Kemarahan yang Sah
Sulit berharap publik tetap tenang ketika yang mewakili justru mengejek. Ketika kritik dianggap ancaman dan protes diseret ke ruang tuduhan, yang retak bukan sekadar hubungan, tapi kepercayaan. Wajar jika rakyat marah: bukan karena tak mengerti demokrasi, tapi karena tahu persis bahwa ini bukan cara demokrasi seharusnya dijalankan.
Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian Lorong Kata yang membedah relasi kekuasaan, kritik, empati publik, dan pengaruh algoritma digital dalam demokrasi Indonesia:
- Kemarahan yang Sah. Menegaskan bahwa protes rakyat bukan gejala anarki, melainkan bentuk akumulasi luka akibat pengabaian.
- Ciri Orang Tolol Sedunia. Membongkar ironi ketika wakil rakyat mencemooh suara publik, dan bagaimana kata bisa jadi sumber delegitimasi.
- Ketika Rakyat Dianggap Bawahan. Melihat lebih jauh: bukan hanya pada insiden, tapi pada logika kekuasaan yang menyuburkan ketimpangan relasi.
- Affan Dilindas, Tanggung Jawab Menguap. Menunjukkan bagaimana tragedi rakyat sering hanya dijawab dengan ucapan duka dan janji bantuan, tanpa tanggung jawab politik yang nyata.
- Cara Halus Membungkam Suara. Mengurai taktik halus kekuasaan membatasi kritik publik, bukan dengan larangan eksplisit, melainkan dengan atmosfer takut.
- Catatan untuk Para Pengecut Digital. Mengungkap bagaimana sensor modern tidak lagi datang dari larangan, tapi dari algoritma yang memilih diam, dan platform yang tunduk bahkan sebelum ditundukkan.
- Epilog: Yang Tak Didengar. Merangkum ironi yang mengikat semuanya: bagaimana suara rakyat, dalam berbagai bentuknya – amarah, kritik, penderitaan, atau ingatan – terus disepelekan, dibungkam, atau dipastikan tak bergema.
Apa yang terjadi belakangan ini bukan sekadar akumulasi kekecewaan, melainkan potret buram hubungan yang semakin renggang antara rakyat dan para wakilnya. Video joget usai sidang tahunan DPR, yang diunggah dengan santai ke media sosial, hanya satu contoh kecil dari cara sebagian politisi membaca situasi. Ketika publik mengelus dada, mereka justru mengangkat bahu. Yang lebih mencemaskan bukan aksinya, tapi ketidakhadirannya: tidak hadirnya empati, kepekaan, dan rasa malu.
Eko Patrio, salah satu anggota DPR, sempat mencoba menjelaskan bahwa joget itu bentuk apresiasi. Tapi ketika kritik tak berhenti, ia malah mengunggah video joget lain di TikTok, seolah ingin mengatakan bahwa suara publik tak penting. Ahmad Sahroni menyebut mereka yang mengusulkan pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia”, ungkapan yang mungkin terasa ringan di forum tertutup, tapi terdengar kasar di telinga publik yang membayar gaji mereka.
Padahal, dalam konstitusi kita, wakil rakyat adalah manifestasi kedaulatan rakyat itu sendiri. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Maka ketika suara rakyat dihina, itu bukan sekadar pelanggaran etika, tapi pengingkaran terhadap mandat konstitusional.
Pada saat yang hampir bersamaan, anggaran DPR dinaikkan lebih dari 50 persen untuk tahun depan, mencapai lebih dari Rp9 triliun. Kenaikan ini terjadi di tengah situasi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, ketika banyak guru honorer bertahan hidup dengan gaji pas-pasan, dan para pengemudi ojek daring harus berdesakan di jalan demi penghasilan harian. Ironisnya, Menteri Keuangan menyebut gaji guru sebagai beban negara sementara gaji-tunjangan DPR yang terus naik tidak pernah dia pertanyakan. Pernyataan itu mungkin keluar dari sudut pandang fiskal, tapi tidak dari sudut pandang rasa.
Coba bayangkan seorang guru di pedalaman yang tetap datang ke kelas setiap pagi dengan sepatu sobek dan papan tulis yang nyaris tak bisa dipakai. Atau seorang ojol yang harus mengantar lima pesanan sekaligus karena insentif makin kecil. Ketika mereka melihat berita tentang joget, tunjangan, dan cemoohan dari gedung dewan, mereka tidak serta-merta marah: mereka kecewa, dan diam. Tapi diam itu kini berubah menjadi seruan.
Dan di jalanan, amarah menemukan bentuknya yang paling tragis. Seorang pengemudi ojol, Affan Kurniawan, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat unjuk rasa di Jakarta. Keluarganya kehilangan, publik geram, tapi negara cenderung defensif. Permintaan maaf memang disampaikan, tetapi rasa percaya yang sudah keropos tak bisa direkatkan dengan kalimat seremonial.
Affan bukan sekadar statistik atau korban berita harian. Ia adalah simbol dari warga yang tiap hari bergulat dengan kerasnya hidup, namun tetap berusaha taat. Dan ketika nyawanya melayang dalam aksi protes, yang terasa bukan sekadar kesedihan melainkan perasaan ditinggalkan oleh negara yang seharusnya melindungi.
Kemarahan publik hari-hari ini bukan sekadar soal kebijakan yang keliru, tapi akumulasi perlakuan yang meremehkan nalar rakyat. Ketika kritik dicemooh, gugatan dianggap tolol, dan wakil rakyat merasa diri penguasa, ruang demokrasi kehilangan maknanya. Maka desakan membubarkan DPR bukan datang dari ketidaktahuan hukum, tapi dari kelelahan kolektif, karena mekanisme formal terasa mandul menghadapi kelakuan tak pantas.
Namun ironinya, kekecewaan yang lahir dari luka sosial justru dibalas dengan tuduhan yang tidak kalah menyakitkan. Alih-alih didengar, para demonstran diframing sebagai alat pihak asing. Seorang mantan pejabat intelijen menyebut demonstrasi ini “didalangi oleh non-state actor global”, meski tanpa bukti, tanpa nama yang diungkap. Kritik rakyat yang nyata dan beralasan kembali direduksi menjadi proyek infiltrasi luar negeri. Seolah-olah kemarahan hanya bisa dimengerti jika ada musuh asing di baliknya, bukan karena akal sehat yang muak melihat pengabaian.
Lebih parah lagi, negara kini mulai menekan media sosial agar membatasi konten tentang demonstrasi. Polisi melarang live TikTok saat aksi, dan pemerintah mengancam platform yang tak segera menyensor konten “provokatif”. Apapun alasannya, entah demi stabilitas, keamanan, atau melawan hoaks, hasil akhirnya tetap sama: publik dibungkam. Bukannya diberi ruang, kemarahan rakyat justru dibersihkan dari linimasa. Demokrasi tanpa rekaman, adalah demokrasi yang mudah direkayasa. Dan ketika satu-satunya kamera yang tersisa adalah milik aparat, maka kebenaran menjadi milik siapa yang memegang gawai.
Lalu, kepada siapa publik bisa berharap? Jika ruang protes dikontrol, kritik dimusuhi, dan ekspresi diawasi, maka satu-satunya yang tersisa adalah keyakinan bahwa suara masih punya arti. Tapi bahkan itu pun mulai goyah.
“Apakah kita masih percaya bahwa suara di bilik itu cukup?”
“Apakah demokrasi hanya soal prosedur, bukan perilaku?”
Rakyat tahu bahwa lembaga tidak sempurna. Tapi yang tidak bisa diterima adalah ketika lembaga dikelola tanpa rasa tanggung jawab. Dalam situasi seperti ini, suara publik tak lagi meminta keistimewaan. Ia hanya menagih rasa hormat. Sebab yang disebut sebagai wakil rakyat, sejatinya bukan majikan. Dan yang berdiri di belakang mikrofon, tidak sedang berbicara kepada pengikut, tapi kepada pemilik negeri.
Dalam sejarahnya, DPR pernah jadi simbol harapan terutama saat melawan otoritarianisme. Tapi kini, justru banyak yang bertanya: apakah semangat reformasi itu masih hidup di dalam gedungnya?
Mungkin ini bukan pertama kalinya rakyat kecewa. Tapi ada yang berbeda kali ini: rasa kehilangan arah. Ketika yang seharusnya mewakili justru menjauh. Ketika suara yang jernih dianggap gangguan, dan kritik dianggap ancaman. Kita mulai bertanya-tanya, apakah wakil masih tahu siapa yang mereka wakili?
Namun lorong ini tidak sedang mencari pelampiasan. Ia hanya mengajak menoleh sejenak bukan untuk mengutuk, tapi untuk mengingat. Bahwa kekuasaan bukan warisan. Bahwa rasa hormat tidak datang dari jabatan, tapi dari cara memperlakukan mereka yang memberikannya.
“Yang berpikir berbeda hari ini sering dituduh membelot. Padahal, berpikir berbeda adalah bukti kita belum menyerah.”
Kemarahan ini bukan hilangnya akal sehat. Justru karena akal sehat itulah suara publik semakin keras. Sebab ketika kritik dibalas dengan ejekan, protes disensor, dan wakil lupa pada mandatnya, yang muncul bukan penolakan terhadap demokrasi melainkan tuntutan agar demokrasi kembali ke akarnya: menghormati suara rakyat. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)
Tulisan ini lahir bukan untuk membakar emosi, tapi menandai saat ketika kesabaran rakyat mencapai ujung. Jika nadanya terasa lebih tajam, itu karena realitas yang dihadapi memang tidak bisa dibaca dengan kata-kata yang lembut. Kami percaya, bahkan kemarahan pun bisa ditulis dengan tanggung jawab, dan itulah yang kami coba lakukan di Lorong Kata.