Petugas Partai Ideologis

 
0
162
Petugas Partai Ideologis
Jokowi | Tokoh.Id | Tribunnews.com

[OPINI] – CATATAN KILAS – Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa semua kader PDI Perjuangan yang menduduki jabatan di legislatif dan eksekutif maupun di struktur partai di semua tingkatan adalah petugas partai. “Ingat kalian adalah petugas partai. Petugas partai itu adalah perpanjangan tangan dari partai. Kalau kalian tidak mau disebut sebagai petugas partai, silakan keluar dari partai,” tegas Ketua Umum PDI Perjuangan itu.[1]

Sontak penegasan Ketua Umum PDI Perjuangan tersebut ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Para pihak yang tidak (berusaha) memahami makna petugas partai tersebut menanggapinya amat negatif. Mereka menilai kata (frasa) petugas partai itu sangat merendahkan kader partai yang menjabat di legislatif dan eksekutif, terutama Presiden Jokowi. Karena sebelumnya, Megawati sudah mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk mengikuti perjuangan dan kebijakan partai.

Para pihak eksternal PDI Perjuangan amat ‘galak’ mencibir penegasan petugas partai oleh Ketua Umum PDI Perjuangan itu. Mereka keberatan karena menganggap Presiden Jokowi direndahkan dengan sebutan petugas partai. Terutama cibiran dari mereka yang sesungguhnya tidak menginginkan Jokowi jadi Presiden RI. Seolah-olah mereka lebih bangga dan lebih menghormati Presiden Jokowi, melebihi rasa bangga dan rasa hormat Megawati dan kader/simpatisan PDI Perjuangan sendiri.

Memang, jika frasa petugas partai itu dipandang dari sisi pragmatis dan sektarian, bisa dipahami jika para pihak memaknainya negatif. Maka untuk memudahkan memahami hakikat petugas partai yang dimaksud, mesti diawali pengenalan dan keyakinan tentang apa sesungguhnya ideologi, visi dan garis perjuangan PDI Perjuangan? Bagi mereka yang mengenal dan memahami keberadaan PDI Perjuangan sebagai partai kader dan partai ideologis (Pancasila), nasionalis (kebangsaan), akan mudah memahami makna ideologis petugas partai tersebut secara positif. Tapi bagi mereka yang bersudut pandang pragmatis dan sektarian akan selalu (sampai kapan pun) melihatnya negatif, apabila mereka hanya bercermin pada diri sendiri.

Sementara, dalam pengamatan Redaksi TokohIndonesia.com, para kader PDI Perjuangan sendiri, terutama Presiden Jokowi, sangat memahami makna frasa petugas partai tersebut, sehingga justru mengamininya sebagai amanah yang harus dipegang teguh.

Sebagai ilustrasi untuk menjelaskan pengamatan tersebut, TokohIndonesia.com mempunyai cerita (Maret 2011) ketika ‘menantang’ Jokowi apakah berani bertarung menjadi Calon Gubernur DKI. Ketika itu, Jokowi masih menjabat Walikota Solo. Setelah melakukan peninjauan ke beberapa sudut kota Solo dan wawancara dengan Jokowi, Wartawan TokohIndonesia.com berkesimpulan bahwa kepemimpinan Jokowi ini sangat fenomenal.

Maka dalam percakapan lanjutan, TokohIndonesia.com menantang dengan satu pertanyaan: “Berani gak jadi Gubernur DKI Jakarta?” Jawaban pertama yang kami terima: “Wah, itu urusan orang-orang besar, kita orang kecil dan bodoh.” (Saat itu, Gubernur Jawa Tengah menyebutnya bodoh, karena menolak pembangunan mall di Solo. Hal ini pula yang mendorong kami menyuratinya untuk wawancara).

Pertanyaan itu kami ulang-ulang dengan memberi penjelasan bahwa jika dia berani menjadi Gubernur DKI, maka (model kepemimpinannya) akan mengubah Indonesia. Kami belum mengatakan dia bakal menjadi presiden, tapi model kepemimpinannya akan menjadi panutan bagi para pemimpin (walikota, bupati, gubernur dan presiden) di negeri ini.

Akhirnya, dia mulai membuka diri dengan menanggapi lebih dulu makna pertanyaan kami ‘berani gak?’ Soalnya Solo itu kota kecil dan lebih homogen dibanding metropolitan Jakarta yang sangat heterogen. Apa kata Jokowi? “Berarti Anda belum kenal Solo. Tahukah Anda? Balai Kota Jakarta belum pernah dibakar massa, Balai Kota Surakarta sudah dua kali dibakar.”

“Jadi, kalau begitu, berani gak Anda jadi Gubernur DKI Jakarta?” tanya TokohIndonesia.com lagi. Kali ini Jokowi makin terbuka. Dia mengatakan sebenarnya DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta sudah mengirim formulir pendaftaran kepadanya. Tapi dia tidak mau mengisi dan mengembalikannya. “Saya tidak mau mendaftar, sebagai kader, jabatan adalah amanah. Tapi, jika partai menugaskan, kita akan fight untuk menang, yakin menang!” Kami pun bersalaman.

Advertisement

Jawaban Jokowi itu kami garisbawahi: “Jika partai menugaskan.” Bagi kami saat itu, jawaban itu mengandung makna bahwa Jokowi adalah kader partai militan yang sangat memahami eksistensi seorang anggota partai. Kami memandangnya sebagai seorang kader PDI Perjuangan yang mempunyai DNA si Marhaen, sang petani yang dijadikan Bung Karno sebagai icon perjuangan rakyat jelata (wong cilik).

Maka ketika Mbak Mega menegaskan kader PDI Perjuangan sebagai petugas partai, kami langsung teringat pernyataan Jokowi ‘jika partai menugaskan’ tersebut. Itu adalah ucapan Jokowi. Bukankah Jokowi sendiri pun lebih memilih penugasan partai daripada dia sendiri yang mendaftarkan diri sendiri? Penugasan partai bagi Jokowi adalah amanah untuk mengabdikan diri kepada rakyat, bangsa dan negara, sesuai ideologi, visi, misi dan garis perjuangan partai. Jelas, PDI Perjuangan adalah partai ideologis (Pancasila). Garis perjuangan PDI Perjuangan adalah Trisakti, yang menjadi visi Presiden Jokowi dan kemudian dijabarkannya dalam Nawacita.

Bukankah Trisakti dan Nawacita itu merupakan implementasi dari amanah petugas partai yang dimaksud? Itulah personifikasi Jokowi sebagai petugas partai ideologis.

Bukankah Trisakti dan Nawacita itu merupakan implementasi dari amanah petugas partai yang dimaksud? Itulah personifikasi Jokowi sebagai petugas partai ideologis. Bahkan lebih tegasnya, Jokowi berulangkali menegaskan kepada jajaran Kabinet Kerja-nya bahwa hanya Presiden-lah yang punya visi (Trisakti dan Nawacita), para menteri tidak. Trisakti dan Nawacita itulah visi yang harus diwujudkan semua menteri. Tahukah Anda Trisakti tersebut? Itulah garis perjuangan PDI Perjuangan yang diwarisi dari perjuangan Bung Karno. Yang oleh Presiden Jokowi dijabarkannya dalam sembilan pokok perjuangannya, yang disebutnya Nawacita.

Insinuasi
Maka, ketika ada pihak (politisi dan pengamat) yang menyindir dan menggembar-gemborkan adanya kerenggangan hubungan Presiden Jokowi dengan Megawati (PDI-P), hanya karena ada masukan dan kritik, bisa saja hal itu hanya insinuasi mereka atau bahkan suatu hal yang sesungguhnya mereka kehendaki menjadi kenyataan. Namun, menurut pengamatan TokohIndonesia.com, ‘keinginan busuk’ seperti itu sangat jauh panggang dari api.

Insinuasi dan ‘keinginan busuk’ seperti itu, hanya mungkin muncul dari mereka yang tidak berusaha memahami Megawati, Jokowi dan PDI-P. Seperti ketika ada relawan Pro Jokowi (Pilpres) kemudian berkeinginan mendirikan Partai Jokowi (2015) dan anehnya ada lagi relawan yang mendirikan Partai Indonesia Kerja (2016) yang katanya untuk Jokowi. Itu adalah keinginan mereka yang tidak mengenal Jokowi.

Insinuasi dan mimpi politik terbaru juga terindikasi dalam Rapimnas Golkar yang menyatakan secara resmi akan memengusung Jokowi jadi Capres 2019, serta secara insinuasi siap membentengi Jokowi dari serangan politik partai lain, termasuk PDI-P.

Jika benar ada pikiran seperti ini, pastilah pikiran itu buta dan picik. Padahal Presiden Jokowi sudah menunjukkan apa yang sepatutnya dia lakukan ketika diminta hadir oleh Golkar untuk menerima dukungan tersebut. Jokowi datang menghadirinya, tetapi dia tidak datang sendiri. Jokowi menjemput Megawati dan datang dalam satu mobil. Bagi mereka yang kenal Jokowi, pastilah sudah paham makna terdalam kenapa dia menjemput Megawati. Dan, Megawati yang kenal Jokowi, pastilah sudah paham maknanya, kendati tidak terucapkan dalam kata-kata.

Tetapi hati dan pikiran insinuasi sangat tidak bisa (tidak mau) melihat dan memaknai hal ini. Justru yang disorot, termasuk oleh media, adalah ‘nebengnya’ Ahok dalam mobil yang sama. Seolah-olah Jokowi menjemput Megawati demi Ahok. Suatu nalar yang berkualitas di bawah standar.

Memang, memahami orang lain dari sudut pandang orang lain itu, hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang bijaksana. Dan, orang picik akan mencibirnya. Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang | Redaksi TokohIndonesia.com

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Footnote:
[1] Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan menegaskan hal itu pada pidato penutupan Kongres IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Sanur, Bali, Sabtu, 11 April 2015.

Tokoh Terkait: Joko Widodo, Megawati Soekarnoputri, | Kategori: Opini – CATATAN KILAS | Tags: PDIP, PDI Perjuangan, Jokowi, Megawati, Petugas Partai Ideologis

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini