Kita Baik-Baik Saja – Katanya

Karena yang Jujur Kini Dianggap Mengganggu Suasana

0
49
Narasi Optimisme
Kita hidup di zaman yang aneh. Optimisme berubah jadi alat pembungkam. "Semangat” jadi cara baru untuk menyuruh orang diam.
Lama Membaca: 3 menit

Di negara yang katanya demokratis, mengeluh bisa dianggap ancaman. Sekadar mempertanyakan kebijakan bisa membuatmu dicap tidak bersyukur, pesimis, bahkan mengganggu ketertiban. Kita didorong untuk selalu tersenyum, apa pun yang terjadi. Seakan-akan, selama kita terlihat bahagia, negara ini baik-baik saja.

Kita hidup di zaman yang aneh. Zaman ketika mengeluh bisa membuatmu dianggap pengganggu suasana. Ketika bertanya, “Kenapa hidup makin sulit?” akan langsung dijawab dengan, “Kamu kurang bersyukur.” Ketika kita bilang, “Ini tidak adil,” orang lain akan menepuk bahu dan berbisik, “Fokus ke hal-hal positif saja.” Atau ketika kita berpendapat, “Demokrasi sudah dipreteli oleh dinasti politik,” dijawab singkat padat jelas, “Jangan berpolemik.” atau “Jangan bikin gaduh.”

Sekilas terdengar bijak. Tapi perlahan, kita mulai merasa seperti sedang dipaksa tersenyum di tengah luka yang belum kering. Di jalan-jalan yang makin padat, harga beras yang terus naik, biaya sekolah yang bikin kening berkerut, kita diminta untuk tetap ceria. Tetap optimis. Tetap percaya bahwa semuanya baik-baik saja. Seolah kecewa adalah dosa, dan marah adalah kelemahan iman.

Jean-Paul Sartre pernah bilang, “Kebebasan adalah apa yang kita lakukan atas apa yang telah dilakukan terhadap kita.” Tapi hari ini, kebebasan itu seperti dikurung dalam senyuman kolektif. Bukan karena dilarang bicara, tapi karena takut dianggap “menebar aura negatif”. Takut dilabeli pesimis. Takut disebut tak cinta negeri. Di warung kopi, obrolan sering berakhir canggung ketika seseorang mulai bertanya soal keadilan. Di grup keluarga, satu pesan tentang kondisi negeri bisa dibalas dengan stiker doa dan nasihat sabar. Bahkan dalam obrolan ringan warga kampung, nada keberatan bisa dibungkam dengan senyuman dan kalimat, “Yang penting kita sehat.” Budaya rukun yang selama ini kita banggakan, perlahan berubah menjadi kebiasaan menyembunyikan resah—asal suasana tetap adem, meski isi hati bergejolak.

Beberapa waktu belakangan, kita melihat tagar-tagaran di media sosial. Satu pihak bilang keadaan sedang gelap, satu pihak lain cepat-cepat membalas: “Tidak! Ini Indonesia cerah!” Bukannya dialog, yang terjadi justru adu narasi. Dan sayangnya, narasi positif sering menang bukan karena lebih benar, tapi karena lebih mudah dicerna. Karena ia menyenangkan, nyaman, dan tidak memicu konflik.

Di sinilah letak bahayanya. Ketika optimisme berubah jadi alat pembungkam. Ketika “semangat” jadi cara baru untuk menyuruh orang diam. Orang yang bertanya soal keadilan dianggap tidak tahu berterima kasih. Yang mengkritik kebijakan diperlakukan seperti perusak suasana. Padahal bukankah negara yang kuat justru yang sanggup menampung suara muram warganya?

Nietzsche pernah berkata, “Manusia yang sehat adalah manusia yang tahu kapan harus marah.” Tapi sekarang, kemarahan sosial dimaknai sebagai gangguan. Bahkan seorang ibu yang mengeluh soal uang belanja bisa disalahkan karena katanya “tidak bersyukur sudah hidup di negara yang aman.” Ini seperti menutup luka dengan plester kata-kata manis. Luka itu tidak sembuh. Ia justru bernanah dalam diam.

Kita sering lupa, marah dan kecewa adalah bagian dari cinta. Mereka yang benar-benar peduli, tak akan diam ketika melihat ketimpangan. Tak akan pura-pura bahagia saat yang lain terpinggirkan. Tapi suara seperti itu kini makin sulit mendapat tempat. Di ruang publik yang dikuasai slogan, tepuk tangan, dan narasi keberhasilan, suara pelan yang berkata “ini tidak cukup” terdengar seperti gangguan.

Padahal sejarah bangsa ini ditulis oleh orang-orang yang tak selalu sopan, tak selalu halus, bahkan kadang keras kepala. Mereka berani bilang “tidak”, ketika semua orang memilih diam. Kita pernah punya masa di mana hanya satu suara yang boleh terdengar—dan kita tahu bagaimana akhirnya. Ketika narasi tunggal mendominasi, masyarakat kehilangan kemampuan membedakan antara kesetiaan dan kepatuhan buta. Sejarah, baik di negeri ini maupun di banyak tempat lain, mengajarkan bahwa bangsa yang menolak perbedaan suara justru sedang mempercepat keretakan dari dalam.

Kini, yang ramai terdengar adalah semacam motivasi massal: ayo bangkit, ayo semangat, jangan lihat yang buruk-buruk. Seolah kalau kita cukup optimis, semua masalah akan lenyap. Padahal harapan tanpa keberanian untuk melihat luka adalah delusi. Kita tidak bisa memperbaiki rumah retak dengan terus memuji warna catnya.

Advertisement

Optimisme seharusnya menjadi cahaya, bukan lampu sorot yang menyilaukan. Tapi hari ini, cahaya itu kadang digunakan untuk menyoroti hanya sisi baik, dan membiarkan sisi gelap tetap tak terlihat. Jika seseorang menyebutkan yang gelap, dia dicurigai, diserang, dituduh menyebar pesimisme. Ini bukan demokrasi yang matang. Ini semacam pengelolaan emosi massal yang rapuh.

Apakah kita takut melihat kenyataan? Ataukah kita lebih suka hidup dalam suasana penuh semangat palsu? Kita perlu bertanya: siapa yang sebenarnya peduli? Yang terus bersorak di pinggir lapangan, atau yang turun ke tanah, melihat sendiri lapangan itu mulai becek dan tak rata?

Tidak ada bangsa besar yang dibangun dari senyum semata. Bangsa besar dibentuk dari keberanian mendengar suara-suara yang tidak enak, dari kemampuan menampung tangis, dan dari keikhlasan mengakui bahwa tidak semua orang bisa bahagia dalam sistem yang sama.

Maka sudah saatnya kita memberi ruang untuk kecewa. Memberi tempat bagi rasa lelah. Dan berhenti menganggap pesimis sebagai musuh. Sebab bisa jadi, mereka yang berani kecewa adalah mereka yang masih berharap. Dan yang masih berharap—adalah mereka yang paling mencintai negeri ini. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

Kalau Anda menyuarakan keresahan hari ini, kira-kira apa yang paling mungkin Anda dapatkan?
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments