikan Pancasila sebagai landasan berpijak, sebagai orientasi pencapaian cita-cita dan sebagai rambu-rambu dalam meniti jalan kebangsaan dan kenegaran mencapai tujuan nasional kita.
Penyikapan bangsa Indonesia terhadap Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa, serta kepribadian dan jatidiri bangsa, serta penyikapan mereka terhadap Pancasila sebagai landasan, orientasi dan rambu-rambu kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang, hendaknya benar-benar diarahkan, dibina, dibimbing secara konseptual melalui jalur edukasi, komunikasi, informasi, persuasi, instruksi, presentasi, simulasi, stimulasi, pertunjukan seni, keteladanan para pemimpin dan elit politik dan lain-lain.
Ini semua memerlukan upaya sistemik dan sistematik dari sisi kelembagaan, metoda maupun sarana dan prasarana pendukungnya, yang diawali adanya kemauan politik dari pemerintah dan tekad kuat seluruh komponen bangsa dengan dipelopori para elit politik dan para penyelenggara negara, para pemimpin serta tokoh masyarakat serta para ilmuwan dan media massa, termasuk kalangan para pemuda dan generasi muda pada umumnya.
Efektivitas Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang, hendaknya benar-benar bisa dirasakan pancarannya di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini semua tentunya juga memerlukan upaya sistemik dan sistematik dari sisi kelembagaan, metoda maupun saran dan prasarana pendukungnya, sebagaimana upaya pelurusan terhadap penyikapan bangsa ini terhadap Pancasila yan perlu diawali oleh adanya kemauan politik dari pemerintah dan tekad kuat seluruh komponen bangsa dengan dipelopori para elit politik dan para penyelenggara negara, para pemimpin serta tokoh masyarakat, serta para ilmuwan dan media massa, termasuk kalangan para pemuda dan generasi muda pada umumnya.
Juga diperlukan niat dan tekad yang kuat dari seluruh lapisan dan golongan masyarakat Indonesia untuk kembali kepada Pancasila, yang merupakan dasar falsafah negara dan ideologi negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa, serta kepribadian dan jatidiri ke-Indonesia-an bangsa Indonesia
Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir ini terdapat kecenderungan, dimana kepedulian anak bangsa terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, terhadap Pancasila, terhadap UUD Tahun 1945, terhadap nasionalisme Indonesia, serta terhadap masa depan bangsa dan negara di tengah dasyatnya arus putaran globalisasi, semakin menunjukkan tanda-tanda yang kurang mengembirakan, kalau tidak dikatakan sebagai hal yang kian mengkhawatirkan. Tragisnya, Pancasila nyaris tak pernah lagi disebut-sebut oleh para elit politik, para pemimpin dan tokoh, serta para ilmuawan dan agamawan kita. Juga oleh kalangan media massa dan penggiat organisasi massa, serta para generasi muda kita. Kajian ilmiah terhadap Pancasila juga menunjukkan trend menurun, kecuali hanya pada beberapa Lembaga Perguruan Tinggi yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap dasar falsafah negara dan deologi negaranya, yang sekaligus juga merupakan falsafah dan pandangan hidup serta kepribadian dan jatidiri ke-indonesia-an bangsa Indonesia.
Dalam dasa warsa terakhir ini tingkat kesadaran nasional dan kewaspadaan nasional di antara para anak bangsa negeri ini sangatlah rendah, sehingga demikian mudahnya dijadikan sasaran tembak oleh kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam sistem perang gaya baru pasca era perang dingin yang dikenal dengan istilah “perang modern multi dimensi”. Akibatnya, Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa serta kepribadian dan jatidiri ke-indonesia-an bangsa Indonesia, menjadi terpinggirkan, bahkan telah dilupakan dan ditinggalkan oleh sebagian besar anak bangsa negeri ini. Mereka lebih kesengsem pada ideologi negara lain, lebih terperdaya oleh sistem nilai lain di luar sistem Pancasila. Padahal Pancasila adalah sistem nilai hasil pemikiran filsafati yang digali dari nilai-nilai sosio-kultural bangsa sendiri, yang tertanam dan melekat pada watak dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri.
Terkait dengan kuatnya gelagat yang mengarah pada semakin dipinggirkannya dan ditinggalkannya Pancasila oleh para elit politik dan para penyelenggara negara, serta oleh para pemimpin serta tokoh negeri ini, tentunya mengundang beberapa pertanyaan dari kalangan masyarakat yang tetap memiliki komitmen tinggi terhadap Pancasila, serta tetap setia dan yakin serta konsisten terhadap dasar negara dan ideologi negaranya, falsafah hidup dan pandangan hidup bangsanya, kepribadian dan jati diri nasionalnya.
Terlepas dari semua itu namun satu hal yang pasti adalah bahwa secara hakiki keberadaan Pancasila senantiasa melekat dan tertanam kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, yang berdiri dan dibangun atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur seluruh rakyat Indonesia. Sehingga NKRI dan Pancasilanya yang merupakan satu kesatuan integral, adalah merupakan amanah Allah yang harus ditunaikan keberadaannya, penegakannya, vitalisasinya, aktualisasinya serta pengalamannya oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan penuh rasa tanggungjawab.
Permasalahan pokoknya bukanlah “apakah Pancasila masih relevan dan efektif”, tetapi apakah bangsa Indonesia terutama para elit politik dan para penyelenggara negaranya, serta para tokoh dan pemimpinnya, termasuk para ilmuwan dan cendikiawannya benar-benar telah mengerti, mengenal, memahami dan menyakini Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa, serta kepribadian dan jati diri bangsa Indonesia? Apakah ada kemauan yang kuat dari para elit politik dan pemimpin negeri ini, untuk menjabarkan dan mengimplementasikan Pancasila bukan hanya dalam tataran filsafat dan keilmuan saja, tetapi juga dalam pengamalannnya di seluruh sistem kehidupan nasional (politik, hukum, ekonomi, kesejahteraan rakyat, sosial budaya, pendidikan, hamkam dan lain-lain)? Apakah ada kesungguhan dan keikhlasan dari para elit politik dan pemimpin negeri ini untuk merevitalisasikan nilai fundamental yang terkandung dalam Pancasila, dan mereaktulisasikan nilai-nila yang bersifat instrumental dan operasional? Apakah ada tekad yang bulat dari ara elit politik dan pemimpin negeri ini untuk menegakkan, mengawal dan membela Pancasila dalam satu kesatuan integral dengan upaya menegakkan, mengawal dan membela NKRI?
Apabila para elit politik dan penyelenggara negara, serta para tokoh dan pemimpin negeri ini sudah melupakan dan meninggalkan Pancasila sebagai acuan dasar dan landasan berpijak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lantas apa dasar negara yang dijadikan acuan oleh para pemimpin dan penyelenggara negara selama ini? Apakah kondisi seperti ini akan terus dibiarkan begitu saja? Apakah kita akan membiarkan diri terbengong-bengong tanpa arah dan pegangan di tengah-tengah deras dan dasyatnya arus globalisasi? Apakah akan kita biarkan berbagai bentuk ancaman dan gangguan menggerogoti kemerdekaan dan kedaulatan kita sebagai bangsa, tanpa mampu memanggulanginya?
Apakah kita akan biarkan berbagai setiap peluang globalisasi yang terhampar di hadapan kita ditangkap dan direbut bangsa lain? Apakah kita akan biarkan bangsa besar dan bangsa pejuang ini hanya menjadi sasaran serta korban permainan dan bulan-bulanan negara lain, bahkan oleh negara-negara tetangga yang lebih kecil? Apakah keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakah amanah Allah, yang dibangun dan didirikan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, yang diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para pendahulu kita, dengan didorong oleh keinginan luhur seluruh rakyat Indonesia, akan dibiarkan hancur berantakan oleh anak-anak bangsanya sendiri yang berpola pikir terjajah oleh bangsa lain?
Tentu saja tidak. Dan untuk itu, kita sebagai bangsa yang bermartabat, bangsa besar dan bangsa pejuang, mulai dri sekarang perlu sadar diri dan bangkit untuk kembali kepada jalur jalan dan landasan kehidupan bebangsa dan bernegara yang lurus dan benar, yaitu Pancasila.
Kita harus yakin bahwa Pancasila mampu membawa bangsa dan negara ini ke puncak kejayaannnya, mejuju tercapainya cita-cita dan tujuan nasionalnya, karena hal-hal sebagai berikut:
Secara historis: Pancasila digali dari nilai-nilai sosio-kultural bangsa sendiri dalam jangka panjang. Pancasila lahir bersamaan dengan berdiri dan tebentuknya NKRI yang merupakan negara yang dibangun atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur seluruh rakyat Indonesia, sehingga Pancasila merupakan amanah Allah yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Berbagai perlawanan, pengkhianatan atau pemberontakan terhadap Pancasila yang dilakukan oleh beberapa kekuatan politik bermotif ideologis yang dilakukan secara lunak maupun keras, cepat atau lambat selalu mengalami kegagalan
Secara filosofis: Pancasila merupakan hasil pemikiran filsafati yang digali dari nilai-nilai bersifat fundamental dari sosio-kultural bangsa Indonesia selama perjalanan kesejarahannya, dalam kurun waktu berabad-abad lamanya.
Secara filsafati: Pancasila digali dari nilai-nilai yang terkait dengan persoalan hidup menghadapi diri sendiri, persoalan hidup menghadapi sesama makluk dan persoalan hidup menghadapi Tuhan Yang Maha Esa, sampai pada rumusan lima sila dari Pancasila.
Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya meliputi dimensi universal dan umum maupun dimensi nasional dan khusus. Pancasila tak hanya memberikan acuan fundamental dalam hal politik kenegaraan tetapi juga dalam hal moralitas dan etika kenegaraan, di mana fundamen moral menjiwai fundamen politik. Fundamen politik negara terdiri atas dasar persatuan bagi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang diproses melalui sistem kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Fundamen moral negara terdiri atas kemanusiaan yan adil dan beradab dalam naungan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila merupakan solusi seimbang dan bijaksana yang mempertemukan antara: sekularisme dan religiosme, faham demokrasi liberal model Barat yang modern dengan faham demokrasi pedesaan yang tradisional serta faham individualisme yang lebih mengedepankan kepentingan perseorangan dan kolektivisme yang lebih mengedepankan kepentingan bersama (umum).
Secara Yuridis: Pancasila melekat dan menyatu dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan Pokok Kaidah Fundamental Negara (Staats Fundamentiel Norm). Bersamaan dengan Pembukaan UUD 1945, Pancasila disahkan dalam Sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila menjiwai seluruh pokok pikiran yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 (Pokok Kaidah Fundamental Negara).
Secara substantif: Menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, serta senantiasa terdorong untuk melakukan interaksi secara adil dan beradab dengan sesama makluk yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan seluruh lingkungan alam.
Bangsa yang mengutamakan persatuan dan kesatuan, kebersamaan dan kekeluargaan dan kesetiakawanan, serta kepedulian dan toleransi. Bangsa yang menjunjung tinggi prinsip kerakyatan (demokrasi, kedaulatan rakyat) yang dituntun, dibimbing dan dipimpin oleh “hihmah” (kebenaran yang bersumber dari Nur Ilahiyah) dan dituntun, dibimbing dan dipimpin oleh “kebijaksanaan” (kebenaran yang bersumber dari akal-budi-nurani manusia) dan dilaksanakan melalui proses musyawarah untuk kemufakatan, di Lembaga Perwakilan yang mendapat amanah dari rakyat dan mampu mengembang amanah rakyat.
Bangsa yang mendambakan tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa ada diskriminasi, yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, antara kontribusi dan penerimaan hasil yang menjadi haknya, antara kelapangan si kaya dan penderitaan si miskin.
Secara religio-kultural: Pancasila digali dan bersumber dari nilai-nilai fundamental sosio-kultural bangsa Indonesia. Pancasila digali dan bersumber dari nilai-nilai agama, terutama menyangkut prinsip Kemahaesaan Tuhan (Tauhid), Kemanusiaan (Ukhuwwah Insaaniyah), Keadilan, Adab, Persatuan (Umataw waahidah), Hukmah (kebenaran yang bersumber dari Nur Ilaahiyah), Musyawarah (Asy-Syuuraa) dan Perwakilan.
Pancasila menegaskan bahwa NKRI bukanlah negara berdasar sekularisme dan juga bukan negara berdasarkan suatu agama atau madzab agama tertentu, tetapi merupakan negara demokrasi yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Negara Theis Demokratis).
Secara posisional: Pancasila merupakan dasar falsafah negara (disebut “dasar negara”) yang menjadi landasan berpijak (bertumpu) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan ideologi negara, yang menjadi orientasi atau arah yang dituju dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan rambu-rambu, yang memandu perjalanan bangsa Indonesia dalam menjalani gerak dinamika kehidupan kesejarahannya di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila merupakan falsafah hidup atau pandangan hidup atau jalan hidup bangsa Indonesia (way of life – weltanschuung), yang menjadi pedoman dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan kepribadian nasional dan jatidiri ke-indonesia-an bangsa Indonesia, yang melekat dan tertanam kuat dalam segala kiprah dan gerak dinamika bangsa ini dalam mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya.
Secara realitas: Tidak sedikit kalangan yang tertarik dan berminat mendalami Pancasila karena dinilai relevan dengan kehidupan manusia di masa kini dan masa mendatang. Terutama berkenaan dengan adanya sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta prinsip musyawarah untuk mufakat yang dinaut dalam sistem Demokrasi Indonesia.
Manusia manapun tidak bisa hidup sendiri secara mutlak independen, dan sebaliknya tak bisa hanya tergantung pada pihak lain, tetapi terikat pada hubungan interdependensi dengan sesama makluk. Dan hubungan interdependensi tersebut memerlukan adanya sumber kekuatan yang luar biasa sebagai pengatur dan penyeimbang, yang tiada lain adalah kekuatan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan itu terdapat di dalam sila pertama Pancasila yang menjiwai seluruh sila lainnya.
Manusia dari sifat kodratnya merupakan makluk individu dan sekaligus makluk sosial. Dan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, manusia merupakan warga negara yang terikat dalam persatuan (Indonesia) dan warga dunia sebagai sesama manusia makluk Tuhan yang terikat oleh hukum kemanusiaan universal (persaudaraan sesama manusia antarbangsa). Dan ini terdapat pada sila kedua dan ketiga Pancasila.
Proses Demokrasi
Manusia berhimpun membentuk suatua kelompok bangsa yang kemudian menegara. Kelompok bangsa yang telah menegara tersebut memerlukan pemimpin-pemimpin dari strata yang tertinggi hingga yang terendah. Pemimpin mesti dipilih atas dasar keinginan rakyat, tetapi harus melalui proses yang benar, baik dan mulia agar bisa dihasilkan pemimpin yang benar-benar berkemampuan, adil dan berakhlak mulia.
Proses yang disebut kerakyatan atau demokrasi tersebut karenanya perlu memenuhi kriteria sbb: Dituntun, dibimbing dan dipimpin oleh “hikmah” (kebenaran yang bersumber dari Nur Ilahiyah); Dituntun, dibimbing dan dipimpin oleh “kebijaksanaan” (kebenaran yang bersumber dari akal-budi-nurani manusia); Dilaksanakan melalui proses musyawarah untuk kemufakatan; Dilaksanakan di lembaga perwakilan yang mendapat amanah dari rakyat dan diawaki oleh orang-orang yang mampu mengemban amanah rakyat.
Kepemimpinan Kerakyatan yang dijalankan hendaknya benar-benar adil serta mengedepankan aspirasi dan kepentingan rakyat, sepanjang hal itu memang tak bertentangan dengan norma hukum, norma budaya dan norma agama, serta jangan sampai mempraktekkan cara-cara kepemimpinan seperti kepemimpinan diktaturial, monarki atau tirani. Dan itu semua terdapat di dalam sila ke empat dari Pancasila
Manusia pada dasarnya menginginkan diperlakukan secara adil, yaitu diperlakukan atau diberikan sesuatu sesuai dengan yang memang telah menjadi haknya, sepadan dengan kewajiban atau kontribusi yang diberikannya. Adil juga berarti memperlakukan sesuatu sesuai fungsinya dalam arti tidak ada penyimpangan atau kekeliruan dalam mendayagunakan sesuatu. Dan ini terdapat di dalam sila ke lima Pancasila
Sebagai tindak lanjut dari niat, tekad dan semangat bangsa Indonesia untuk kembali kepada Pancasila, maka diperlukan upaya sbb: Perlu disiapkan sistem dalam upaya merevitalisasi Pancasila dan mereaktualisasikannya; Perlu dibentuk lembaga di pusat maupun di daerah semacam BP-7 di masa lalu; Perlu dibentuk lembaga pengkajian atau Lembaga Studi Pancasila di semua universitas dan lembaga pendidikan tinggi negeri maupun swasta yang tersebar di seluruh nusantara; Perlu digalakkan kembali metoda sosialisasi dan pendalaman Pancasila melalu berbagai jalur: edukasi, komunikasi, informasi, persuasi, instruksi, presentasi, simulasi, stimulasi, pertunjukan seni, keteladanan para pemimpin dan elit politik dan lain-lain; Perlu diberikan payung hukum, mulai dari TAP MPR hingga ke Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan seterusnya sesuai stratifikasi peraturan perundangan yang berlaku.
Terlepas dari semua itu, yang terpenting adalah adanya komitmen yang tinggi disertai oleh adanya niat dan tekad yang kuat di kalangan anak bangsa ini, untuk melestarikan dan mengembangkan Pancasila secara ikhlas dan sungguh-sungguh, sebagai wujud tanggung jawab anak-anak bangsa kepada para pendahulunya, khususnya kepada para bapak bangsa pendiri republik NKRI ini. Dan lebih utama lagi, agar bangsa ini mampu menghadapi era globalisasi dengan tenang, teguh, tegar dan cerdas dalam arti di satu sisi mampu merebut dan menangkap setiap peluang yang menyertainya dan di sisi lain mampu menangkal setiap bentuk hakikat ancaman yang timbul atau akan timbul. Opini TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
*Penulis: Try Sutrisno, Jenderal TNI (Purn), mantan Panglima ABRI dan Wakil Presiden RI