Kurikulum AI: Seperti Meminta Petani Bertani dengan Drone
Visi Besar di Atas Realitas Yang Rapuh

Wacana memasukkan AI ke dalam kurikulum terdengar visioner, tapi saat sekolah masih kekurangan listrik dan guru belum siap, ia lebih mirip simbol pencitraan ketimbang solusi nyata.
Ketika Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melempar wacana kurikulum AI ke ruang-ruang kelas, publik disuguhi narasi yang terdengar visioner dan penuh semangat zaman. Di permukaan, ini tampak seperti terobosan — menandai kepemimpinan muda yang tanggap terhadap masa depan digital. Namun jika dicermati lebih dalam, kebijakan ini mengandung ironi yang tak bisa diabaikan: upaya membangun citra progresif, tapi tak berpijak pada tanah keras realitas pendidikan nasional. Dalam konteks di mana banyak sekolah masih kekurangan listrik, internet, dan bahkan guru tetap, gagasan ini terdengar lebih sebagai pertunjukan simbolik daripada langkah solutif. Ibarat meminta petani bertani dengan drone, padahal bajak sapi pun belum tersedia.
Pendidikan, sejak lama, telah menjadi ladang uji coba bagi berbagai ide besar. Kurikulum di Indonesia telah berganti berkali-kali, dari CBSA ke KBK, KTSP, Kurikulum 2013, hingga Merdeka Belajar. Tapi akar masalahnya tetap tidak tersentuh secara tuntas: mutu guru yang timpang, ketidaksamarataan fasilitas antarwilayah, rendahnya kemampuan literasi dasar, dan sistem evaluasi yang tak kunjung membina nalar. Dalam sejarah kebijakan pendidikan kita, ide-ide baru kerap lebih cepat diumumkan ketimbang disiapkan.
Dan tampaknya, pola itu kini terulang. Wacana AI muncul bukan sebagai hasil dari diskusi panjang lintas pemangku kepentingan, melainkan sebagai pernyataan sepihak yang dilempar ke publik dalam sebuah acara. Tidak terdengar dialog terbuka dengan organisasi profesi guru, perguruan tinggi penyedia tenaga pendidik, atau komunitas pendidikan akar rumput. Tidak ada peta jalan yang jelas, tidak ada transparansi tentang bagaimana ini akan diterapkan, apalagi anggaran dan pelatihan yang menyertainya. Di mana posisi para guru dalam diskusi ini? Bagaimana kesiapan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) untuk melahirkan guru AI dalam hitungan bulan? Semua tampak senyap, kecuali buzz yang dihasilkan oleh media.
Inilah yang dalam kacamata komunikasi politik bisa dibaca sebagai manuver pencitraan progresif. Gibran, sebagai wakil presiden termuda dan tokoh yang kerap diposisikan sebagai wajah baru politik nasional, tampak tengah membangun narasi kepemimpinan yang modern, akrab dengan teknologi, dan responsif terhadap masa depan. Padahal, Gibran tidak datang dari latar belakang pendidikan atau teknologi — ia lulusan marketing — dan sebagai wakil presiden, ia bukan pengambil kebijakan langsung di sektor pendidikan. Tetapi dalam pencitraan seperti ini, substansi kerap dikorbankan demi kesan. Gagasan besar itu menjadi semacam kosmetik kebijakan — memberi kilau, namun tidak menyentuh luka.
Sementara itu, data pendidikan kita menunjukkan bahwa luka itu masih menganga. Hasil PISA 2022 menempatkan Indonesia di posisi memprihatinkan: lebih dari 70% siswa tidak mencapai kompetensi minimum dalam membaca dan matematika. Ini bukan sekadar angka. Ini cermin dari kenyataan bahwa jutaan siswa belum mampu memahami bacaan secara utuh atau mengerjakan soal logika dasar. Literasi digital, apalagi AI, hanya akan menjadi jargon kosong bila literasi dasar masih terseok-seok.
Lebih dari itu, kondisi sekolah di banyak daerah masih jauh dari siap menghadapi kebijakan semacam ini. Sekolah di kota mungkin sudah memiliki laboratorium komputer. Tapi bagaimana dengan sekolah di pelosok yang bahkan untuk mencetak tugas pun harus antre karena hanya ada satu printer untuk seluruh siswa? Data dari Kemendikbud menunjukkan bahwa lebih dari 40% sekolah belum memiliki koneksi internet stabil. Belum lagi soal kapasitas guru yang selama ini menjadi momok tersendiri: tidak sedikit guru bahkan belum pernah mendapat pelatihan dasar penggunaan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), apalagi memahami konsep machine learning atau etika teknologi.
Dalam konteks seperti ini, mewacanakan kurikulum AI bisa menciptakan dampak paradoks: bukannya mendorong kemajuan kolektif, ia justru memperlebar kesenjangan antara sekolah-sekolah unggulan dan sekolah-sekolah yang tertinggal. Yang satu bisa langsung melompat, yang lainnya bahkan belum berdiri. Pendidikan seharusnya menyatukan, bukan memisahkan.
📊 1. Tabel Kontras: Ambisi vs Realitas Pendidikan
Aspek | Wacana AI dalam Kurikulum | Realitas di Lapangan |
Inisiatif | Pelajaran AI masuk SD–SMA mulai 2025 | Belum ada roadmap, kurikulum, atau pelatihan |
Infrastruktur | Butuh komputer, internet, software pendukung | 40% sekolah belum memiliki internet stabil |
Kesiapan Guru | Harus memahami AI & teknologi digital | Sebagian besar belum pernah ikut pelatihan TIK |
Kebutuhan Dasar Siswa | Siap menghadapi era digital | 70% belum mencapai standar literasi & numerasi |
Persepsi Pemerintah | Citra modern dan masa depan | Minim partisipasi publik & kajian mendalam |
Lalu muncul pertanyaan mendasar: mengapa gagasan sebesar ini diumumkan begitu ringan, tanpa kerangka kebijakan yang matang? Jawabannya mungkin ada dalam logika komunikasi politik kontemporer— di mana persepsi publik bisa dibentuk lebih cepat daripada realitas. Di era pasca-kebenaran (post-truth), kemampuan menyampaikan pesan sering kali lebih menentukan daripada isi pesan itu sendiri. Narasi “pemimpin muda yang mendorong AI ke sekolah” terdengar hebat di media sosial, headline media, dan ruang-ruang diskusi digital. Tapi pertanyaannya tetap sama: siapa yang akan mengajar? Di mana infrastrukturnya? Apa konsekuensinya bagi siswa dan guru?
Tanpa partisipasi, kebijakan hanya menjadi poster. Tanpa riset, ia menjadi eksperimen yang sembrono. Tanpa empati terhadap kondisi di lapangan, ia menjadi pertunjukan politik yang dingin.
Padahal kita tahu, kebutuhan pendidikan hari ini masih berkisar pada hal-hal yang sangat mendasar: memperbaiki kualitas pengajaran, meningkatkan literasi dan numerasi, membangun fasilitas pendidikan yang layak, dan menghormati guru sebagai pilar peradaban. AI mungkin bagian dari masa depan, tapi bukan prioritas hari ini. Dan tanpa fondasi yang kuat, masa depan itu hanya akan dibangun di atas rapuhnya realita.
📈 2. Tabel Prioritas Pendidikan Nasional (berdasarkan data dan urgensi)
Isu Pendidikan | Status Saat Ini | Urgensi |
Literasi dan Numerasi | PISA 2022: 70% siswa di bawah standar | Sangat tinggi |
Kualitas Guru | Banyak belum tersertifikasi atau dilatih | Tinggi |
Fasilitas Pendidikan | Ketimpangan tajam antara kota & desa | Tinggi |
Kurikulum Relevan | Sering berganti, belum menyentuh akar masalah | Tinggi |
Integrasi AI | Belum ada kesiapan sistemik | Rendah saat ini |
Akhirnya, kita sampai pada satu titik refleksi: apakah pendidikan akan terus menjadi panggung untuk menunjukkan betapa modernnya pemerintah, atau benar-benar menjadi ladang di mana setiap anak Indonesia bisa tumbuh, belajar, dan berpikir dengan merdeka? Pilihan itu selalu ada. Tapi ia menuntut kebijakan yang berpihak, bukan sekadar kesan yang canggih — apalagi jika hanya untuk memuaskan dahaga pencitraan. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)