Kenapa Hanya Kartini yang Dirayakan?

0
126
Kenapa Hanya Kartini
Kita bisa merayakan Kartini, tetapi juga harus memperingati dan memberi ruang bagi tokoh-tokoh perempuan lain yang telah lama dilupakan.
Lama Membaca: 3 menit

Kartini diperingati setiap tahun sebagai simbol perjuangan perempuan, tetapi tidakkah kita bertanya, mengapa hanya dia yang punya hari nasional? Apakah pahlawan perempuan lain kurang “Jawa”, kurang halus, atau justru terlalu keras melawan? Sejarah yang memilih mengangkat satu nama dan mengabaikan yang lain, adalah sejarah yang belum selesai ditulis.

Setiap tahun, ketika tanggal 21 April tiba, bangsa Indonesia kembali merayakan Hari Kartini. Di sekolah-sekolah, anak-anak memakai busana adat, menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini”, dan membacakan kutipan-kutipan dari Habis Gelap Terbitlah Terang. Media sosial pun dibanjiri pesan-pesan penuh pujian untuk Raden Ajeng Kartini, sebagai tokoh emansipasi dan pelopor kebangkitan perempuan Indonesia.

Tetapi, dari sekian banyak nama perempuan hebat dalam sejarah bangsa ini, mengapa hanya Kartini yang diperingati secara nasional? Mengapa hanya ia yang masuk secara mendalam dalam buku pelajaran, poster motivasi, dan seremoni kenegaraan? Di balik gemerlap peringatan itu, tersembunyi pertanyaan besar yang terus menggenangi pikiran redaksi TokohIndonesia.com: kenapa hanya Kartini yang dirayakan?

Menurut Anda, apakah selama ini sejarah nasional sudah cukup adil dalam mengenang dan merayakan jasa para pahlawan perempuan Indonesia?
VoteResults

Kartini memang tokoh besar. Ia lahir di Jepara, dari keluarga priyayi Jawa yang masih terikat kuat oleh tradisi feodal. Dalam dunia yang mengekang perempuan dan menutup pintu pendidikan bagi mereka, Kartini bersuara dengan pena. Surat-suratnya kepada sahabat pena di Belanda menyuarakan keresahan, impian, dan kemarahan atas nasib perempuan pribumi yang dibelenggu. Ia menulis tentang pendidikan, tentang kebebasan berpikir, dan tentang hak untuk menjadi manusia seutuhnya.

Namun, jika kita berhenti pada Kartini saja, kita sedang mereduksi sejarah perempuan Indonesia yang jauh lebih kompleks dan beragam. Sejarah bangsa ini menyimpan banyak nama perempuan pejuang, dari berbagai daerah, latar belakang, dan bentuk perjuangan. Mereka bukan hanya pejuang dalam makna simbolis, tapi nyata turun ke medan perang, melawan penjajahan, mendidik masyarakat, membangun kesadaran, dan mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan.

Sebut saja Cut Nyak Dhien. Seorang perempuan Aceh yang kehilangan suami di medan perang, lalu melanjutkan perlawanan bersenjata melawan Belanda, hingga akhir hayatnya. Matanya buta, tubuhnya lemah, tapi semangatnya tak pernah padam. Lalu ada Cut Nyak Meutia, yang setelah suaminya gugur, memimpin sendiri pasukan perlawanan, dan tetap melawan hingga titik darah penghabisan. Martha Christina Tiahahu di Maluku, ikut mengangkat senjata sejak usia belia, ditangkap, dibuang ke Jawa, dan wafat dalam pengasingan. Kisah-kisah mereka begitu heroik, namun nyaris tidak terdengar dalam peringatan tahunan nasional.

Ada pula Dewi Sartika dari Tanah Sunda, yang mendirikan sekolah bagi perempuan pribumi. Ia melawan ketakutan, tekanan sosial, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pendidikan bagi perempuan. Di Minahasa, Maria Walanda Maramis menulis di media massa, membentuk organisasi perempuan, dan menyuarakan partisipasi politik kaum perempuan pada masa ketika suara perempuan dianggap tak layak didengar. Mereka semua memiliki kontribusi besar, bukan hanya untuk perempuan, tapi untuk Indonesia. Namun tidak satu pun dari mereka memiliki hari peringatan nasional.

Lalu, kenapa hanya Kartini?

Salah satu jawabannya mungkin terletak pada kedekatan Kartini dengan kekuasaan dan sistem kolonial. Surat-suratnya yang ditulis dalam bahasa Belanda diterbitkan oleh tokoh-tokoh Eropa, dikenal luas di kalangan elite, dan sejak awal dijadikan simbol oleh Belanda untuk mempromosikan citra “perempuan Jawa modern” yang sesuai dengan nilai-nilai mereka. Setelah kemerdekaan, terutama pada masa Orde Baru, simbol Kartini diperkuat sebagai representasi perempuan ideal: berpendidikan, halus, setia, dan tidak konfrontatif. Kartini menjadi citra yang mudah dikelola negara, dan karenanya, diberi tempat istimewa.

Advertisement

Sementara tokoh-tokoh perempuan dari luar Jawa atau yang terlibat dalam perlawanan fisik dianggap kurang “cocok” untuk ditampilkan secara nasional. Narasi sejarah kita menjadi sempit, Jawa-sentris, dan cenderung mengabaikan tokoh-tokoh dari pinggiran. Ini bukan hanya persoalan keadilan sejarah, tapi juga soal bagaimana bangsa ini membentuk imajinasi kolektif tentang perempuan dan kepahlawanan.

Pendidikan sejarah di sekolah-sekolah pun turut memperparah bias ini. Siswa-siswi dari SD hingga SMA akan mengenal Kartini, tetapi belum tentu tahu siapa Cut Nyak Meutia atau Martha Christina Tiahahu. Nama-nama mereka ada di buku, tapi tidak diceritakan dengan kedalaman yang sama. Tidak ada hari khusus untuk mereka. Tidak ada parade atau perlombaan dengan nama mereka. Mereka hanya menjadi catatan pinggir dalam buku sejarah nasional yang terlalu fokus pada satu tokoh.

Perayaan Hari Kartini tentu bukan hal yang salah. Kartini layak dikenang dan dihormati. Tapi jika hanya dia yang terus-menerus diangkat, sementara yang lain dilupakan, kita sedang menciptakan ketimpangan dalam memori kolektif bangsa. Kita sedang menanamkan pada anak-anak bahwa perempuan hebat hanya satu bentuk saja: yang menulis, yang lembut, yang berasal dari Jawa, dan yang tidak melawan secara fisik.

Sudah saatnya kita menulis ulang narasi sejarah perempuan Indonesia dengan lebih adil dan inklusif. Kita perlu mengakui bahwa pahlawan perempuan Indonesia tidak tunggal. Mereka banyak, beragam, dan masing-masing membawa karakter perjuangan yang unik. Kita bisa merayakan Kartini, tetapi juga harus memperingati dan memberi ruang bagi tokoh-tokoh perempuan lain yang telah lama dilupakan.

Indonesia tidak dibangun oleh satu tangan. Dan perempuan-perempuan yang berjuang untuk negeri ini tidak hanya bernama Kartini. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

Selama ini kita mengenal Hari Kartini, tapi banyak pahlawan perempuan lain yang juga berjasa besar. Siapa menurut Anda yang layak mendapatkan penghargaan nasional setara Hari Kartini?
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments