
[WAWANCARA] – WAWANCARA THEO L SAMBUAGA: Pertama, aparatur pemerintahan harus berdasarkan sistem good governance. Kedua, civil society harus kuat. Sektor negara seperti pemerintah, MA, BPK dan sektor masyarakat seperti pers, mahasiswa, LSM, Parpol harus diberdayakan.
Semuanya ini harus kuat tidak hanya di Pemilu saja tetapi setelah Pemilu terus diperkuat sehingga sektor masyarakat ini menjalankan fungsi kontrolnya sebagaimana mestinya, sementara sektor negara bekerja secara terbuka, akuntabel dan transparan.
Ketua DPP Partai Golkar The L. Sambuaga dalam percakapan dengan Marjuka, Atur Lorielcide dan Ch Robin Simanullang dari TokohIndonesia.Com, Jumat 10 Oktober 2003 di Jakarta, juga menampik keraguan beberapa pihak atas komitmen Partai Golkar jika nanti tampil sebagai pemenang Pemilu, untuk melakukan koreksi tehadap kesalahan-kesalahan orde baru. Menurutnya, mengenai koreksi itu sudah merupakan komitmen dari Golkar. Sekarang saja Golkar sudah mengoreksi dirinya. Golkar jelas punya komitmen pro reformasi, dan kita sudah melaksanakan reformasi, demokratis termasuk dalam diri sendiri. Jadi mengenai itu tidak perlu diragukan lagi.
Ia juga berbicara tentang perbedaan Golongan Karya dengan Partai Golkar dan tuduhan kepada Golkar mencuri start kampanye. Juga tentang ekses reformasi, dan posisi Indonesia sekarang di forum internasional khususnya ASEAN.
Selain itu, ia juga bicara tentang potensi kemajemukan bangsa ini. Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan latar belakang. Marilah kita belajar hidup bersama, tidak perlu dijadikan satu atau seragam, biarlah kita tumbuh berdasarkan latar belakang sosialnya, etniknya, pemikirannya. Tetapi yang penting kita mempunyai komitmen, satu tujuan membangun bangsa ini secara keseluruhan. Berikut ini, simak petikannya:
TOKOHINDONESIA.COM (TI): Bila dirunut dari perjalanan organisasi, mulai dari Pramuka, OSIS, GSNI, GMNI hingga Golkar, Anda dibesarkan dalam budaya kemajemukan?
THEO L SAMBUAGA (THEO): Saya lahir dari keluarga etnis Minahasa, yang beragama Kristen tetapi begitu saya berkenalan dengan organisasi, saya memilih organisasi yang menampung kemajemukan. Karena saya ingin melihat dan bergaul dengan orang yang berbeda latar belakang dengan saya. Karena itulah saya beruntung bergabung di Pramuka. Karena itu, prinsip-prinsip kebangsaan itu tertanam mulai dari Pramuka, GSNI, GMNI, sehingga ketika saya dewasa saya menganggap kemajemukan atau pluralisasi adalah suatu anugerah, berkat dari Tuhan.
Maka kemajemukan harus kita hargai dan kita manfaatkan menjadi suatu potensi, suatu kekuatan. Oleh karena itu perlunya suatu kebersamaan, kita memadukan hal-hal yang baik dari semua unsur-unsur kemajemukan itu menjadi suatu kekuatan. Kemajemukan ini termasuk perbedaan, mendorong untuk menjadi lebih kreatif.
Menurut Anda kemajemukan adalah kekuatan. Prinsip-prinsip apa yang harus dipahami dalam pengembangan kemajemukan itu dalam tingkah laku seseorang?
THEO: Dari segi budaya dan sosial kita ini bangsa yang majemuk dalam pengertian ada berbagai suku, agama, dan latar belakang. Marilah kita belajar hidup bersama, tidak perlu dijadikan satu atau seragam, biarlah kita tumbuh berdasarkan latar belakang sosialnya, etniknya, pemikirannya.
Tetapi yang penting kita mempunyai komitmen, satu tujuan membangun bangsa ini secara keseluruhan. Melindungi segenap bangsa ini tanpa membeda-bedakan asal-usul atau latar belakang agamanya, sukunya. Membangun seluruh tumpah darah Indonesia tanpa membedak-bedakan apakah dia di Lhoksemawe atau di Manado. Biarlah kita tumbuh dengan identitas, latar belakang, kulturnya masing-masing dan berkompentisilah secara sehat.
Oleh karena itu, perlakuan kita terhadap masyarakat bukan dilihat karena sukunya, agamanya, atau keturunannya, tetapi dilihat sebagai bangsa Indonesia, masyarakat yang harus ktia sejahterakan. Tidak ada yang dianakemaskan, tidak ada yang dianaktirikan.
Hukum kita harus hukum nasional yang berlaku sama untuk semua warga negara. Tiap warga negara mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Kesempatan juga begitu. Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang, untuk berpartisipasi dalam pemerintahan tidak dibeda-bedakan entah menjadi presiden, menteri, apa saja.
Seseorang bukan dilihat dari suku atau agamanya, tetapi dilihat dari kemampuan, komitmen dan idealisme membangun bangsa. Kita harus belajar hidup bersama dalam perbedaan bukan mematikan perbedaan. Bila orang Minang sudah dari sananya seperti itu, jangan kita memaksa dia menjadi sama seperti kita.
Dari pengalaman bangsa ini setelah 58 tahun merdeka, bagaimana Anda melihat, pemahaman kemajemukan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat?
THEO: Saya kira main line-nya itu tetap, orang masih hormat menghormati. Cuma yang terjadi seperti konflik Poso, Ambon orang lihat di sana konflik antaragama. Betul terjadi konflik horizontal tapi itu dipicu oleh provokator. Sebenarnya rakyat di Ambon sejak ratusan tahun lalu hidup rukun bertetangga beda agama, beda suku. Tapi kemudian mungkin solidaritas nasionalnya jadi menurun karena mungkin hidup semakin susah, orang berlomba-lomba mencari nafkah untuk memenuhi kehidupannya yang sulit. Kemungkinan terjadi persinggungan bisnis, lalu masuk provokator. Itulah yang mengakibatkan. Syukurlah sekarang berhasil diatasi dan sudah mulai rukun lagi. Kita senang soal itu.
Kalau ditanya dalam kehidupan politik, kita pada dasarnya, rakyat kuat pemikiran kebangsaannya, tetapi yang terjadi kadang-kadang itu dimanipulasi oleh orang-orang yang tidak mendapat tempat dengan kompetisi yang sehat. Kalau berkompetisi secara sehat dalam kehidupan politik mungkin tidak mendapatkan tempat kemudian dia memainkan isu-isu suku, agama secara terselubung.
Sekarang kita masuk ke era yang terbuka dimana orang-orang seperti tadi akan makin tersingkirkan, yang memainkan emosi rakyat, yang memainkan jurnalisme sempit, untuk kepentingan dirinya akan makin tersisih. Semakin terbuka kita, semakin demokratis kita pemikiran sempit seperti itu akan semakin kurang mendapat tempat.
Barangkali desadaran kemajemukan di elit politik, justeru yang paling perlu diasah lebih dulu?
THEO: Kesadaran itu ada tapi yang penting wawasan kebangsaan terus ditingkatkan dan jangan tergoda untuk kepentingan sempit. Kadang-kadang tergoda untuk kepentingan sempit yaitu kekuasaan pribadi, sehingga memainkan isu-isu suku, agama dan kelompok.
Bagaimana pandangan Anda tentang era reformasi sekarang ini?
THEO: Selama orde baru tekad kita membangun adalah melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Idenya baik, membangun itu supaya rakyat jangan terlalu konsentrasi ke politik. Tentang pembangunan ekonomi, banyak hal-hal positif yang menjadi hasil orde baru.
Tapi kita juga mengetahui bahwa ada hal-hal yang tidak benar, tidak tepat, inilah yang perlu kita luruskan. Seperti kita ketahui selama orba di samping keberhasilan, kemajuan khususnya di bidang perekonomian, bahan-bahan pokok tercukupkan, muncul persoalan yaitu masalah keadilan, besarnya gap antara yang kaya dengan yang miskin, korupsi, kemudian sentralisasi yang berlebihan, sentralisasi dalam arti bukan saja antara daerah dengan pusat tetapi juga antar sektoral, sehingga terjadi kecemburuan. Tetapi semua itu dapat diredam dengan suatu manajemen politik yang ketat dan tertutup.
Sehingga dalam reformasi ini beberapa hal yang salah dan kurang tepat itu perlu dikoreksi. Kita sekarang bergerak ke arah demokratisasi, desentralisasi, menghormati dan menjunjung tinggi HAM, dan penegakan hukum.
Walaupun saya sendiri melihat bahwa banyak keluhan terhadap reformasi sekarang ini. Terjadi euforia yang berlebihan sehingga ada yang mengatakan demokrasi sudah terlalu liberal. Tetapi saya kira itu bagian dari perjalanan kita. Saya sendiri tidak pesimis, ke depan kita akan lebih baik. Yang penting menurut saya adalah dasar kehidupan berpolitik yang demokratis sudah pada tempatnya. Kita sudah mempunyai sistem multipartai yang saya kira sejalan dengan kondisi kemasyarakatan kita yang sangat majemuk. Kita memang hidup dalam masyarakat yang sangat majemuk, jadi sistem multipartai itu cocok dan sejalan dengan kenyataan.
Yang penting sekarang ini bagaimana Parpol yang dibentuk itu betul-betul dapat ditumbuhkan dan dikembangkan menjadi Parpol yang baik dan bertanggung jawab, membangun dan mempersiapkan kader-kadernya yang berintegritas, berkemampuan, serta memelihara etika politik.
Hal ini yang masih merupakan perjuangan panjang, tetapi kita harus tetap optimis dan tidak boleh mundur. Kita harus maju terus. Kita sekarang ‘on the right track’, tinggal bagaimana kita meminimalkan berbagai ekses-ekses yang tidak perlu. Memang terjadi ekses-ekses yang berlebihan tetapi saya secara prinsipil mendukung kebebasan pers yang sekarang kita nikmati. Itu suatu pilar yang penting dalam kehidupan politik. Demokrasi yaitu sistem multipartai, Pemilu yang bebas demokratis, kebebasan pers, dan penegakan hukum.
Inilah yang harus kita tegakkan. Banyak kekurangan-kekurangan tetapi kita harus terus mengembangkan dan membangun kehidupan demokrasi itu. Jadi menurut saya, dalam era reformasi ini, kita tidak boleh terlalu mengeluh. Misalkan tentang otonomi daerah. Ada keluhan dimana kepala daerah menjadi raja-raja kecil, daerah menjadi tidak terkontrol, itulah yang harus kita perbaiki, karena itu adalah ekses.
Begitu juga dengan demokrasi, dimana lahir sampai ratusan partai, nanti rakyat yang menyeleksi, kalau ada 200 Parpol tapi yang memenuhi syarat ke Pemilu mungkin jauh dari situ, karena kemudian rakyat yang menyaring, dan katakanlah 40 atau 30 yang ikut Pemilu, mungkin hanya 20 atau 10 yang memperoleh kursi di DPR. Hal itu tidak apa-apa, itulah proses demokrasi.
Ada beberapa hal yang perlu dalam membangun demokrasi yaitu: Pertama, menaati etika politik yang menjadi landasan bersama, tanggung jawab moral kita bersama untuk juga menjadi bingkai atau pagar. Kedua, masalah korupsi. Kita harus betul-betul menghilangkan money politik karena ini termasuk bagian dari korupsi. Mengenai ini kita tidak ada pilihan lain, kita harus betul-betul memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya dan korupsi itu terjadi pada masa orba dan sekarang juga terjadi. Ini memang suatu tantangan terutama bagi Parpol, pimpinan Parpol, politisi. Korupsi harus diberantas karena korupsi tidak hanya di pemerintahan tetapi juga di parlemen dan masyarakat.
Ketiga, penegakan hukum. Korupsi itu ada yang dapat secara jelas dan transparan terlihat oleh hukum dan ada yang saking halusnya sehingga tidak terlihat tapi orang bisa rasakan, tetapi tidak bisa dibuktikan. Oleh karena itu yang paling penting adalah semua harus bersinergi dalam penegakan hukum, hukum yang benar-benar preventif dan representatif dapat mencegah korupsi.
Budaya anti korupsi harus tumbuh berkembang di semua lini, terutama di kalangan masyarakat sehingga orang yang korupsi bukan saja kena hukum, terancam hukuman kemudian dihukum, tetapi juga kena sanksi sosial masyarakat. Masyarakat kemudian mencibirkan dan meminggirkan orang yang korupsi. Jadi ada sangsi sosial untuk mencegah dan mendukung usaha membangun suatu aparatur pemerintah yang berwatak good governance.
Akibat dari korupsi bisa dilihat dari bocornya keuangan negara, masyarakat jor-joran dan hidup konsumtif yang berlebihan, tetapi orang lain hidup susah dan terpinggirkan, orang mendewakan materi. Sendi-sendi kehidupan sosial kita rusak, solidaritas nasional menurun, orang tidak merasa senasib sepenanggungan, tidak merasa sebangsa setanah air, karena ekses-ekses akibat dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Padahal kalau kita bisa mengurangi atau memberantas korupsi, uang yang hilang itu bisa digunakan unuk kepentingan pendidikan, kesehatan, membangun infrastruktur, dan sebagainya.
Korupsi juga mengakibatkan kita tidak efisien dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan termasuk kegiatan perekonomian, akibatnya daya saing kita tidak ada, produktifitas menurun, dalam segala hal kita tidak bisa diandalkan.
Kemarin saya membaca bahwa kita berada pada urutan keenam negara terkorup dari 133 negara. Barangkali tidak seluruhnya benar, tetapi pasti ada benarnya. Kita harus punya satu sistem yang komprehensif dan mudah-mudahan sekarang kita sudah membuat Komite Anti Korupsi, hukum dapat benar-benar ditegakkan.
Langkah-langkah konkrit apa yang dilakukan seorang pemimpin negara ini untuk bisa mengakhiri korupsi?
THEO: Pertama, aparatur pemerintahan berdasarkan sistem good governance. Kedua, civil society harus kuat. Sektor negara seperti pemerintah, MA, BPK dan sektor masyarakat seperti pers, mahasiswa, LSM, Parpol harus diberdayakan,. Semuanya ini harus kuat tidak hanya di Pemilu saja tetapi setelah Pemilu terus diperkuat sehingga sektor masyarakat ini menjalankan fungsi kontrolnya sebagaimana mestinya, sementara sektor negara bekerja secara terbuka, akuntabel dan transparan.
Sektor masyarakat diperlukan supaya ada yang terus berteriak sebagai mekanisme kontrol. Masyarakat juga yang akan menilai apakah yang diteriaki itu benar atau tidak. Bila teriakannya tidak benar, pasti tidak efektif. Tetapi kalau benar, pasti akan laku dan membuat tersentak orang yang berada di sektor negara, diingatkan untuk koreksi diri. Mungkin tidak diakui tapi diam-diam dia mengoreksi diri, itu sudah bagus. Jadi biarlah sektor masyarakat itu tetap teriak, meskipun bising tapi tidak apa-apa, karena fungsinya yaitu mengontrol.
Ketiga, penegakan hukum baik secara preventif maupun represif tanpa pandang bulu. Keempat, perbaikan sistem. Sistem peradilan yang terbuka. Hakimnya berintegritas, para penegak hukum berintegritas termasuk aparat pemerintahan.
Kemampuan profesional terus ditingkatkan, disiplin dan komitmen untuk berjuang demi kepentingan bangsa. Dan juga yang sangat penting adalah hidup yang layak. Gaji dan tunjangan harus betul-betul layak sehingga tidak perlu lagi mereka memikirkan hal-hal lain untuk menunjang hidup, dari gajinya harus bisa hidup layak. Kita harus meningkatkan disiplin serta kesejahteraan para aparatur pemerintahan khususnya aparatur penegak hukum. Sehingga bekerja dengan jujur dan bersih sehingga meningkatkan efisiensi, produktifitas, daya saing, hasil produk dan kualitas yang baik. (Bersambung) * Marjuka – Atur Lorielcide Paniroy
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
02 | Parpol Harus Mawas Diri
Parpol adalah wadah pengkaderan pemimpin bangsa ini. Tetapi banyak pengamat melontarkan kritik terhadap Parpol di negeri ini yang dinilai belum layak disebut sebagai solusi bahkan mungkin menjadi masalah. Bagaimana pendapat Anda?
THEO: Sebagai orang yang bergerak di bidang politik, kita harus terus menerus introspeksi, mawas diri dan memperbaiki diri sebab harus diakui banyak kelemahan, apakah itu secara pribadi, organisasi atau partai. Misalkan sebagai Parpol yang mendapat kepercayaan memimpin bangsa dan negara, ia harus terus memperbaiki dirinya, memperbaiki perilaku politiknya dan dapat mengambil keputusan kebijakan publik dengan benar.
Jadi Parpol harus mampu membina, mendidik anggota-anggotanya dan kadernya menjadi kader yang mempunyai integritas yang kuat, berkemampuan, mempunyai ilmu pengetahuan, dan komitmen. Komitmen terhadap perjuangan untuk mewujudkan aspirasi rakyat. Jadi dia harus bertanggung jawab dan terbuka, akuntabilitas harus ada, bersedia dikontrol. Kalau rakyat mengatakan tidak becus, ya harus siap diganti, siap mundur. Parpol harus terus melihat ke dalam, terus memperbaiki diri.
Yang dipilih rakyat menjadi gubernur, menteri, presiden, Parpol tentu yang baik. Oleh karena itu, kita harus terus-menerus meningkatkan kemampuan, integritas, tanggung jawab dan komitmen perjuangan sehingga yang diberikan kepada rakyat benar-benar kader-kader yang baik, berkemampuan dan berintegritas. Jadi, masyarakat yang akan melihat, menilai dan mengoreksi.
Pada pihak lain saya mengharapkan supaya orang-orang yang mengkritik itu kalau bisa juga turut terlibat. Parpol itu kan bukan milik perorangan. Kalau para tokoh-tokoh yang berkualitas dan berintegritas masuk ke Parpol, kita bisa bersama-sama memperbaiki dan memimpin. Niat kita untuk memperbaiki akan lebih cepat kalau semua tenaga-tenaga terbaik itu joint bersama. Sebab akhirnya yang memimpin negara kan dari Parpol.
Kalau stoknya kurang bagus atau malah jelek, bagaimana bisa diharapkan menjadi pemimpin. Jadi teman-teman kita yang bagus-bagus di luar Parpol jangan hanya mengamati dan berdiri di luar, tapi silahkan maju dan perbaiki kalau perlu pimpin, itu tidak masalah.
Kembali ke belakang, sebagai seorang yang senang berorganisasi dari kecil dan bermuara ke Parpol, apa yang mendorong Anda memilih Golkar sebagai kendaraan Politik?
THEO: Sewaktu saya terjun ke politik tahun 1978/1979, waktu itu baru ada tiga Parpol yaitu PDI, PPP dan Golkar. Di samping alasan-alasan lain yang lebih subyektif, mungkin lingkungan saya karena sudah di Golkar. Pilihan pertama saya ke PDI, di sana banyak teman pada waktu itu, kalau dilihat dari hubungan historis GMNI, meskipun GMNI sebenarnya independen. Tetapi saya lihat sebagai satu wadah, PDI waktu itu kurang mempunyai konsep-konsep dan program-program yang menyentuh upaya kita untuk mengejar kemajuan. Kalau PPP, waktu itu mereka hanya menerima kader Islam, sehingga saya tidak bisa.
Lalu saya pilih Golkar, karena selain berlatarbelakang kebangsaan juga menawarkan suatu upaya-upaya pembaharuan dan pemikiran-pemikiran, konsep-konsep, dan program-program untuk menyejahterakan bangsa, program meningkatkan partisipasi rakyat dan seterusnya. Golkar menawarkan doktrin karya-kekaryaan, berideologi Pancasila yang juga sama dengan PDI, tapi di samping itu dia menjelaskan bahwa membangun itu orientasi kita kekaryaan, orientasi kepada achievement. Sehingga saya tertarik masuk ke situ, walaupun saya juga melihat berbagai masalah yang ada di dalam.
Sebagai Parpol, Golkar termasuk organisasi yang tergolong mapan walaupun ada gelombang yang dilalui pada era reformasi ini. Tapi apa yang membedakan Golongan Karya dengan Partai Golongan Karya?
THEO: Waktu Golkar yang dulu, sistem politik pada waktu itu mengakibatkan Golkar tidak mau menawarkan diri sebagai Parpol meskipun yang dijalankannya adalah peranan Parpol. Jadi yang jelas namanya pada waktu itu bukan partai politik meskipun ikut Pemilu dan menjalankan fungsi Parpol. Ada dualisme sebenarnya waktu itu.
Pada waktu itu, Golkar jelas bukan suatu organisasi yang independen. Golkar saat itu sangat dependen karena apa yang disebut waktu itu tiga jalur dan sangat dependen pada birokrasi, birokrasi TNI maupun birokrasi sipil. Jelasnya Golkar waktu itu tidak berdiri sendiri dan kenyataannya sangat tergantung kepada kekuasaan malah menjadi alat pembenaran kekuasaan. Itulah kelemahannya. Kemudian kita koreksi pada reformasi, kita perbaiki sendiri. Golkar mereformasi dirinya.
Kemudian Golkar yang sekarang yaitu Partai Golkar menjadikan diri sebagai Parpol yang independen, tidak lagi menjadi bagian dari tiga jalur itu. Tidak lagi mempunyai hubungan dengan birokrasi, tidak menjadi alat politik kekuasaan. Yang mengendarai dia adalah anggota Golkar. Karena itulah menjadi prinsip, kita menjadi partai yang mandiri, bebas, independen. Dan Golkar yang sekarang komit berjuang dalam suasana sistem Parpol yang banyak, multi partai politik. Itulah saya kira perbedaannya. Dan Golkar sendiri juga yang merubah, mereformasinya. (Bersambung) * Marjuka – Atur Lorielcide Paniroy
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
03 | Ikut Konvensi Capres Golkar
Salah satu langkah yang dilakukan Golkar saat ini adalah melakukan penjaringan calon presiden melalui konvensi. Apa yang mendorong Anda ikut dalam konvensi tersebut?
THEO: Pertama, karena konvensi ini diadakan dengan prinsip demokrasi dan terbuka, siapa saja boleh ikut. Orang dari partai Golkar maupun dari luar Golkar asal memenuhi syarat-syarat. Dan saya merasa ada sesuatu yang ingin saya sumbangkan pada negara ini dalam posisi mencalonkan diri sebagai calon presiden dari partai Golkar. Biarlah rakyat atau jajaran partai Golkar mendapat banyak option. Kita memberikan pilihan kepada rakyat, termasuk saya dalam alternatif yang dipilih oleh rakyat, dengan melihat, menelanjangi kita semua, ini pikiran, keadaan dan gagasan-gagasan saya, karena saya pingin memberikan sesuatu kontribusi buat negara kita.
Kedua, memberikan pilihan yang banyak kepada rakyat khususnya dengan partai Golkar supaya dia pilih, mana yang lebih baik yang akan dia pilih. Ketiga, saya merasa kita harus membangun kepercayaan baik bagi diri sendiri dan bagi rakyat bahwa siapapun kita, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan pemerintahan.
Jadi saya ingin membangun suatu pemikiran bahwa jangan karena agama kita agama Kristen atau kita orang Manado, terus kita merasa bahwa ini bukan milik kita untuk menjadi presiden. Harus kita hilangkan pemikiran begitu. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, mempunyai kesempatan yang sama. Mari kita buktikan, biarlah rakyat yang memilih sehingga kalau dipilih itu bukan karena agama atau suku kita.
Saya yakin rakyat itu luas wawasannya, kuat komitmen perjuangannya, juga daya kreatifitasnya sehingga kalau dia memilih, dia akan memilih orang yang terbaik , yang mempunyai kemampuan memimpin, mempunyai kemampuan menawarkan pemikiran-pemikiran atau program.
Oleh karena itu silahkan kita maju. Mungkin saya tidak akan jadi presiden jadi calon pun tidak, tapi setidaknya saya ingin membangun atau menunjukkan suatu perasaan atau keyakinan di tengah-tengah masyarakat bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Kita pantas untuk dipilih oleh rakyat dan kita pantas untuk menawarkan diri.
Jangan khawatir, takut, minder, jangan merasa mempunyai perasaan minority complex., sehingga takut, “Sudahlah… jangan maju, sayakan bukan mayoritas, tapi minoritas’. Jangan ada pemikiran begitu, sehingga ke depan orang akan maju tidak akan berpikiran seperti itu. Inilah kesadaran yang harus dibangun oleh orang keturunan Cina, Arab, dan lainnya.
Kalaupun rakyat atau jajaran partai Golkar tidak memilih saya, itu bukan karena mereka tidak suka saya, atau bukan karena mereka melihat bahwa saya beragama Kristen, orang Minahasa, minoritas. Saya yakin mereka tidak pilih saya karena ada yang lebih baik dari saya dari sekian opsi yang ada. Saya hormati itu. Inilah yang Golkar bangun, kesadaran dan konfidens ini di tengah-tengah masyarakat. Ini merupakan suatu proses sosialisasi prinsip-prinsip kemajemukan tadi.
Bagaimana respon dari kader-kader di daerah ketika Anda menyosialisasikan pencalonan Anda ke daerah-daerah?
THEO: Mereka berdialog dan menanggapi saya. Saya pergi ke minimal 20 provinsi ke Sulut, Sulteng, Sulsel, Gorontalo, Banten, DKI, Jambi, Sumsel, Jatim, Jateng, Jabar, Maluku, Maluku Utara dan lain-lain semua menerima saya dengan baik.
Jadi dari alasan mengikuti konvensi dihubungkan dengan respon dari kader-kader Golkar di daerah yang Anda kunjungi, apa kesan Anda?
THEO: Saya mendapat kesan bahwa mereka menerima saya, mereka menanyakan hal-hal yang kritis, tidak ada yang menentang saya menjadi calon presiden, tidak ada yang sinis, semua terbuka menerima kenyataan bahwa saya maju. Cuman soal mereka pilih saya atau tidak itu adalah soal lain, sebab kalau ada yang terbaik jadi piihan mereka, saya hormati tindakan mereka. Tapi yang jelas, tidak ada yang tidak menyambut saya.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai pendapat orang yang mengatakan bahwa konvensi ini salah satu cara dari Partai Golkar untuk mencuri start kampanye?
THEO: Mengenai apa pandangan orang lain dari apa yang Golkar maksudkan, itu tidak benar. Yang pertama, yang dimaksudkan Golkar itu jelas bahwa Golkar justru mengoreksi yang lalu-lalu, dimana pememilihan calon presiden hanya keputusan dari DPP, atau paling jauh keputusan dari Rapat Pimpinan seperti dalam pencalonan Pak Habibie dulu. Malah sebelum-sebelumnya hanya diputuskan oleh Rapat Dewan Pembina saja, anggota tinggal melaksanakan.
Sekarang setelah era reformasi ini dimana pemilihan presiden juga sudah langsung, ini memang termasuk yang Golkar perjuangkan juga, karena Golkar sekarang telah menjadi Golkar Baru. Mengingat nantinya rakyatlah yang menentukan siapa yang menjadi presiden, maka baiklah, Golkar menunjukkan kepada rakyat termasuk rakyat partai Golkar sendiri, siapa yang menurut mereka pantas untuk dijual menjadi calon presiden.
Ini dilakukan secara terbuka sejak tahap awal, tahap penjaringan. Siapapun, bukan cuma orang Golkar saja, buktinya ada 40 orang lebih calon tapi akhirnya terverifikasi menjadi 19. Dari 19 ini hanya 3 orang pengurus pusat yaitu, Ketua Umum Pak Akbar, Marwah sebagai ketua dan saya sebagai ketua. Dan hanya 4 orang penasehat yaitu yang secara struktur memberi nasehat yaitu, Pak Haryono Suyono, Muladi, Yusuf Kalla. Sedangkan 12 orang lainnya tidak ada hubungan dengan DPP Golkar.
Dan kemudian seleksinya juga, konvensi dari bawah dilaksanakan secara terbuka seperti yang sekarang berlangsung yaitu konvensi di tingkat II dan tingkat I. Besok tanggal 20 akan konvensi prakonvensi nasional. Kurang lebih 506 yaitu dari DPD II, DPD I, DPP dan organisasi akan berkumpul. Di situ calon akan terpilih secara terbuka. Orang berpendapat bahwa ini curi start, ya…silahkan tapi Golkar tidak bermaksud begitu.
Dan yang kedua, tidak ada ketentuan yang dilanggar soal itu Ada aturan-aturan mengenai Pemilu dan kampanye, tapi satu ayat pun tidak ada ketentuan yang dilanggar. Konvensi ini dilaksanakan untuk sosialisasi, untuk kampanye Golkar di forum sendiri, tidak ada orang luar. Calon-calon yakinkan visi dan misinya di forum Golkar sendiri.
Bahwa itu kemudian membawa manfaat bagi popularitas Golkar, sehingga rakyat lebih senang kepada Golkar, dan kemudian Golkar sendiri jadi lebih bergairah, karena memang seperti pesta. Karena memilih lurah saja sudah ramai apalagi calon presiden jadi memang seperti pesta, lebih bergairahlah khususnya buat Partai Golkar. Dan memang Golkar bekerja keras untuk itu, tapi tidak menyalahi dan melanggar UU.
Kalau nanti Golkar tampil sebagai pemenang Pemilu, banyak orang meragukan Golkar itu bisa melakukan koreksi tehadap kesalahan-kesalahan orde baru. Bagaimana pendapat Anda tentang itu?
THEO: Mengenai koreksi itu sudah merupakan komitmen dari Golkar. Sekarang saja Golkar sudah koreksi dirinya. Buktinya sesudah reformasi tahun 1998, Golkarlah yang pertama-tama melakukan Munas Luar Biasa, hanya kurang dari 2 bulan setelah bergulirnya reformasi.
Kalau bisa kita pakai reformasi 20 Mei 1998 sebagai tanggal startnya, maka tanggal 8 Juli 1998 Golkar sudah Munas Luar Biasa. Merombak strukturnya secara total, tidak ada lagi Dewan Pembina, tidak ada lagi 3 jalur, pemilihan semua dilakukan secara voting, terbuka. Kemudian melalui DPR, Golkar yang masih mayoritas saat itu, 75% di DPR/MPR. Waktu itu sudah bikin UU Kebebasan Pers misalnya. Kalau Golkar misalnya tidak komit dengan reformasi, gampang saja, tinggal hambat saja, maka tidak jadi undang-undang itu. Tapi justru Golkar yang merespon UU Kebebasan Pers.
Dalam hal desentralisasi, kalau dulu sangat sentralisasi, kemudian dibikin UU No 25 tahun 1999. UU tentang Desentralisasi-otonomi luas, peranan Golkar di sana tidak bisa dipungkiri, karena Golkar 75% di DPR waktu itu. Setiap UU kalau didiamkan saja maka tidak jadi UU itu, apalagi kalau tidak setuju. Jadi justru Golkarlah yang mensponsori.
Kemudian sistem partai menjadi sistem multi partai, Pemilu dilakukan secara bebas dan demokratis, luber, kemudian tentara tidak boleh berpolitik, PNS tidak boleh berpolitik, itu semua UU yang baru dibikin, dan itu bukan pada saat Golkar menang. Jadi masih belum menang saja Golkar sudah laksanakan reformasi. Apalagi kalau menang nanti dalam Pemilu.
Golkar jelas punya komitmen pro reformasi, dan kita sudah melaksanakan reformasi, demokratis termasuk dalam diri sendiri. Jadi mengenai itu tidak perlu diragukan lagi.
Anda sebagai Ketua Badan Informasi dan Komunikasi DPP Partai Golkar, apa tugas-tugasnya?
THEO: Di Golkar itu ada Ketua Umum yaitu Bung Akbar kemudian ada ketua-ketua, termasuk saya. Kemudian dibagi lagi, ada Korbid (Kordinator Bidang). Saya Korbid Hubungan Luar Negeri dan Antar Lembaga. Disamping itu saya juga Ketua Badan Informasi dan Komunikasi (BIK).
Tugasnya untuk memperluas informasi dan komunikasi ke luar maupun ke dalam. Jadi menjaga, meningkatkan informasi, komunikasi, memenej informasi internal ke dalam organisasi maupun ke luar.
Anda sebagai Ketua BIK, apakah ada input dari informasi tersebut yang bisa diberikan kepada partai.
BIK juga mendapat ‘feed back’ dari masyarakat, yang menjadi bahan telaah yang kemudian kita berikan kepada DPP sebagai bahan pengambilan keputusan, di samping tugas-tugas kita memenej informasi internal maupun komunikasi dengan pers maupun lembaga-lembaga di luar.
Sebagai Ketua BIK, Bagaimana prediksi Anda dalam perolehan suara partai Golkar pada Pemilu mendatang?
THEO: Kalau itu bukan bagian saya sebagai Ketua BIK, karena kita hanya informasi dan komunikasi. Kalau itu ada di Lembaga Pemenang Pemilu dan kita membuat Rakornas. Dan mengenai prediksi kita, terakhir sampai beberapa bulan yang lalu, kita menghitung bahwa kita mencapai 31% untuk perolehan suara Pemilu nanti. Sekarang kita hanya 24%, jadi naiklah prediksinya menjadi 31%. Ini akan di-‘up date’ pada 2 minggu yang akan datang dalam Rapim. Apakah tetap 31% atau malah turun ataupun naik. (Bersambung) * Marjuka – Atur Lorielcide Paniroy
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
04 | Posisi Indonesia di Forum Dunia
Bagaimana Anda melihat posisi Indonesia sekarang di forum internasional khususnya ASEAN.
Saya pikir, sudah tentu kita harus fokus mengatasi berbagai masalah dalam negeri dengan apa yang terjadi 5 tahun terakhir ini di mana kita kena krisis, kemudian reformasi, perhatian kita terlampau terkuras kepada masalah-masalah ini. Tetapi itu jangan membuat kita melepaskan perhatian kita kepada masalah luar negeri, karena dalam politik luar negeri itu kita harus turut berperan untuk menciptakan kawasan lingkungan yang kondusif. Jadi itu harus paralel dilakukan, jangan dibiarkan.
Prioritas politik luar negeri kita adalah menciptakan lingkungan kawasan yang kondusif, berarti dia (negara tetangga) bersahabat dengan kita, atau minimal tidak bermusuhan atau tidak mengandung unsur-unsur tidak bersahabat, mengandung unsur-unsur ancaman permusuhan dengan kita.
Oleh karena itu harus kita upayakan, harus kita bangun, dan harus kita buktikan dengan kepemimpinan kita, karena kita mempunyai sejarah yang panjang mengenai kepemimpinan percaturan internasional setidak-tidaknya kawasan.
Kita tidak harus jadi pemimpin secara formal tapi kita harus pemegang inisiatif di dalam ASEAN kemudian di lingkungan yang lebih luas di Asia Timur dan sampai ke dunia global. Jadi bukan sekedar pemimpin, tapi inisiatif itu, pemikiran-pemikiran atau konsep-konsep, langkah-langkah ‘action’, kita selalu menjadi orientasi, contoh dan bermanfaat buat saudara-saudara kita yang lain.
Meski sudah tentu berbeda-beda prioritasnya, tapi yang pertama sudah tentu di ASEAN, Asia Timur. Tetapi ke dunia berkembang, Non Blok dalam hubungannya dengan negara-negara besar untuk memperjuangkan kepentingan bersama, kita harus selalu pegang inisiatif. * Marjuka – Atur Lorielcide Paniroy
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)