Kehidupan yang Dipertaruhkan
[BERITA TOKOH] – – Tim Kompas 2 Desember 2007: Prof Emil Salim (77) adalah satu dari sedikit tokoh Indonesia yang disegani masyarakat internasional. Ia berperan besar dalam merumuskan konsep dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan pada awal tahun 1980-an ketika menjadi anggota Komisi Brundtland. Sampai hari ini ia dikenal sebagai “orang bijak dari Timur” karena kemampuannya merangkul semua pihak demi Pembangunan Berkelanjutan.
Komitmennya pada Pembangunan Berkelanjutan tak pernah terkikis zaman, meski seluruh jabatan struktural telah lama ia tinggalkan. Itu membuat dia tidak berhenti. Dalam Konferensi Para Pihak (COP) Ke-13 untuk Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali tanggal 3 Desember-14 Desember 2007, ia adalah ketua delegasi Indonesia.
Emil Salim punya kemampuan mendengarkan dan menerima pendapat, yang berseberangan sekali pun. Ia sabar mendengarkan suara skeptis tentang konsep besar dan menjawab keraguan dengan menjelaskan duduk soal. Mendengarkan Emil Salim adalah mendengarkan optimisme di tengah situasi yang terbelah oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek.
“Kita harus tetap memiliki harapan demi kehidupan anak cucu kita,” ujarnya, seraya mengingatkan agar tidak terbelenggu pada ancaman dampak pemanasan global.
Jawabannya mengenai carut- marut soal lingkungan di dalam negeri sebaiknya dibaca secara tersirat. Ia tampaknya tak mau terjebak memberi pernyataan yang dapat mendiskreditkan pihak mana pun. Yang terpenting baginya adalah tindakan segera dari semua pihak dan semua orang untuk menyelamatkan planet Bumi karena yang dipertaruhkan dalam pemanasan global adalah kehidupan itu sendiri.
Melawan perubahan iklim adalah tindakan lintas generasi. Tantangan sekarang adalah membuat jendela kesempatan tetap terbuka dengan menurunkan laju emisi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Dunia memiliki kesempatan sejarah untuk memulai kewajiban ini. Tetapi, waktunya tak lama lagi.
Pada tahun 2012 periode komitmen pertama dari Protokol Kyoto yang mengatur target penurunan emisi gas-gas rumah kaca di negara-negara maju akan berakhir. Perjanjian penggantinya yang mulai dibicarakan akan menentukan serangkaian cara baru, menentukan batas yang keras mengenai emisi masa depan, dan membuat kerangka kerja bagi tindakan kolektif internasional.
“Pertemuan Bali belum memutuskan perubahan Protokol Kyoto, tetapi harus menunjukkan arahnya agar tahun 2009 ada protokol baru,” ujar Emil Salim. COP-14 akan berlangsung di Polandia, kemudian di Denmark tahun 2009.