Islam dan Kebebasan Berekspresi
Novriantoni
[DIREKTORI] Sekilas terlihat, kasus Nasr Hamid, Amr Khalid, masjid di Libia, sweeping “buku kiri” dan pendudukan media, berdiri sendiri-sendiri dan tampak berbeda. Tapi sebetulnya, semua itu termasuk antrian problem serius dunia Islam: kebebasan berekspresi masih payah. Salah satu tugas penting dan mendesak kemudian, bagaimana kebebasan berekspresi dijamin baik oleh undang-undang maupun masyarakat yang lama terkekang.
Suatu ketika, di sebuah apotik di kota Kairo, sekonyong-konyong seorang laki-laki bertanya kepada Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir Islam dari Mesir yang dituduh murtad karena pemikirannya tentang Alqur’an, “Bukankah Anda bernama Nasr?.” “Ya,” jawab pemikir Islam yang bertubuh gemuk itu. “Apakah Anda orang yang disebut-sebut murtad itu?” kata laki-laki itu memburu. Dengan heran, Nasr balik bertanya: “Anda percaya?” Hm, rupanya kabar burung sampai ke telinga lelaki itu, kalau pakar ilmu Alqur’an itu melecehkan Alqur’an. Lantas, Nasr bertanya lagi, “Pernahkah Anda membaca salah satu buku karanganku?” Dengan jujur, pria itu menjawab, “Sungguh, belum sama sekali!” Pada akhirnya, Nasr memberi wejangan untuk penuduh yang belum membaca bukunya itu: “Aku harap, Engkau mau membacanya. Selanjutnya, berserah dirilah pada Allah!” (Al-Hurriyyah fî Sabîl-i-Allâh, 1994)
Kasus lain lagi. Kabar teranyar dari Mesir mengungkapkan, seorang dai muda kondang selevel Aa’ Gim, bernama Amr Khalid, dilarang pemerintah melanjutkan aktivitas dakwahnya. Tanpa alasan yang kuat, kemungkinan menyangkut masalah kepantasan politik (al-mulâamah al-siyâsiyyah), Amr terpaksa rehat dari tugas amar makruf nahi munkar. Sebagai catatan, sampai kini, pemerintah Mesir masih memberlakukan undang-undang darurat (qânûn al-thawâri’) yang mirip undang-undang subversif a la ORBA. Di belahan dunia lain, tapatnya di Libia, sebuah masjid “disucikan” dari golongan zindiq karena desas-desus mengajarkan “aliran sesat”. Massa beramai-ramai mendatangi mereka agar pensiun dari pengajian dengan rupa-rupa ancaman. Kedua hikayah ini disesalkan secara mendalam oleh pemikir moderat Islam, Fahmi Huwaidi dalam kolomnya setiap Senin di harian Asharq Alawsat (29/7/2002).
Peristiwa di atas memang tidak terjadi di Indonesia. Tapi tentu hal semacam itu bisa terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Kita masih ingat, bagaimana kasus sweeping “buku kiri”, pendudukan media massa, dan banyak kasus lain, masih menyiratkan trauma untuk hal kebebasan berekspresi. Sebuah negara yang memiliki perangkat perundang-undangan kebebasan berekspresi yang lemah, akan lebih rawan mengalami kejadian serupa. Sekilas terlihat, kasus Nasr Hamid, Amr Khalid, masjid di Libia, sweeping “buku kiri” dan pendudukan media, berdiri sendiri-sendiri dan tampak berbeda. Tapi sebetulnya, semua itu termasuk antrian problem serius dunia Islam: kebebasan berekspresi masih payah. Salah satu tugas penting dan mendesak kemudian, bagaimana kebebasan berekspresi dijamin baik oleh undang-undang maupun masyarakat yang lama terkekang.
Teror Penguasa dan Teror Massa Paling tidak, ada dua bentuk teror yang dapat ditangkap dari contoh-contoh di atas. Pada kasus Amr, pengekangan kebebasan dipertontonkan penguasa politik secara berlebihan. Itu belum seberapa. Beberapa waktu lalu, pemerintah Mesir juga memenjarakan beberapa akademisi yang disinyalir kuat sebagai aktivis Ikhwanul Muslimin. Alasannya, bukan karena mereka melakukan teror dan tindakan destruktif lainnya, tapi lebih karena mereka kritis. Penangkapan semena-mena oleh rezim penguasa di dunia Islam, tentu tidak sekali dua kita dengar. Cerita yang sama sudah jamak kita dengar dan mengakumulasi menjadi krisis kebebasan yang memasung, bahkan ragam-ragam potensi umat.
Dalam kasus kedua, masyarakat yang tidak terbiasa dengan kebebasan, mempertontonkan suasana prasangka dan ketakutan yang berlebihan. Mereka terpaksa menjadi “masyarakat ternak”. Akibatnya, mereka yang sudah lama tidak menikmati kebebasan itu, tanpa sadar membuat kerangkeng kebebasan bagi diri mereka lagi. Fenomena seperti ini disoroti tajam oleh pemikir liberal bernama Salamah Musa. Menurutnya, selain pemerintah yang phobia kebebasan, masyarakat juga tak jarang berperan besar memasung kebebasan. Dalam banyak kasus, massa lebih cepat bertindak dan menghajar mereka yang keluar dari kebiasaan –baik agama, maupun bukan agama– mereka. Sementara itu, pemerintah berpangku tangan seolah memberkati “inisiatif” masyarakat itu. (Hurriyyat al-Fikr wa Ibhtâluhâ fi al-Târîkh, 1975)
Kasus teror oleh kekuasaan, boleh jadi bisa diobati dengan proses demokratisasi dan perundang-undangan yang menjamin kebebasan. Ini setidaknya dapat pembenarannya dari negara-negara muslim yang beranjak ke arah demokratisasi. Namun, teror pemikiran/mental/fisik (al-irhâb al-fikrî/al-maknâwî/al-jasadî) yang dilakukan masyarakat, obatnya jauh lebih sulit. Teror pemikiran yang dilakukan massa tertentu, taruhlah gerakan keagamaan yang ekstrim, berdiri di atas tingkat budaya pemikiran dan fanatisme lama yang mendarahdaging di masyarakat. Dalam hal seperti ini, perundang-undangan tidak mampu menawarkan obat, sekiranya tidak didukung/diperkuat opini publik yang prokebebasan, toleransi dan pluralisme. Lebih dari itu, masyarakat perlu mendapat pendidikan tentang bagaimana menikmati kebebasan seraya taat pada hukum. Kondisi kebebasan yang terjamin dan ideal ini tampaknya masih jauh panggang dari api di dunia Islam. Maka, pantas bila Thomas Friedman dalam komentarnya tentang vonis pengadilan yang memenangkan kasus pengajaran ilmu Alqur’an di North Carolina University belakangan ini, menyindir soal kebebasan umat Islam dengan sinis: “Bagaimana reaksi Bin Ladin, sekiranya Bibel diajarkan di salah satu perguruan tinggi Islam?” Masing-masing kita, mungkin tahu jawabnya.
Mahalnya Kebebasan Dari pemandangan di atas, terasa betapa mahal harga kebebasan berekspresi di dunia Islam. Jika kita yakin bahwa agama berperan sentral dalam pembentukan watak bangsa, mau tidak mau kita mesti menagih garansi kebebasan dari agama itu sendiri. Ya, garansi kebebasan berekspresi harus dicarikan dari doktrin terdalam agama. Perlu diakui, bahwa tema kebebasan berekspresi termasuk tema “yang tak terpikirkan” dalam pembahasan pemikiran keislaman. Sama halnya dengan tema demokrasi, HAM, interreligious dialogue, pluralisme, dan tema-tema yang menjadi kebutuhan kontemporer, kebebasan berekspresi menjadi tema yang terabaikan dan tidak terlihat penting dalam kajian-kajian keislaman.
Rasanya perlu dicatat, berbagai perdebatan pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam, semacam wacana apakah Alquran itu makhluk atau bukan, tidak dirayakan sebagai wacana yang dengan santainya dapat berseliweran di muka publik. Karena sesak oleh perdebatan, wacana-wacana yang multitafsir itu, dicarikan kata putusnya dari kekuasaan politik maupun kekerasan massa. Tragedi Ibnu Hanbal dapat menjadi sampel lama untuk masalah ini.
Fenomena menyedihkan ini disesalkan dengan baik oleh Ahmad Al-Baghdadi, seorang pemikir kritis dari Kuwait. Menurutnya, kebebasan berekspresi adalah bagian kebebasan yang tidak dinikmati, kecuali sedikit dalam sejarah negara Islam. Wacana publik tidak jarang berakhir dengan darah saat kekuasaan melakukan intervensi. Al-Baghdadi menilai, dialog bukan keutamaan (fadlâil) umat Islam, meskipun kita mengantongi firman Allah, “…Sanggahlah mereka dengan (argumen/sikap) yang baik. Sesungguhnya, hanya Tuhanmulah yang Mahatahu siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan Dia Mahatahu mereka-mereka yang terbimbing.” (Tajdîd al-Firk al-Dînî: Da’wat li al-Istikhdâm al-Aql, 1999)
Islam dan Kebebasan Berekspresi Secara teoritis, kita dapat saja mengemukakan seabrek landasan teks yang menunjukkan garansi Islam untuk kebebasan berekspresi. Seorang pemikir Islam bernama Gamal Al-Banna, yakin betul kalau para pembela kebebasan berpikir, tak akan mampu memberikan garansi kebebasan (sampai untuk hal keyakinan) sebagaimana yang telah dikemukakan Alqur’an. Dalam beberapa ayat Alqur’an, beriman ataupun tidak, ditegaskan sebagai persoalan individu, bukan persoalan publik yang menuntut intervensi kekuasaan dalam beragam bentuknya, tak terkecuali kuasa rijaluddin atau jamaah kesalehan. Manusia betul-betul otonom dan hanya Tuhan pemegang hak prerogatif untuk vonis pengadilan-Nya. (Majalah Adab wa Naqd, vol. 179, edisi Juli 2000).
Dalam buku fikih barunya, Al-Banna lebih lanjut merumuskan hal kebebasan berekspresi itu. Ibarat pohon, dia menjadikan kebebasan berkeyakinan (hurriyyat al-aqîdah), sebagai pokok (al-‘ashl) yang memiliki cabang-cabang (al-furû’) kebebasan lainnya: kebebasan berpikir, kegiatan pers, penerbitan dan lain sebagainya. Al-Banna memberikan pijakan kebebasan itu dari inspirasi Qur’ani seperti firman Allah: “Apakah Engkau memaksakan orang-orang, sehingga menjadi komunitas beriman?” Namun, Al-Banna mengaku, inspirasi kebebasan –dalam banyak dimensinya– yang dia ambilkan dari landasan Qur’ani itu, akan berseberangan atau malah bertolak belakang dengan gagasan-gagasan “mapan” para “ahli fikih” yang memiliki institusi keagamaan. Sebab, sebagaimana biasanya, mereka yang berlindung di balik institusi keagamaan itu, berpotensi memonopoli kebenaran dan menekan orang-orang yang berbeda gagasan dengan mereka (Nahwa Fiqh Jadîd, 1999).
Apa yang ditorehkan Al-Banna itu dibuktikan Al-Baghdadi dengan contoh konkretnya. Menurutnya, negara-negara Muslim adalah deretan negara yang paling girang mengusir para pemikir, periset dan akademisi. Bagi dia, aliran-aliran keagamaan berusaha menyiksa setiap pemikir yang liberal. Ironisnya, masyarakat Barat menampung mereka yang tertindas itu, untuk kemudian kita berbalik menuduh Barat melakukan konspirasi terhadap Islam. Padahal, aliran keagamaan, dengan logika keras dan terbelakangnya, lebih menyiksa Islam itu sendiri. Al-Baghdadi mengingatkan, persemaian Islam di Barat, bukan hanya buah militansi juru dakwah Islam di sana, tapi juga akibat tidak langsung dari iklim kebebasan berekspresi yang sudah terkonsolidasi dengan baik.
Kritikan Al-Baghdadi di atas tentu pahit adanya. Orang pun mungkin akan yakin, kalau Al-Baghdadi tidak sepenuhnya benar. Sebab, sudah barang tentu banyak faktor lain yang menyebabkan terusirnya para pemikir dari negeri Islam, selain tekanan konservatifisme pandangan keagamaan. Namun, kritik itu menemukan relevansinya sebagai peringatan agar agama tidak secara semena-mena digunakan sebagai penghalang penyemaian ilmu pengetahuan dan kebebasan berekspresi. Dalam konteks ini, aliran-aliran keagamaan betul-betul ditagih tantangan: bagaimana memberi garansi, bahwa ideal Islam yang menjunjung tinggi akal, pengetahuan dan kebebasan, dapat bermakna dalam sebuah masyaratak Islam dengan ragam-ragam alirannya. Semoga saja! e-ti
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Sumber: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=154
The Da Vinci Code dan Kematangan Beragama
Masih banyak kontroversi yang tak perlu dimuat di sini. Pendek kata, semua itu cukuplah membuat murka orang-orang yang dogmatis dan tidak matang dalam beragama. Untuk ukuran orang Kristen, heboh The Da Vinci Code mungkin setara, bahkan lebih mendasar ketimbang huru-hara kartun satiris Nabi Muhammad di koran Denmark, Jylland Posten, beberapa bulan lalu.
Kontroversi The Da Vinci Code, novel laris Dan Brown yang terbit 2003, kini disusul film dengan judul serupa; adaptasi dari novel tersebut. 19 Mei lalu, film The Da Vinci Code diputar serentak di seluruh dunia. Bagi sebagian umat Kristen, khususnya kalangan Katolik, inilah karangan fiksi dan film paling menggemaskan dan mungkin saja menggoncang iman (tentu bagi yang lemah imannya).
Heboh The Da Vinci Code memang terkait beberapa gambaran tentang aspek mendasar keyakinan Kristen. Novel dan film tersebut memuat gagasan-gagasan kurang lazim dan tidak dianut arus utama teologi kekristenan. Misalnya, di situ digemakan bahwa Yesus atau Isa Almasih bukanlah Tuhan, melainkan seorang manusia. Sebelum abad keempat, Yesus hanya dianggap manusia, namun Kaisar Imperium Romawi kala itu, Konstantin, mendewakan-Nya sesuai keyakinan lamanya yang paganis. Untuk keperluan klaim-klaim Kristen belakangan, Alkitab, setidaknya yang dianggap otoritatif, disunting dan digarap sesuai keinginan kekuasaan kala itu.
Yang tak kalah menegangkan, Yesus juga diceritakan telah menikahi Maria Magdalena yang kemudian mengandung dan melahirkan anak-Nya. Karena itu, Magdalena mestinya mendapat penghormatan lebih. Sampai saat ini, masih dalam alur fiksi Brown, garis keturunan Yesus dari Magdalena masih eksis di Eropa. Dan konon, Magdalena-lah orang pertama yang ditunjuk untuk mendirikan gereja Kristen, bukan Santo Petrus.
Imajinasi Brown terus melambung, bermain antara fakta dan fiksi. Alkisah, sampai kini, komunitas bawah tanah Biarawan Sion masih mengagungkan sosok Magdalena dan berusaha menjaga kebenaran yang misterius itu. Selama berabad-abad, Gereja Katolik berusaha menutupi “kebenaran” itu, bahkan tak segan-segan membunuh orang-orang yang berusaha mengungkapnya.
Masih banyak kontroversi yang tak perlu dimuat di sini. Pendek kata, semua itu cukuplah membuat murka orang-orang yang dogmatis dan tidak matang dalam beragama. Untuk ukuran orang Kristen, heboh The Da Vinci Code mungkin setara, bahkan lebih mendasar ketimbang huru-hara kartun satiris Nabi Muhammad di koran Denmark, Jylland Posten, beberapa bulan lalu.
Tapi yang ingin dibahas di sini adalah tanggapan umat Kristen umumnya, terutama kalangan Katolik, terhadap pendekatan kritis atas agama, untuk kita bandingkan dengan sikap umumnya umat Islam.
Respons Umat Kristen
Alhamdulillah, umat Kristen Indonesia tidak menanggapi The Da Vinci Code secara kalap dan membadak. Dengan begitu, hak semua orang untuk membaca suatu agama dengan pendekatan kritis tetap terbuka. Tidak ada demonstasi besar-besaran, apalagi bakar-bakaran. Dan yang penting, para pemuka gereja tidak tergiur mengikuti tradisi sebagian ulama Islam yang suka memfatwa-mati orang yang berpandangan kritis terhadap agama. Karena itu, mereka perlu diberi kredit. Satu-kosong, untuk lepasnya umat Kristen Indonesia dari masa puber beragama, terutama dalam menyikapi iklim kebebasan berekspresi yang baru seumur jagung di negeri ini.
Memang ada beberapa keberatan kecil yang muncul. Namun itu semua tidak menutup akses kita untuk membaca atau menonton. Konon, Persekutuan Injili Indonesia memprotes penayangan film yang dibintangi aktor kawakan, Tom Hanks, itu. Mereka sempat meminta Menkominfo melarang pemutaran film produksi Columbia Pictures itu, karena dianggap menodai agama Katolik. Tapi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) selaku organisasi resmi Katolik Indonesia, tak menuntut hal serupa. Mereka cukup mengajak umat Kristiani untuk tidak menonton. Dengan demikian, masih tersisa ruang kebebasan bagi banyak orang untuk belajar: penasaran silakah tonton; takut iman goyah, jangan tutup kesempatan orang untuk menonton!
“Itu fiksi belaka, bukan fakta historis Alkitab, dan tidak mengguncangkan iman umat,” tandas Benny Susetyo, salah seorang pengurus KWI. Rohaniawan Katolik terkemuka, Franz Magnis-Suseno, berkomentar hampir sama, meski tak mampu menyembunyikan kekesalannya terhadap Dan Brown: “… umat dan uskup-uskup Indonesia tenang saja. Gereja kiranya tidak akan runtuh karena kekurangajaran seorang Dan Brown.”
Sungguh, itulah sikap yang matang dalam beragama, setara dengan ajaran normatif Qur’an yang dilupakan banyak umat Islam, man syâ’a falyu’min, wa man syâ’a falyakfur (yang bersedia, silakan beriman; yang tidak, silakan inkar) atau la ikrâha fid dîn (tiada paksaan dalam paham keagamaan).
Di tingkat dunia, ada juga reaksi serupa, tapi masih dalam batas-batas yang wajar. Dalam konferensi pers 28 April 2006, Uskup Agung Angelo Amato, sekteratis Kongregasi Doktrin dan Keimanan Vatikan, menyerukan pemboikotan atas film The Da Vinci Code. Sementara Kardinal Arinze, dari Kongregasi untuk Peribadatan Suci dan Ketentuan Sakramen, menyatakan akan melakukan gugatan hukum yang belum ditentukan terhadap pembuat film.
Tapi sambil menyindir-nyindir kalangan fundamentalis yang gampang panik iman, walau selalu merasa paling kukuh memperjuangkan agama, dia mengatakan, “Ada agama lain yang bila sosok agung dalam agamanya dihina sedikit saja, mereka bertindak lebih dari sekadar kata-kata. Mereka tak sungkan-sungkan membuat engkau betul-betul sengsara.” (http://en.wikipedia.org/wiki/The_Da_Vinci_Code_%28film%29).
Respon Islam Fundamentalis
Gampang diduga, baik novel Dan Brown yang terjual sebanyak 60,5 juta eksemplar (sampai Mei 2006), dan diterjemahkan dalam 44 bahasa itu, maupun filmnya, akan mendapat sambutan hangat di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Penerbit Serambi yang memegang hak terjemah dan penjualan novel tersebut, juga ketiban berkah. Tak ada keberatan dari umat Kristen Indonesia atas Serambi. Tidak ada pula sweeping maupun tuduhan penodaan agama. Kini, filmnya hadir mengusik rasa penasaran kita, dan sambutannya sungguh luar biasa. Tiket-tiket bioskop Jakarta ludes terjual. Penonton membludak, yang tidak dapat tiket memendam rasa penasaran.
Gampang pula disangka, kalangan fundamentalis Islam Indonesia akan menyambut The Da Vinci Code dengan suka cita. Sudah lama mereka membangun pendekatan kritis atas segala agama, kecuali agama yang dianutnya, terutama demi menelanjangi agama Kristen. Untuk itu, standar ganda mereka terapkan. Karya-karya populer semacam The Da Vinci Code perlulah dijadikan rujukan untuk menghantam dasar-dasar teologi kekristenan.
Respons Adian Husaini, tokoh fundamantalis Islam Indonesia paling terdidik saat ini, relevan dikemukakan. Adian menemukan amunisi gratis untuk melakukan serangannya atas kekristenan dan umat Kristen Indonesia. “The Da Vinci Code adalah sebuah novel yang memporak-porandakan sebuah susunan gambar yang bernama Kristen itu,” tulis Adian di Republika, Kamis, 28 April 2005.
Sikap Adian terhadap pendekatan kritis atas agama lain, bertolak belakang dengan pendekatan sejenis atas Islam; sebuah sikap yang jauh dari semangat ilmiah dalam studi agama-agama. Saya berpikir, sikap Adian dan kawan-kawannya yang hampir paranoid menunjukkan aib dan keburukan agama lain, kadang menimbulkan kesan tidak adanya kebenaran instrinstik dalam Islam, kecuali bila mampu menunjukkan kepalsuan agama lain. Mungkin semangat itulah yang masih melingkupi orientasi studi perbandingan agama di perguruan tinggi kita, dan khutbah-khutbah dalam masjid dan majlis taklim negeri ini. e-ti
Referensi:
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1056