Moral Pragmatisme Paloh

Restorasi Ambigu Nasdem

Joko Widodo Surya Paloh Megawati Soekarnoputri Muhaimin Iskandar Prabowo Subianto Zulkifli Hasan
 
0
123
Foto kenangan Surya Paloh bersama Presiden Jokowi dan Ketua-Ketua Umum Partai Koalisi Pendukung Pemerintah.

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh tidak merasa diri dan partainya terjerembab dalam kubangan sekedar pragmatisme, apalagi oportunisme, atau sikap ambigu, ketika (sejak 3/10/2022) mendeklarasikan mengusung Anies Baswedan sebagai bakal Capres 2024. Paloh justru merasa diri sebagai seorang politisi negarawan sejati karena mencapreskan Anies; yang dipandang sebagian orang sebagai ‘bapak politik identitas brutal’ yang chemistry atau saling dukung dengan kelompok yang ditengarai berlawanan dengan Pancasila, diantaranya eks ormas HTI dan FPI. “Ada moral. Ada values. Tidak sekedar pragmatis,” tegas Paloh dalam wawancara stasiun televisi CNN Indonesia. 

Moral dan nilai yang dimaksud Paloh kemungkinan (antara lain) adalah keluwesannya berusaha melebur adanya pengkotakan politik (Cebong vs Kadrun) di tengah masyarakat dengan merangkul kelompok pembenci Jokowi (Kadrun) dan kelompok yang ditengarai garis keras berlawanan dengan Pancasila dan/atau kelompok yang ingin mengganti Pancasila (Pembukaan UUD 1945) dengan ideologi lain; diantaranya eks ormas HTI dan FPI; yang nyata secara tegas sudah dibubarkan Pemerintah (Jokowi).

Perbincangan tentang pragmatisme dan oportunistik-ambigu Surya Paloh dan Partai Nasdem mengemuka sejak pencapresan Anies Baswedan; sebab jejak-rekam Anies sejak dipecat Jokowi dari Jabatan Mendikbud (26/7/2016), jejak Pilkada DKI 2017, dan jejak saat menjabat Gubernur DKI Jakarta (2017-2022), yang terang-benderang menunjukkan ‘perbedaan dan perlawanan’ dengan/kepada Presiden Jokowi. Yang dipertegas oleh Zulfan Lindan kader senior Nasdem (19/11/2022) bahwa Anies itu antitesa Jokowi. Atau dalam bahasa politik: Anies oposan Jokowi.

Dan, serta merta, pencapresan Anies itu pun disambut gempita partai oposisi PD dan PKS, sebagai darah baru kekuatan perlawanan (cenderung pembenci) Presiden Jokowi; yang kemudian bersama Nasdem segera membentuk Koalisi Perubahan dan Persatuan (bersuara oposisi terhadap kebijakan Jokowi). Niat baik (yang disebut Paloh: Moral dan Values) itu pun serta-merta menunjukkan arah ‘jauh api dari panggang’. Paloh dan Nasdem justru dirangkul masuk ‘Istana Oposisi Kadrun’; dan kelompok Cebong (pendukung Jokowi) pun bereaksi keras dengan sebutan baru Nasdrun (Nasdem Kadrun) untuk Paloh dan loyalisnya di Nasdem. Sementara beberapa tokoh senior Nasdem memilih langkah hengkang dari Nasdem paska pencapresan Anies.

Menariknya lagi, terkesan kuat adanya sikap ambigu Paloh dan partainya (Nasdem) yang mengarah oportunisme. Sebab kendati Paloh dan Nasdem-nya sudah masuk jadi ‘Pangeran Istana Oposisi’, tetapi selalu menyatakan akan tetap konsisten mendukung Presiden Jokowi sampai akhir jabatannya (Oktober 2024), sebagai salah satu partai koalisi pendukung pemerintah; kita sebut saja partai pendukung ‘Istana Presiden’ untuk menyepadankan dengan diksi ‘Istana Oposisi’. Sikap ambigu itu juga terlihat dari ‘pemecatan’ Zulfan Lindan (Ketua Teritorial Pemenangan Pemilu Sumatera 1 DPP Partai NasDem) dari Nasdem karena ketegasan pernyataannya yang menyebut ‘Anies antitesa Jokowi’. Mengapa Lindan mesti dipecat?

Teranyar, sikap ambigu (oportunis) itu terkesan agak melankolis mengarah pengkondisian playing victim dari pernyataan-pernyataan Paloh dan beberapa kader Nasdem menyikapi sikap politik Presiden Jokowi yang tidak lagi mengundang Paloh (Nasdem) dalam pertemuan Ketua-Ketua Umum Partai Koalisi Pendukung Pemerintah di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (2/5/2023). “Jokowi menempatkan positioning beliau barangkali sebagai pemimpin koalisi partai-partai pemerintahan ya, dan beliau tidak menganggap lagi Nasdem ini di dalam koalisi pemerintahan untuk sementara,” ujar Surya Paloh agak melankolis di Wisma Nusantara, Menteng, Jakarta, Jumat (5/5/2023), seusai bertemu (curhat) kader Golkar Luhut Binsar Panjaitan. Paloh juga menegaskan tidak akan menarik mundur tiga menteri kadernya dari Kabinet Jokowi. Sepertinya dia memilih menunggu dipecat Jokowi yang ditengarai sebagai mengarah posisi playing victim.

Sementara, Presiden Jokowi secara bersahaja menjawab wartawan tentang apa alasannya tidak mengundang Paloh. “Ya memang enggak diundang. Nasdem itu, ya kita harus bicara apa adanya, kan sudah memiliki koalisi sendiri. Dan ini gabungan partai yang kemarin berkumpul itu kan juga ingin membangun kerja sama politik yang lain,” jelas Jokowi. Presiden Jokowi berpandangan, enam parpol koalisi pendukung pemerintah tentu memiliki strategi besar untuk persiapan Pemilu 2024. “Sehingga, sebagai parpol yang telah memiliki koalisi sendiri, tidak pas jika Nasdem mengetahui strategi koalisi lain. Mestinya ini kan memiliki strategi besarnya apa, ya masa yang di sini tahu strateginya. Kan mestinya endak seperti itu,” terang Jokowi apa adanya.

Penjelasan apa adanya Presiden Jokowi ini, sepatutnya disikapi gentlemen (jantan) oleh Paloh dan para loyalisnya. Bersikaplah sesuai jargon (tag line) hebat Nasdem tentang Restorasi sebagai Gerakan Moral dan menyebut Surya Paloh sebagai Bapak Restorasi Indonesia. Jika memang Paloh (Nasdem) setelah mendukung Presiden Jokowi selama hampir 9 tahun, sudah melihat adanya hal-hal yang salah dan perlu segera dan mendesak direstorasi, bersikaplah dengan tidak ambigu. Atau jika mungkin Nasdem ingin mengubah haluan politiknya, nyatakan saja dengan tegas. Misalnya, mau hitam-putih Pancasila, atau menjadi pelangi (ambivalen) Pancasila atau dan/abu-abu Pancasila.

Di satu sisi, kita memandang Paloh (Nasdem) sudah mengambil sikap tegas dengan sejak dini mendeklerasikan pencapresan Anies sebagai solusi untuk merestorasi yang mereka nilai sebagai kesalahan atau kekurangan Presiden Jokowi, maka perlu dilakukan perubahan signifikan, yang telah ditindaklanjuti dengan penandatanganan piagam Koalisi Perubahan bersama PD dan PKS (23/03/2023). Tinggal dijelaskan antitesa atau perubahan apa yang akan dilakukan. Daripada ambigu (oportunis) main dua kaki, kanan-kiri oke!

Demokrasi yang kita anut saat ini adalah keniscayaan perbedaan pilihan. Tinggal mengukur lewat Pemilu (pilihan rakyat) perbedaan pilihan mana yang suara terbanyak. Itulah pemenangnya. Maka dalam kontestasi demikian, tidaklah perlu berlebihan mengkuatirkan adanya keterbelahan perbedaan pilihan selama itu dalam batas aturan permainan yang sudah disepakati bersama. Dan, anehnya justru para elit politiklah yang membesar-besarkan bahaya keterbelahan Cebong-Kadrun itu. Sementara mayoritas rakyat sudah lama move on, terlihat dari tingkat kepuasan publik atas kinerja Presiden Jokowi yang mencapai 80 persen, padahal pemilih Jokowi hanya sekitar 53%.

Advertisement

Maka jika boleh mengusulkan, tunjukkanlah moral dan nilai yang diusung Partai Nasdem, sebagaimana terukir dalam pernyataan Surya Paloh sendiri (2019): “Saya percaya proses pendidikan politik yang sendiri yang sedang kita jalankan dapat memberikan hasil yang jauh lebih berarti. Saya percaya kalau memang kita konsisten terus dari waktu ke waktu. Berani menawarkan alternatif-alternatif pikiran. Yang tidak hanya terjebak pada langkah-langkah yang normatif. Tapi, berani melangkah jauh dari pendekatan-pendekatan yang normatif, bolehlah kita mengharap dan bertekad menjadi partai nomor satu.”

Atau jika terus ambigu, malah bisa nyungsep!

(Catatan Kilas: Ch. Robin Simanullang)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini