Abolisi dan Amnesti: Ketika Aturan Dijalankan, Tapi Rasa Percaya Hilang

Yang Jalan Hukum, Yang Menang Kuasa

0
23
Drama Abolisi dan Amnesti
Hukum di Indonesia kerap berjalan rapi, sampai plot twist datang dari arah yang tak terduga.
Lama Membaca: 4 menit

Abolisi untuk Tom Lembong. Amnesti untuk Hasto Kristiyanto. Dua keputusan yang sah secara hukum, tapi diambil sebelum proses hukum selesai. Yang muncul bukan kesimpulan melainkan kebingungan: apa arti proses hukum jika akhirnya bisa dikesampingkan?

Proses hukum di Indonesia lazimnya berjalan bertahap: penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan. Dalam banyak kasus, vonis pengadilan dipandang sebagai titik akhir. Namun dalam kasus dua tokoh publik belakangan ini, titik akhir itu ternyata hanya menjadi titik koma. Thomas Trikasih Lembong dan Hasto Kristiyanto dibebaskan dari proses dan akibat hukum melalui dua instrumen konstitusional: abolisi dan amnesti.

Presiden Prabowo Subianto, dengan persetujuan DPR, memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto. Keduanya sempat menjalani proses hukum dalam perkara yang berbeda. Tom dalam kasus kebijakan impor gula yang dianggap merugikan negara, Hasto dalam perkara suap yang menyeret nama buronan Harun Masiku. Keputusan Presiden ini memicu banyak reaksi, mulai dari apresiasi sebagai langkah rekonsiliasi politik, hingga kekhawatiran bahwa sistem hukum sedang diinterupsi oleh manuver kekuasaan. Persetujuan DPR memang menjadi syarat formal, tapi tidak banyak yang tahu bagaimana pertimbangan itu diambil. Tidak ada perdebatan publik ataupun penjelasan terbuka. Yang disampaikan hanya hasil, tanpa proses yang dapat diikuti.

Abolisi dan amnesti bukanlah istilah baru dalam tata hukum Indonesia. Keduanya diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang memberi Presiden kewenangan untuk memberikan pengampunan hukum dengan mempertimbangkan persetujuan DPR. Namun penggunaannya sangat jarang, dan biasanya dikaitkan dengan konteks politik atau konflik nasional.

Secara sederhana, amnesti menghapuskan seluruh akibat hukum dari tindak pidana, bahkan jika seseorang telah dijatuhi vonis yang berkekuatan hukum tetap. Dalam sejarah Indonesia, amnesti pernah diberikan kepada eks kombatan di Timor Timur dan Aceh sebagai bagian dari perjanjian damai dan rekonsiliasi. Sementara itu, abolisi menghentikan proses hukum yang sedang berjalan, biasanya pada tahap penyidikan, penuntutan, atau bahkan persidangan, namun tidak menghapus catatan bahwa seseorang pernah terlibat dalam perkara.

Keputusan Presiden kali ini menjadi sorotan karena dua hal: pertama, penerima abolisi dan amnesti adalah tokoh yang namanya tersangkut dalam kasus korupsi, bukan konflik politik atau pemberontakan. Kedua, proses hukum terhadap keduanya belum selesai sepenuhnya.

Dalam kasus Thomas Lembong, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara. Putusan itu didasarkan pada kerugian negara akibat kebijakan impor gula saat ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Namun, majelis hakim menyatakan secara eksplisit bahwa Lembong tidak memiliki niat jahat (mens rea) dan tidak memperoleh keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.

Kuasa hukum Lembong menilai kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi kebijakan publik. Dalam pandangan mereka, pejabat negara yang mengambil keputusan strategis tidak semestinya dihukum pidana, kecuali jika ada bukti keuntungan pribadi atau motif koruptif yang jelas. Argumen ini memunculkan diskusi yang luas di kalangan akademisi tentang batas antara kesalahan administratif dan tindak pidana korupsi.

Upaya banding telah diajukan, namun sebelum proses itu tuntas, Presiden memberikan abolisi. Dengan begitu, proses hukumnya dihentikan. Keputusan ini menimbulkan tanya besar: apakah abolisi merupakan koreksi terhadap vonis yang dinilai keliru, ataukah tindakan politis untuk menyelamatkan figur tertentu?

Di sisi lain, Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan penjara atas dakwaan suap kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus pergantian antarwaktu anggota DPR. Ia sempat diduga merintangi penyidikan terkait Harun Masiku, tetapi hakim membebaskannya dari dakwaan tersebut karena dianggap terjadi di luar tahap penyidikan secara formal.

Advertisement

Amnesti yang diberikan kepadanya menghapus seluruh konsekuensi hukum dari vonis tersebut. Ia keluar dari tahanan, dan catatan kriminalnya dihapus. Pertanyaannya kemudian bukan hanya tentang prosedur, tetapi tentang pesan yang disampaikan kepada publik: apakah amnesti ini memberi kesan bahwa pelanggaran terhadap integritas pemilu bisa diselesaikan melalui kompromi politik?

Penggunaan abolisi dan amnesti terhadap kasus korupsi belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Sebagian kalangan hukum dan antikorupsi menyuarakan kekhawatiran. Peneliti Indonesia Corruption Watch menyebut langkah ini sebagai preseden yang bisa mereduksi semangat pemberantasan korupsi. Di tengah kepercayaan publik yang sudah rapuh terhadap lembaga hukum, keputusan ini dianggap memperlebar jarak antara rasa keadilan masyarakat dan logika hukum formal.

Kritik juga datang dari kalangan akademisi. Dosen hukum pidana menilai, bila Presiden meyakini ada kekeliruan dalam pemidanaan, seharusnya dorongan perbaikan datang melalui jalur yudisial, seperti grasi pascainkracht atau mendorong deponering oleh Jaksa Agung jika ada alasan kepentingan umum yang sah. Penggunaan amnesti dan abolisi tanpa kejelasan kriteria yang dapat diuji publik menimbulkan risiko digunakannya instrumen konstitusional secara selektif.

Sementara itu, dari sisi prosedural, DPR menyetujui permintaan Presiden dalam waktu singkat. Proses konsultasi tidak terbuka kepada publik. Ini memunculkan pertanyaan: apakah pertimbangan tersebut dilakukan secara substansial, atau hanya sekadar formalitas? Apakah mereka benar-benar mewakili kegelisahan masyarakat terhadap kasus-kasus ini?

Di banyak negara, abolisi dan amnesti digunakan secara hati-hati. Di Afrika Selatan, amnesti diberikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, disertai pengakuan pelanggaran dan pertanggungjawaban moral dari pelaku. Tujuannya bukan untuk melupakan, tetapi untuk memulihkan kepercayaan sosial dan membangun narasi bersama.

Konteks Indonesia saat ini jauh berbeda. Tidak sedang terjadi perang saudara, konflik bersenjata, atau krisis legitimasi nasional. Maka, pemberian pengampunan hukum dalam suasana politik yang relatif stabil justru menyingkap pertanyaan mendasar: apakah ini tentang penegakan hukum, atau tentang kekuasaan?

Di tengah semua pertanyaan itu, publik berada dalam posisi yang tidak mudah. Di satu sisi, ada keputusan yang sah secara hukum. Di sisi lain, ada rasa ganjil yang sulit ditepis sebab proses hukum yang berjalan tiba-tiba dihentikan oleh keputusan administratif yang datang tanpa penjelasan terbuka. Wajar jika kemudian muncul kebingungan: jika proses hukum bisa diakhiri sebelum tuntas, mengapa ia harus dimulai?

Bila pengampunan bisa diberikan bahkan sebelum proses hukum selesai, yang dipertaruhkan bukan hanya rasa keadilan hari ini. Tapi juga masa depan: apakah ini akan menjadi preseden? Seberapa mudah penguasa berikutnya menggunakan instrumen ini untuk alasan yang tak selalu adil? Ketika keputusan hukum bisa disalip oleh keputusan politik, kita harus bertanya: siapa yang benar-benar akan dilindungi hukum di masa depan?

Mereka yang mengikuti kasus ini dari luar mungkin merasa seperti menonton pertunjukan: proses pengadilan berjalan lengkap, tapi akhirnya dipotong oleh keputusan politik. Dalam situasi seperti itu, kepercayaan menjadi taruhan utama. Sebab jika keadilan dapat dibatalkan melalui jalur di luar pengadilan tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka putusan hukum tak lebih dari salah satu adegan, bukan kesimpulan dari pencarian kebenaran.

Hukum memerlukan kepercayaan, bukan sekadar prosedur. Ia lahir bukan untuk menyenangkan pihak mana pun, tetapi untuk menjaga akal sehat publik. Dalam negara hukum, pengampunan seharusnya bukan pintu belakang yang membuka jalan keluar bagi mereka yang dekat dengan kekuasaan, melainkan jembatan yang dibangun dengan hati-hati ketika keadilan tak bisa dicapai lewat cara biasa.

Dalam perkara ini, banyak hal yang tak dijelaskan, proses bergulir cepat, dan elite menjalani semua dengan tenang. Mungkin itulah yang membuat publik diam: bukan karena setuju, tapi karena tak tahu harus percaya pada siapa. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

Ketika Proses Hukum Belum Selesai, lalu Muncul Abolisi atau Amnesti, Apa yang Anda Rasakan?
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments