back to top

BIOGRAFI TERBARU

Continue to the category
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
More
    27 C
    Jakarta
    Populer Hari Ini
    Populer Minggu Ini
    Populer (All Time)
    Ultah Minggu Ini
    Lama Membaca: 3 menit
    Lama Membaca: 3 menit
    Lama Membaca: 3 menit
    Lama Membaca: 3 menit
    BeritaLorong KataIjazah Bukan Urusan Kami

    Ijazah Bukan Urusan Kami

    Lama Membaca: 3 menit

    Dalam logika yang sehat, kampus adalah pihak yang paling berwenang menyatakan apakah sebuah ijazah yang mereka keluarkan itu sah atau tidak. Tapi di negara ini, justru kepolisian yang lebih dulu menyatakan dokumen itu asli, bukan universitasnya. Ketika integritas akademik dipertaruhkan, yang muncul dari kampus besar seperti UGM bukan penegasan, tapi penghindaran. Pertanyaannya: kenapa?

    Catatan Redaksi:
    Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian refleksi Lorong Kata terhadap kontroversi ijazah Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, rubrik ini telah mengangkat isu yang sama dalam esai:

    Lorong Kata tidak bermaksud menghakimi, tapi mengajak berpikir lebih jernih tentang tanggung jawab, kejelasan, dan integritas dalam kepemimpinan publik.

    “Ijazah itu dimiliki oleh orangnya, bukan oleh institusi,” kata Rektor Universitas Gadjah Mada, Ova Emilia. “Yang bisa membuktikan keaslian ijazah adalah pemiliknya sendiri.”

    Pernyataan itu muncul ketika keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo kembali dipersoalkan. Bukannya memberi kepastian, UGM justru menyatakan tak punya kewenangan menjawab. Alasannya: dokumen fisiknya sudah bukan milik kampus.

    Secara administratif, penjelasan itu sah. Tapi dalam konteks kepercayaan publik, penjelasan itu meninggalkan lubang. Karena yang dipersoalkan bukan sekadar keberadaan dokumen, melainkan kejelasan tentang apa yang pernah dikeluarkan secara resmi oleh sebuah institusi akademik.

    Publik menunggu pernyataan dari kampus, tapi yang muncul justru dari Bareskrim Polri. Pada Mei 2025, pihak kepolisian menyatakan bahwa ijazah Presiden Jokowi asli, berdasarkan data dari UGM. Legal? Ya. Masuk akal? Belum tentu. Karena dalam logika publik, yang paling tepat bicara soal keabsahan ijazah adalah lembaga yang menerbitkannya, bukan aparat penegak hukum. Di sinilah letak ganjilnya: bukan UGM yang bilang ijazah itu sah, tapi polisi. Seolah yang mencetak diam karena tak yakin, dan yang tak pernah menerbitkan justru paling siap menjelaskan. Bukankah logika itu terbalik?

    UGM menyatakan bahwa mereka tidak menyimpan dokumen fisik. Tapi publik tak sedang meminta fotokopi. Mereka hanya ingin tahu: apakah data akademik yang dimiliki kampus cocok dengan isi ijazah yang beredar? Jika ya, katakan. Jika tidak, jelaskan. Jika belum bisa memastikan, sampaikan juga. Tapi diam, apalagi saat kejelasan dituntut, itu bukan jawaban, melainkan pengabaian.

    Di berbagai negara, ketika kredensial akademik tokoh publik dipertanyakan, kampus tidak tinggal diam. Di Jerman, gelar doktor seorang menteri dicabut karena masalah integritas, dan kampus menyatakan sikap. Di Korea Selatan, kampus ikut menjelaskan saat disertasi seorang presiden dipermasalahkan. Mereka tidak melemparkan tanggung jawab ke alumni, apalagi menyerahkannya ke polisi.

    Indonesia tentu punya latar berbeda. Tapi prinsip akademik berlaku universal: bahwa lembaga pendidikan bertanggung jawab atas apa yang pernah mereka sahkan. Diam bukan sikap netral, ia bisa terbaca sebagai penghindaran tanggung jawab.

    Anda Mungkin Suka

    Yang diharapkan dari kampus bukan pembelaan terhadap individu, tapi penegasan terhadap sistem yang mereka kelola. Apakah benar bahwa orang tersebut pernah menjadi mahasiswa? Apakah benar bahwa ia lulus? Apakah benar bahwa ijazah itu sesuai dengan catatan akademik yang sah?

    Jika kampus tidak bisa atau tidak mau menjawab pertanyaan itu, maka ke mana publik harus mencari kepastian?

    Dalam demokrasi, kepercayaan pada institusi dibangun oleh penjelasan yang terbuka, bukan diam yang berkepanjangan. Dan dalam dunia akademik, kepercayaan publik bukan hanya soal prestasi ilmiah, tapi juga soal kesediaan menjelaskan ketika kejelasan dibutuhkan.

    Mungkin kampus punya alasan. Tapi ketika penjelasan tidak muncul di saat paling dibutuhkan, wajar bila publik mulai bertanya: apakah yang sedang dijaga adalah integritas ilmiah, kenyamanan institusional, atau memang ada yang disembunyikan?

    Yang dipersoalkan adalah tanggung jawab akademik. Jika sebuah universitas tidak bersedia menyatakan keabsahan dokumen yang pernah mereka keluarkan, maka fungsi dasar lembaga pendidikan patut dipertanyakan.

    UGM bukan kampus kecil. Publik berhak berharap lebih dari sekadar jawaban prosedural. Karena ketika kejelasan tidak datang dari institusi sebesar ini, maka kebingungan bukan lagi masalah publik, melainkan kegagalan komunikasi akademik itu sendiri. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

    Catatan Lorong Kata
    Ketika kepercayaan publik dipertaruhkan, kejelasan bukan lagi soal teknis, tapi soal tanggung jawab. Tulisan ini tidak bicara soal siapa yang diserang atau dibela, tapi tentang peran lembaga pendidikan dalam menjaga integritas. Dalam dunia akademik, diam bukan sikap netral, ia bisa menjadi bentuk abai. Dan ketika yang seharusnya menjawab justru memilih menghindar, publik punya hak untuk bertanya: ke mana harus mencari kepastian?

    Menurut Anda, siapa yang seharusnya paling bertanggung jawab menjelaskan keaslian ijazah seorang pejabat publik?
    VoteResults
    - Advertisement -Kuis Kepribadian Presiden RI
    🔥 Teratas: Habibie (26.3%), Gusdur (17.2%), Jokowi (14%), Megawati (11.8%), Soeharto (10.8%)

    Populer (All Time)

    Terbaru

    Share this
    Share via
    Send this to a friend