back to top

BIOGRAFI TERBARU

Continue to the category
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
More
    33.8 C
    Jakarta
    Populer Hari Ini
    Populer Minggu Ini
    Populer (All Time)
    Ultah Minggu Ini
    Lama Membaca: 2 menit
    Lama Membaca: 2 menit
    Lama Membaca: 2 menit
    Lama Membaca: 2 menit
    BeritaLorong KataNegara Sedang Minta-Minta

    Negara Sedang Minta-Minta

    Ketika empati diminta, tapi keteladanan tak pernah turun dari atas.

    Lama Membaca: 2 menit

    Negara tidak sedang bangkrut. Tapi ia mulai bersikap seperti lembaga amal.

    Sudah lama negara meminta warganya berkorban. Tapi belakangan, permintaannya terdengar makin kecil. Seribu rupiah. Seribu sehari. Untuk bantu sesama.

    Di Jawa Barat, inisiatif ini diberi nama Poe Ibu, atau Rereongan Sapoe Sarebu. Gerakan gotong royong berbasis donasi harian. Idenya sederhana: bila 50 juta warga menyumbang seribu rupiah, maka akan terkumpul triliunan rupiah setahun. Potensi sosial yang besar.

    Tapi justru di situlah letak keganjilan hari ini. Negara, dengan segala kewenangan, pajak, dan kekuasaannya, sedang menghitung berapa banyak empati rakyat yang bisa dikonversi jadi dana bantuan. Ia tidak lagi memungut sebagai pemilik otoritas, tapi meminta sebagai pihak yang kesulitan.

    Negara sedang minta-minta.

    Tentu, solidaritas bukan hal baru bagi masyarakat kita. Banyak warga yang rela berbagi, bahkan tanpa diminta. Tapi ketika inisiatif donasi datang dari atas, dari lembaga yang seharusnya memiliki anggaran dan wewenang untuk menyelesaikan masalah sosial, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: Apakah ini bentuk gotong royong? Atau tanda bahwa negara sedang kehilangan fungsi dasarnya?

    Seribu rupiah memang tidak seberapa. Tapi dari siapa diminta, dan untuk menutupi kebocoran siapa, itulah yang seharusnya menjadi soal.

    Karena rakyat kecil sudah lama terbiasa menyumbang: untuk sekolah, jalan desa, pengobatan tetangga, perbaikan masjid. Kini, mereka diminta menambal kegagalan sistem negara. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, tugas mengangkat yang lemah adalah tanggung jawab pemerintah, bukan hasil patungan warga.

    Anda Mungkin Suka

    Jika gotong royong lahir karena negara kehabisan dana, itu adalah persoalan fiskal. Tapi bila gotong royong dijadikan solusi karena negara tak kunjung menutup kebocoran di atas, itu sudah menjadi persoalan moral.

    Selama dua tahun terakhir, negara kehilangan lebih dari Rp50 triliun akibat korupsi. Jumlah itu setara 2.700 tahun gerakan seribu rupiah dari 50 juta orang. Di saat yang sama, bansos dikorupsi, proyek sosial dikuasai segelintir kontraktor bahkan kroni-kroni kekuasaan, dan dana desa dikuras. Lalu negara datang ke rakyat dan berkata: ayo bantu sesama.

    Yang diminta berkorban bukan mereka yang punya akses ke anggaran, tapi mereka yang tiap hari harus memilih antara makan dan ongkos kerja. Gaji pejabat tetap jalan. Tunjangan tak tersentuh. Anggaran makan rapat tetap utuh. Tapi rakyat diminta ikhlas menyisihkan seribu rupiah, atas nama empati.

    Negara tak lagi berbicara sebagai otoritas, tapi sebagai penggalang dana.

    Ini bukan soal seribu rupiah. Tapi soal relasi yang timpang: antara negara yang terus meminta, dan rakyat yang terus diberi beban.

    Dalam banyak kasus, rakyat tidak kekurangan empati. Yang mereka kekurangan adalah kepercayaan. Karena sudah terlalu sering diminta, tanpa pernah diajak melihat ke mana uang itu pergi. Karena terlalu banyak janji yang datang, tapi terlalu sedikit tanggung jawab yang turun ke bawah.

    Karena parkir liar dibiarkan. Pungli dianggap wajar. Sumbangan sukarela diwajibkan. Dan tiap kali sistem gagal, rakyat juga yang disuruh menambal.

    Negara tidak sedang kekurangan seribu rupiah. Yang kurang adalah keberanian untuk jujur, dan kemauan untuk memperbaiki kebocoran yang selama ini dibiarkan.

    Gotong royong memang lahir dari kekuatan kolektif. Tapi bila ia terus digunakan untuk menutupi kelemahan sistemik, maka empati berubah menjadi alat pelampiasan. Pelan-pelan, solidaritas yang semula ikhlas berubah menjadi keterpaksaan yang terbungkus rapi.

    Metafora rumah bocor masih relevan di sini. Jika rumah terus basah tapi tak ada yang naik ke atap, maka bukan rumah itu yang gagal, tapi orang yang memegang tangga. Dan jika yang diminta naik selalu yang paling bawah, sementara yang di atas tetap berdiri kering, rumah itu akan runtuh. Bukan karena hujan, tapi karena tak ada yang mau memperbaiki.

    Barangkali yang perlu kita tanya hari ini bukan: “Berapa yang rakyat bisa beri?” Tapi: “Sampai kapan negara terus meminta, tanpa pernah benar-benar memberi teladan?” (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

    - Advertisement -Kuis Kepribadian Presiden RI
    🔥 Teratas: Habibie (25.3%), Gusdur (18%), Jokowi (14.4%), Megawati (11.9%), Soeharto (10.8%)

    Populer (All Time)

    Terbaru

    Share this
    Share via
    Send this to a friend