Kritik Revisi UU TNI? Fix, Kamu Kampungan!

Nggak usah ribet mikirin militer yang makin merapat ke jabatan sipil. Kalau masih ingat sejarah kelam dwifungsi ABRI, fix kamu belum move on. Santai aja – atau siap-siap dicap kampungan!
Jadi gini, guys. DPR lagi bahas revisi Undang-Undang TNI, dan isinya lumayan bikin banyak orang was-was. Kenapa? Karena ada pasal yang memungkinkan prajurit aktif TNI buat duduk di lebih banyak posisi sipil. Dulu, jabatan sipil yang boleh diisi TNI aktif ada 9, sekarang mau ditambah jadi 14. Ada yang bilang ini kayak nostalgia era Orde Baru, pas tentara nggak cuma ngurus pertahanan negara, tapi juga ikut-ikutan ngatur pemerintahan, ekonomi, bahkan hukum. Ya, itu yang namanya dwifungsi ABRI – konsep yang dulu bikin militer bisa ngacak-ngacak sistem sipil selama puluhan tahun. Tapi, ketika masyarakat mengkritik dan mempertanyakan, langsung muncul respons: “Pemikiran kampungan!”
Jadi, kalau kalian mempertanyakan kenapa tentara bisa masuk Kejaksaan Agung, berarti kalian kampungan. Kalau kalian bingung kenapa TNI bisa duduk di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), padahal bencana itu urusannya sipil, ya kalian kampungan. Kalau kalian bertanya-tanya kenapa tentara bisa jadi pejabat di Kementerian Kelautan dan Perikanan, kalian tuh kampungan banget. Dan kalau kalian heran kenapa tentara nggak bisa diadili di pengadilan umum kalau melakukan kejahatan sipil, itu kampungan.
Oh, dan kalau kalian penasaran kenapa rapat pembahasan RUU ini nggak di Gedung DPR, tapi malah di hotel mewah bintang lima dengan akses terbatas, itu juga kampungan. Kenapa harus di hotel padahal lagi ada kebijakan efisiensi anggaran? Katanya sih, rapat DPR di hotel mewah itu biasa, bukan cuma buat bahas revisi UU TNI. Waktu bahas UU lain juga sering di hotel. Yang bikin tambah bingung, rapat pembahasan RUU ini dibuat maraton seperti ada yang diburu, padahal RUU TNI tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional 2025. Pembahasannya pun atas permintaan pemerintah, padahal RUU ini inisiatif DPR. Jadi kalau kalian curiga dan mikir, “Kok rasanya kayak menghindari sorotan publik?”, ya maaf, pemikiran kalian kampungan. Transparansi? Apa tuh?
Bahkan ketika ada masyarakat sipil yang mencoba menyampaikan aspirasi dengan mendatangi rapat, responsnya bukan “Mari kita dengarkan kritik,” tapi “Itu tindakan ilegal dan anarkis!” Kritik boleh, katanya, tapi kalau ada yang benar-benar mau menyampaikan langsung, kok malah dianggap keterlaluan, bahkan mau dizalimi dengan dilaporin ke polisi?
Masyarakat sipil yang masih punya memori panjang, yang ingat sejarah gelap keterlibatan militer dalam urusan sipil, yang paham bahaya tentara punya kuasa di luar pertahanan negara, itu kampungan. Karena, dalam logika negara ini, yang modern itu bukan yang kritis, tapi yang nrimo. Yang modern itu bukan yang membaca sejarah, tapi yang gampang lupa. Yang modern itu bukan yang peduli demokrasi, tapi yang percaya aja kalau revisi ini “demi kepentingan nasional”.
Padahal, yang bikin masyarakat khawatir bukan hal yang dibuat-buat. Ada sejarah panjang yang membuktikan kalau militer yang kebablasan masuk ke ranah sipil selalu berakhir buruk. Dulu, tentara nggak cuma ngurus keamanan, tapi juga mengontrol politik, bisnis, dan hukum. Dan apa hasilnya? Kasus-kasus pelanggaran HAM, kejahatan negara yang nggak pernah benar-benar dipertanggungjawabkan, dan rakyat yang terus-menerus jadi korban.
Tahun 1980-an, ada yang namanya Penembakan Misterius (Petrus). Waktu itu, banyak orang yang dituduh “preman” tiba-tiba hilang atau ditemukan tewas dengan luka tembak. Tanpa pengadilan, tanpa proses hukum yang jelas, mereka langsung dieksekusi. Hanya karena dianggap “gangguan sosial”, mereka dihabisi begitu saja. Lalu ada penculikan aktivis 1997-1998, di mana orang-orang yang vokal melawan pemerintahan tiba-tiba menghilang. Beberapa ada yang kembali dalam keadaan trauma, tapi sebagian lagi nggak pernah ditemukan sampai sekarang. Terus ada Tragedi Trisakti dan Semanggi, di mana mahasiswa yang turun ke jalan menuntut reformasi justru ditembaki aparat. Sampai sekarang, kita masih bisa lihat wajah mereka di mural, di kaus-kaus perlawanan, sebagai pengingat bahwa keadilan untuk mereka nggak pernah benar-benar datang.
Tapi kalau kalian masih inget semua ini? Wah, kalian kampungan!
Karena orang modern harusnya lupa. Orang modern harusnya percaya aja kalau revisi ini nggak akan bikin sejarah kelam itu terulang. Orang modern harusnya diam dan dengerin pejabat yang bilang “Ini demi kepentingan nasional.”
Karena kalau kalian masih mikir tentara harusnya fokus di pertahanan, bukan malah ngurus kementerian dan hukum sipil, siap-siap aja buat dicap kampungan. Kalau kalian masih berani protes kalau ada kasus pelanggaran HAM yang nggak selesai, siap-siap juga dibilang kampungan. Dan jangan kaget kalau nanti, di buku pelajaran sejarah, semua yang terjadi di era Orde Baru tiba-tiba hilang. Kan, kalau masih inget sejarah… dibilang kampungan! (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)
Info Tambahan
RUU TNI menambah lima instansi yang bisa diduduki prajurit aktif, sehingga jumlahnya jadi 14 dari sebelumnya hanya 9.
- Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
- Kementerian Pertahanan, termasuk Dewan Pertahanan Nasional
- Kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden
- Badan Intelijen Negara
- Badan Siber dan/atau Sandi Negara
- Lembaga Ketahanan Nasional
- Badan Search And Rescue (SAR) Nasional
- Badan Narkotika Nasional
- Mahkamah Agung
- Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
- Badan Penanggulangan Bencana
- Badan Penanggulangan Terorisme
- Badan Keamanan Laut
- Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer)