IHSG Anjlok dan Gurauan “Rakyat Desa Tak Punya Saham” – Serius?

IHSG jatuh, investor panik, dan pasar modal bergejolak – namun Presiden Prabowo justru menanggapi dengan santai, menyebut “rakyat desa tidak punya saham.” Pernyataan itu sontak memicu perdebatan. Saham boleh bukan milik mereka, tapi dampaknya akan tetap mengetuk pintu rumah mereka.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa “rakyat desa tidak punya saham, jadi tidak masalah IHSG turun” menjadi kutipan paling viral dalam sepekan terakhir – bukan karena menginspirasi, melainkan karena mencemaskan. “Harga saham boleh naik turun, pangan aman negara aman, saudara-saudara,” katanya dengan nada ringan, bahkan diselingi tawa, dalam Sidang Kabinet Paripurna, pernyataan itu hadir di tengah jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke bawah level psikologis 6.000, menyapu bersih kapitalisasi pasar triliunan rupiah dan mengirim sinyal buruk ke dunia usaha dan investor global.
Selain itu, Presiden Prabowo juga menyindir beberapa menteri yang tampak khawatir dengan penurunan IHSG, seperti Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait dan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Presiden Prabowo berujar, “Saya lihat yang stres harga saham turun hanya beberapa orang di antara kalian.” Dalam pernyataan lain, Presiden Prabowo bahkan menyebut bahwa bermain saham bagi rakyat kecil mirip dengan berjudi.
Dalam suasana pasar yang diliputi kepanikan, ketika pelaku pasar menyaksikan portofolio mereka menguap, dan kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi nasional diguncang, kepala negara memilih berguyon. Bagi sebagian orang, itu dianggap cara menenangkan. Tapi bagi banyak lainnya, itu menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah pemerintah sungguh memahami arti penting dari pasar modal dalam ekonomi modern? Dan lebih jauh, apakah benar rakyat desa tidak berkepentingan dengan bursa saham?
IHSG bukan sekadar papan skor para pemain bursa. Ia adalah cermin kepercayaan, indikator utama tentang bagaimana dunia memandang kredibilitas pemerintahan, kesehatan fiskal, dan arah ekonomi sebuah negara. Ketika IHSG jatuh, kepercayaan itu goyah. Dan ketika kepercayaan goyah, dampaknya bukan hanya dirasakan oleh investor bermodal besar. Pada waktunya, ia akan merambat ke desa-desa yang jauh dari layar bursa efek, tapi tidak jauh dari konsekuensi kebijakan ekonomi.
Ekonom dari berbagai institusi kredibel menegaskan bahwa kejatuhan IHSG kali ini bukan koreksi biasa. Dr. Muhammad Saiful Hakim dari ITS menyebut ini sebagai refleksi hilangnya optimisme pasar terhadap arah ekonomi Indonesia. Romauli Nainggolan dari Universitas Ciputra menilainya sebagai krisis kepercayaan investor akibat kombinasi defisit anggaran, kebijakan populis, dan ketidakpastian politik. Achmad Nur Hidayat dari UPN Veteran melihatnya sebagai konsekuensi dari struktur ekonomi rapuh dan kebijakan fiskal yang terlalu bertumpu pada utang.
Namun lebih dari opini para pakar, mari kita pahami mengapa rakyat desa – pada akhirnya – akan terkena dampaknya. Saat IHSG anjlok, modal asing keluar dari Indonesia. Rupiah tertekan. Harga barang impor naik. Termasuk BBM, pupuk, dan alat produksi pertanian – semua komponen penting bagi petani dan pelaku ekonomi desa. Ketika perusahaan publik kehilangan nilai pasar, banyak dari mereka menahan ekspansi, bahkan memotong pengeluaran. Ini berarti serapan tenaga kerja berkurang, upah ditekan, proyek ditunda.
Lebih jauh lagi, ketika kepercayaan pasar terhadap kebijakan ekonomi pemerintah menurun, beban pembiayaan APBN membengkak. Investor menuntut imbal hasil lebih tinggi atas surat utang negara. Akibatnya, ruang fiskal untuk pembangunan menyempit. Dalam jangka menengah, belanja negara akan harus dikaji ulang. Dan ketika pemerintah harus memilih, bukan elit di kota yang akan pertama-tama dikorbankan – tapi desa-desa kecil yang jauh dari pusat kekuasaan.
Program bantuan sosial, subsidi pupuk, infrastruktur desa, layanan kesehatan, pendidikan anak-anak di pelosok – semua itu bisa terancam ketika negara kekurangan napas fiskal. Maka benar jika rakyat desa tidak punya saham. Tapi mereka punya kebutuhan akan harga pangan yang stabil, pupuk yang terjangkau, dan akses ke pelayanan dasar. Dan semua itu, langsung atau tidak, terhubung ke IHSG yang hari ini sedang diabaikan.
Itulah sebabnya, kita harus menolak narasi bahwa pasar saham hanyalah milik orang kota. Kesejahteraan nasional – termasuk di desa-desa – tidak bisa dilepaskan dari kestabilan ekonomi makro, dan IHSG adalah salah satu indikator utamanya. Menyederhanakan masalah kejatuhan pasar menjadi urusan “orang-orang yang punya saham saja” adalah kekeliruan fatal yang bisa berujung pada pengambilan kebijakan yang salah arah.
Masalahnya tidak berhenti pada pernyataan itu saja. Kejatuhan IHSG kali ini terjadi dalam konteks kebijakan-kebijakan pemerintah yang memunculkan tanda tanya besar. Minimnya transparansi dan komunikasi kebijakan, di mana keputusan besar seperti pendanaan program Makan Bergizi Gratis dan pembentukan lembaga baru dilakukan tanpa kejelasan implikasi fiskalnya. Pembentukan Danantara, sovereign wealth fund yang hingga kini dipertanyakan dari segi akuntabilitas, pengawasan, dan tujuannya. Banyak yang khawatir bahwa dananya akan dikelola dengan mekanisme yang minim kontrol publik. Penghapusan utang satu juta UMKM sebesar Rp14 triliun, yang memunculkan persepsi bahwa pemerintah lebih mengedepankan kebijakan populis daripada disiplin fiskal. Pembentukan Koperasi Merah Putih, yang fungsinya belum jelas dan justru dikhawatirkan menjadi alat kontrol baru atas ekonomi strategis. Serta gaya komunikasi pemimpin yang kerap merespons kritik dengan candaan atau sindiran. Ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak menghargai mekanisme pasar dan tidak serius menghadapi krisis kepercayaan.
Semua itu memperkuat narasi bahwa pemerintah tidak sedang mengedepankan disiplin fiskal, keterbukaan informasi, atau prinsip kehati-hatian ekonomi. Narasi inilah yang dibaca dan dianalisis tajam oleh pelaku pasar. Investor institusional, pengelola dana pensiun, hingga lembaga pemeringkat global menilai bukan hanya angka, tapi juga sinyal. Dan ketika sinyal yang ditangkap adalah lelucon dan pernyataan defensif, maka sinyal yang ditangkap pasar bukanlah ketenangan, melainkan ketiadaan sense of urgency.
Presiden Prabowo dikenal dengan gaya komunikasi yang lugas dan membumi. Namun dalam konteks krisis, candaan bukanlah alat yang efektif untuk menenangkan pasar. Lelucon tentang IHSG bisa jadi dimaksudkan untuk menenangkan publik, namun justru mengesankan kurangnya empati terhadap kekhawatiran pelaku pasar. Ini bukan hanya soal sensitivitas, tapi juga soal kepemimpinan. Sebab dalam dunia ekonomi modern, komunikasi adalah bagian dari kebijakan. Bahkan satu kalimat bisa menciptakan atau menghapus ratusan miliar rupiah dari pasar.
Sejarah telah menunjukkan bagaimana gejolak di pasar modal dapat menyulut krisis ekonomi di negara-negara berkembang. Turki, Brasil, Argentina – semuanya pernah mengalami episode serupa. Ketika indeks saham rontok, arus modal asing keluar, nilai tukar jatuh, inflasi naik, dan pada akhirnya rakyat kecil-lah yang paling terdampak. Di Brasil tahun 2015, krisis kepercayaan akibat kebijakan yang tidak jelas membuat real Brasil terpuruk dan ekonomi masuk ke dalam resesi. Di Turki, kebijakan populis yang tidak disertai transparansi fiskal memicu kejatuhan pasar dan lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok. Kedua negara itu memiliki kesamaan: pemimpinnya kerap meremehkan sinyal-sinyal dari pasar.
Itulah sebabnya mengapa pernyataan “rakyat desa tidak punya saham” tidak hanya keliru, tetapi berbahaya. Ia menyederhanakan kompleksitas ekonomi menjadi seolah-olah rakyat kecil tak terhubung dengan dinamika makro. Padahal kenyataannya, mereka justru menjadi lapisan yang paling rentan.
Mereka mungkin tidak membaca grafik candlestick, tapi mereka tahu kapan harga telur naik. Mereka tidak tahu apa itu capital outflow, tapi mereka tahu kapan subsidi pupuk menghilang. Mereka mungkin tak paham istilah fiscal credibility, tapi mereka merasakannya saat jalan desa tak kunjung diperbaiki.
IHSG bisa saja pulih secara teknikal. Tapi kepercayaan tidak. Sekali rusak, ia bisa butuh bertahun-tahun untuk diperbaiki. Dan tanpa kepercayaan, ekonomi akan terus dihantui ketidakpastian, dan rakyat akan terus dibebani oleh konsekuensi yang tak mereka ciptakan.
Karena dalam dunia yang makin terhubung, kejatuhan pasar saham bisa menyebar seperti api di musim kemarau. Apa yang dianggap kecil hari ini bisa menjadi bencana besok. Dan bencana ekonomi, seperti gempa bumi, tidak membedakan siapa pemilik saham dan siapa tidak. Ia mengguncang semuanya – mulai dari lantai bursa di Jakarta, hingga ke tanah-tanah pertanian di pelosok Nusantara. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)
📊 Tabel Fakta: Dampak Kejatuhan IHSG dan Respon Pemerintah
Fakta | Detail |
IHSG Jatuh | Pada Maret 2025, IHSG anjlok lebih dari 4%, menembus di bawah 6.000 poin. |
Kerugian Kapitalisasi | Dalam satu hari, kapitalisasi pasar berkurang triliunan rupiah. |
Respons Presiden | Presiden Prabowo mengatakan “Rakyat desa tidak punya saham”, merespons kejatuhan IHSG dengan guyonan. |
Dampak pada Ekonomi Riil | Nilai tukar rupiah melemah, harga bahan baku impor naik (termasuk pupuk dan BBM). |
Dampak Sosial | Potensi pengurangan belanja negara untuk infrastruktur desa, subsidi pupuk, bantuan pendidikan. |
Kritik Kebijakan | Minimnya transparansi terkait program makan gratis, pembentukan Danantara, dan penghapusan pencatatan utang KUR. |
Kekhawatiran Pasar | Pasar membaca lemahnya komunikasi ekonomi dan disiplin fiskal, memicu capital outflow dan sentimen negatif. |
Sejarah Negara Lain | Brasil dan Turki pernah mengalami resesi berat akibat runtuhnya kepercayaan pasar yang diawali kejatuhan indeks saham. |
Pusat Data Tokoh Indonesia, Maret 2025