Kampus Bukan Barak
Dari Unsoed hingga Unud, dari Klarifikasi Paksa hingga Kerja Sama Sepihak

Ketika militer hadir di ruang akademik bukan sebagai objek studi, tapi sebagai mitra resmi atau pemanggil mahasiswa yang bersuara kritis, maka kita sedang menyaksikan pergeseran berbahaya. Kampus perlahan kehilangan jiwanya, bukan karena perang gagasan, tapi karena kehadiran senyap seragam yang ingin mengatur isi kepala – dan itulah saat di mana demokrasi benar-benar diuji.
Bayangkan sebuah sekolah. Seorang murid mengkritik isi pelajaran di kelas atau lebih tepatnya, mengkritik kebijakan sekolah soal satpam. Lalu, satpam sekolah memanggilnya ke ruang guru, menegur, meminta klarifikasi, bahkan memaksa agar meminta maaf. Aneh? Konyol? Tapi itulah kira-kira gambaran dari apa yang terjadi ketika militer memanggil mahasiswa karena aksi protes. Bukan tugasnya, dan jelas melewati batas.
Itulah yang terjadi di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Maret 2025. Sejumlah mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsoed dan aliansi lainnya menggelar aksi demonstrasi menolak Revisi Undang-Undang TNI. Mereka menilai, revisi tersebut memberi ruang terlalu besar bagi militer untuk masuk ke ranah sipil. Aksi mereka berlangsung damai, meski simboliknya cukup keras – mereka menaburkan kotoran kambing di depan markas Kodim 0701/Banyumas sebagai bentuk kekecewaan.
Apa yang terjadi setelahnya lebih mencemaskan. Alih-alih ditanggapi dengan dialog atau klarifikasi resmi, pihak Kodim memanggil perwakilan kampus dan mahasiswa untuk diminta klarifikasi serta permintaan maaf. Pertemuan pun dilakukan di Gedung Rektorat Unsoed. Ini bukan sekadar koordinasi, melainkan bentuk tekanan – terhadap kebebasan akademik, terhadap hak warga negara untuk berpikir dan menyuarakan pendapat.
Jika kita masih percaya pada prinsip-prinsip dasar demokrasi, maka tindakan ini tidak bisa dibenarkan. Dalam sistem negara hukum, institusi yang berwenang menangani ekspresi publik adalah lembaga hukum dan konstitusional, bukan aparat bersenjata. Militer tidak memiliki kewenangan memanggil atau mengintervensi warga sipil hanya karena ekspresi yang tak mereka sukai.
Tindakan ini telah melanggar etika demokrasi dan prinsip supremasi sipil – bahwa kekuasaan militer harus berada di bawah kontrol otoritas sipil yang dipilih rakyat. Supremasi sipil bukan sekadar jargon akademik. Ia adalah fondasi utama demokrasi, pagar agar kekuasaan tidak dijalankan oleh yang memegang senjata, tapi oleh yang dipilih secara sah melalui pemilu.
Sayangnya, Unsoed bukan satu-satunya kasus. Di Bali, Universitas Udayana (Unud) juga jadi sorotan setelah menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Kodam IX/Udayana. Isinya antara lain program bela negara, kuliah umum dari pejabat militer, hingga pelatihan kedisiplinan untuk mahasiswa baru. Rektor menyebutnya sebagai penguatan karakter kebangsaan. Namun BEM Unud dan Serikat Pekerja Kampus menilai kerja sama ini membuka jalan bagi militerisasi kampus dan mengancam otonomi akademik.
Pihak Kodam dan rektorat tentu membantah tudingan tersebut. Tapi pertanyaannya tetap: apakah nilai kebangsaan dan kedisiplinan harus dibangun lewat kehadiran militer di ruang sipil? Apakah pendidikan tidak bisa dikuatkan tanpa menyerahkan sebagian ruangnya kepada seragam?
Mahasiswa bukan ancaman negara. Mereka bukan tentara musuh, bukan pemberontak. Mereka adalah bagian dari rakyat yang menggunakan haknya untuk menyampaikan pendapat. Ruang kampus adalah tempat sah untuk bertanya, berpikir, mengkritik, bahkan memberontak secara intelektual. Jika itu saja dianggap ancaman, maka kita sedang bergerak mundur ke masa ketika kritik adalah dosa, dan suara berbeda harus dibungkam.
Untuk melihat bahayanya secara sederhana, mari kembali ke analogi sekolah. Kepala sekolah adalah otoritas sipil, dan satpam melambangkan militer. Satpam bertugas menjaga pagar, bukan mengatur isi pelajaran atau mendikte murid. Ketika ia mulai masuk kelas, menegur isi diskusi, memaksa guru minta maaf, maka sekolah itu kehilangan jiwanya. Begitu pula negara ini. Ketika militer memanggil mahasiswa atau menjalin kerja sama sepihak dengan kampus (tidak melibatkan seluruh stakeholder kampus), kita harus bertanya: siapa yang sebenarnya sedang mengarahkan arah pendidikan?
Revisi UU TNI yang baru disahkan memberi ruang lebih besar bagi militer di ranah sipil. Di saat yang sama, kita melihat kampus-kampus membuka pintu untuk kehadiran seragam. Ini bukan kebetulan. Ini pola. Bukan lagi komando keras, tapi infiltrasi lembut. Militer masuk bukan dengan tekanan, tapi dengan justifikasi moral dan administrasi.
Indonesia pernah hidup dalam bayang-bayang dwifungsi ABRI, ketika militer mengisi semua sektor: politik, birokrasi, kampus, bahkan organisasi kemasyarakatan. Reformasi 1998 menjadi tonggak pembatasan kekuasaan militer – mereka dikembalikan ke barak, sipil kembali memimpin. Tapi kini, kita menyaksikan semangat itu perlahan pudar.
Kekuasaan bersenjata tidak tumbuh dengan gaduh. Ia masuk pelan, diam, lewat pembiaran. Ketika pelanggaran kecil dianggap lumrah, ketika tekanan terhadap suara kritis dianggap prosedural, maka demokrasi sedang dilucuti perlahan.
Negara-negara demokratis menjaga garis antara sipil dan militer dengan tegas. Di Amerika Serikat, presiden sebagai panglima tertinggi punya kekuasaan untuk menertibkan militer. Ketika Jenderal Douglas MacArthur menolak instruksi, Presiden Truman memecatnya. Di Jerman, pembatasan militer dalam urusan sipil menjadi konstitusi pasca tragedi Nazi. Bahkan di Indonesia, konstitusi jelas menyatakan militer tidak boleh berpolitik, tidak mengintervensi urusan sipil, dan tidak masuk institusi sipil tanpa permintaan resmi dari otoritas hukum.
Kini, saat kerja sama antara kampus dan militer makin lazim, dan ketika mahasiswa yang bersuara malah dipanggil oleh pihak bersenjata, maka demokrasi kita mulai kehilangan bentuknya. Kampus yang dulu menjadi tempat lahirnya gerakan reformasi kembali disusupi. Dan lebih parah, ketika itu terjadi, sebagian orang malah membela dengan dalih “pembinaan kebangsaan”.
Hari ini mahasiswa Unsoed. Hari ini juga Unud membuka pintunya. Besok bisa kampus lain. Lusa mungkin dosen, jurnalis, aktivis – atau siapa pun yang berpikir berbeda. Demokrasi tidak tumbang dalam satu malam. Ia runtuh karena dibiarkan retak, sedikit demi sedikit.
Tindakan Kodim Banyumas dan kerja sama Unud dengan militer bukan sekadar urusan birokrasi. Itu adalah pelanggaran terhadap garis merah demokrasi. Bukan karena mereka berseragam, tetapi karena mereka melangkah ke ruang yang bukan milik mereka. Kita semua harus menjaganya agar garis itu tetap jelas – agar demokrasi tidak remuk oleh sepatu lars yang terlalu percaya diri.
Supremasi sipil bukan soal siapa yang lebih kuat. Ini soal siapa yang berdaulat: rakyat yang memilih atau seragam yang menggertak.
Kita tahu jawabannya.
Dan kita semua punya tanggung jawab menjaganya.
(Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)