Hibah demi Kebangkitan Bangsa

 
0
38
Majalah Berita Indonesia Edisi 57
Majalah Berita Indonesia Edisi 57 - Hibah demi Kebangkitan Bangsa

VISI BERITA (Politik Perberasan, 19 Juni 2008) – Krisis pangan global mulai mengancam. Kelangkaan pangan terjadi akibat tanah semakin kurang subur, perubahan iklim dan cuaca buruk (tidak karuan) serta semakin bertambahnya lahan untuk tanaman yang menghasilkan bahan bakar bio. Sementara, permintaan pangan terus meningkat, maka meroketlah kenaikan harga pangan. Harga pangan mahal, suatu fenomena yang belum pernah terjadi di dunia pertanian. Bagi Indonesia, hal ini sebuah tantangan sekaligus peluang.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 57 | Basic HTML

Menurut Bank Dunia, akibat menurunnya panen, harga bahan pangan seperti gandum, beras dan jagung naik secara keseluruhan mencapai 83 persen dalam tiga tahun terakhir, khususnya beras naik 200 persen. Bahkan Berita Indonesia mencatat dalam beberapa tahun terakhir terjadi lonjakan harga beras dari 165 dollar AS per ton tahun 2002 menjadi 330 dollar AS tahun 2007 dan mencapai rekor 1000 dollar AS saat ini. International Rice Research Institute (IRRI) memperkirakan kenaikan harga masih akan berlanjut hingga 2010 dan perlu waktu 5-10 tahun untuk mencapai tingkat kestabilan harga.

Akibatnya terjadi kepanikan, protes bahkan kerusuhan di sejumlah negara. Ada pemerintah yang panik meningkatkan impor, sebaliknya ada negara yang menghentikan ekspor beras. Kepanikan itu semakin memperburuk situasi. Kepanikan tidak begitu terasa di Indonesia. Walaupun kekuatiran akan adanya krisis pangan di Indonesia sempat muncul sehubungan fenomena banjir yang melanda sebagian wilayah Indonesia, terutama di sentra-sentra produksi pangan. Tapi pemerintah bahkan sempat cukup pede mewacanakan ekspor beras tahun ini. Walaupun akhirnya ditunda setelah mendapat kritik dan protes dari beberapa pihak.

Dalam kondisi harga pangan, terutama beras, yang melambung tinggi di pasar global, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan, yang berlaku mulai 22 April 2008. Dalam Inpres itu ditetapkan HPP (harga pembelian pemerintah) untuk gabah kering panen di tingkat petani naik 10 persen, yaitu dari Rp 2.000 per kilogram menjadi Rp 2.200. Juga menaikkan harga gabah kering giling di gudang Bulog dari Rp 2.600 per kg menjadi Rp 2.840, atau meningkat sekitar 9,23 persen. Serta harga beras di gudang Bulog dari Rp 4.000 per kg menjadi Rp 4.300.

Inpres Nomor 1 Tahun 2008 merupakan policy perberasan pemerintah teranyar, yang bila dicermati kebijakan itu lebih bias pada kepentingan konsumen daripada petani. Sebab kenaikan HPP gabah dan beras itu kurang mampu meningkatkan daya beli petani. Para petani menilai, selain besaran kenaikan HPP terlalu rendah, juga sangat terlambat. Sebaiknya HPP ditetapkan jauh sebelum panen raya, idealnya saat musim tanam. Kebijakan ini hanya menguntungkan bagi pedagang dan tengkulak.

Pemerintah memang diperhadapkan pada posisi yang harus lebih cerdas dan berani dalam mengambil kebijakan mengenai perberasan ini. Di tengah fenomena harga pangan dunia yang makin naik diperhadapkan dengan makin bertambahnya jumlah penduduk miskin di Indonesia, serta kenyataan mayoritas (75%) petani hanya petani gurem (kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar) dan buruh tani yang net comsumer (mengonsumsi lebih banyak daripada yang dihasilkan), mengisyaratkan bangsa dan negara ini membutuhkan pemimpin yang tidak sekadar pandai berwacana dan berpidato. Negeri ini membutuhkan pemimpin yang memiliki visi dalam pengambilan kebijakan yang menempatkan petani sebagai sentral dan memiliki keberanian menjalankan reformasi agraria. Politik ketahanan pangan dengan visi dan keberanian seperti ini sangat mutlak, apalagi pada era berakhirnya beras murah yang sudah menjadi fenomena hari ini.

Politik ketahanan pangan, tidak cukup hanya dengan pengaturan harga yang bias pada kepentingan konsumen serta upaya peningkatan produksi hingga mencapai surplus. Tetapi, harus dibarengi dengan reformasi agraria yang menempatkan petani sebagai sentral. Hal ini mutlak, bukan hanya karena mayoritas penduduk Indonesia petani dan buruh tani, tetapi juga karena sektor pertanian sangat berperan penting dalam mengatasi kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, serta penopang penting stabilitas makroekonomi.

Zaman harga beras murah sudah berakhir dan harga beras mahal adalah sebuah peluang. Politik perberasan nasional dituntut menjawab tantangan dan peluang ini. Sebagai negara agraris yang subur dan luas, tantangan dan peluang ini sepatutnya dijawab sebagai momentum kebangkitan bangsa ini. Sementara ini, jawaban untuk tantangan dan peluang ini belum tercermin dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan. Selain hal tersebut di atas, Inpres ini belum mencerminkan adanya gelora nyali untuk menjadikan bangsa ini menjadi eksportir utama produk pangan tropis. Kita masih belum malu jadi importir pangan terus. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 57

Dari Redaksi

Advertisement

Visi Berita

Surat Pembaca

Berita Terdepan

Highlight/Karikatur Berita

Berita Khusus

Berita Utama

Lentera

Berita Khas

Berita Hukum

Berita Politik

Berita Nasional

Berita Daerah

Berita Tokoh

Berita Mancanegara

Berita Media

Berita Humaniora

Berita Lingkungan

Berita Publik

Berita Iptek

Berita Buku

Berita Hiburan

Berita Kesehatan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini