Makan [Bergizi] [Beracun] Gratis
Yang gratis tak selalu membawa berkah. Kadang, ia datang bersama mual, muntah, dan ruang IGD.
Makan siang adalah momen yang ditunggu-tunggu di sekolah. Di tengah deretan bangku panjang, anak-anak menyambut nampan nasi dengan senyum dan rasa penasaran: hari ini lauknya apa? Tapi di beberapa daerah, makan siang itu tak berujung kenyang. Ia berujung panik, muntah, dan ambulans. Program Makan Bergizi Gratis yang semestinya menjadi jawaban atas masalah gizi dan stunting, justru menghadirkan ironi paling getir: makan bergizi, tapi berisiko keracunan.
Pemerintah menyebut program ini sukses besar. Bahkan Presiden mengklaim tingkat keberhasilannya 99,99 persen, lebih presisi dari banyak uji laboratorium. Tapi di banyak tempat, yang tersisa bukan statistik, melainkan bau anyir dari nasi basi, nampan MBG yang ditinggalkan terburu-buru, dan anak-anak yang tergeletak di ruang UKS. Apa arti satu persen kegagalan jika menyangkut nyawa dan kepercayaan publik? Apa arti kata “gratis” jika dibayar dengan rasa takut?
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) muncul sebagai jawaban atas persoalan nyata yang dihadapi banyak keluarga di Indonesia. Angka stunting yang tinggi, kesenjangan akses gizi antarwilayah, serta kondisi ekonomi yang membuat sebagian rumah tangga kesulitan menyediakan makanan sehat untuk anak-anak mereka. Pemerintah ingin hadir bukan sekadar sebagai pembuat kebijakan, tapi sebagai penyedia langsung kebutuhan dasar. Makan siang di sekolah pun menjadi simbol hadirnya negara dalam kehidupan sehari-hari rakyat kecil.
Menurut data resmi Badan Gizi Nasional, hingga pertengahan Agustus 2025 MBG telah menjangkau sekitar 20 juta orang. Pemerintah juga menargetkan mencapai 82,9 juta penerima manfaat sebelum akhir tahun. Tapi di satu sisi angka‑angka ini terdengar megah; di sisi lain, kasus keracunan terus muncul, seperti gelombang kecil yang mengganjal klaim keberhasilan.
Secara ide, sulit untuk tidak mengapresiasi inisiatif ini. Negara yang memberi makan anak-anaknya adalah negara yang mengerti pentingnya investasi jangka panjang. Namun seperti banyak inisiatif baik di negeri ini, niat mulia tidak selalu bertemu dengan pelaksanaan yang baik pula. Di banyak tempat, program MBG dijalankan dengan terburu-buru, diawasi setengah hati, dan dikawal oleh sistem yang lebih sibuk memenuhi target daripada menjaga mutu. Padahal, dapur negara seperti jantung: ia tak boleh berdetak asal-asalan.
Tak butuh waktu lama, berita tentang siswa yang mual, muntah, bahkan dilarikan ke rumah sakit mulai muncul dari berbagai daerah. Semuanya punya satu benang merah: makanan yang disajikan dalam program negara, justru menjadi sumber petaka bagi penerimanya. Sementara itu, suara dari pusat tetap terdengar percaya diri: “Kasusnya kecil, keberhasilan program mencapai 99,99 persen.”
Di atas kertas, sistem pendukung program MBG tampak rapi. Ada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), dapur umum yang tersebar di berbagai titik, pengelolaan bahan pangan, serta distribusi yang diawasi dengan standar. Tapi di lapangan, gambaran ideal itu cepat sekali berubah menjadi daftar panjang keganjilan.
Lebih dari lima ribu titik dapur terdaftar, tapi tak pernah benar-benar dibangun. Dalam istilah yang digunakan oleh seorang legislator: dapur-dapur itu “fiktif”. Ada yang mendaftarkan lokasi hanya untuk “mengunci titik”, lalu menjualnya pada pihak lain. Di beberapa tempat, dapur dibangun seadanya, tanpa fasilitas memadai, dan tanpa prosedur kebersihan yang layak. Semangat memberi makan anak-anak negeri berubah menjadi celah bagi pengumpulan keuntungan pribadi.
Dan ketika dapur betulan beroperasi, masalah tak serta-merta hilang. Di beberapa lokasi, aparat menemukan nasi yang basi dan lauk berbelatung. Ratusan siswa mengalami gejala keracunan setelah menyantap menu MBG. Di sekolah lain, makanan dikemas terburu-buru, lauk bercampur dengan buah, dan nasi berbau asam. Semua itu bukan soal selera, tapi soal kelalaian yang nyata.
Di warteg pinggir jalan, nasi bungkus sederhana bisa menggugah selera dan aman disantap. Tapi di sekolah, nasi dari negara justru bikin anak muntah. Apa yang hilang di antara niat baik dan eksekusi?
Bahkan nampan makan yang digunakan di beberapa sekolah sempat dipertanyakan, setelah muncul dugaan bahwa tray impor itu dibuat dengan pelumas berbasis lemak babi, sebuah indikasi betapa lemahnya pengawasan dari hulu ke hilir.
Tapi semua keganjilan itu, dari dapur yang kotor hingga tray yang dipertanyakan, seolah tak mengubah nada optimis di pusat kekuasaan.
Anehnya, semakin banyak kabar buruk yang muncul, semakin nyaring pula klaim keberhasilan dari atas. Data korban dianggap tak signifikan. Masalah dikemas sebagai “kasus lokal”. Padahal rasa sakit selalu dirasakan secara personal, bukan dalam bentuk persentase.
Tapi apa yang disebut “kasus lokal” itu tak pernah berdiri sendiri. Ia berakar pada realitas di lapangan yang jauh dari ideal. Salah satu sumbernya adalah siapa yang menjalankan dapur, dan untuk tujuan apa.
Ada yang membangun dapur karena panggilan nurani, ingin terlibat dalam program besar yang membawa perubahan. Tapi tak sedikit pula yang melihat MBG sebagai peluang bisnis: proyek negara yang bisa dimasuki dengan proposal yang tepat, koneksi yang akurat, dan janji produksi cepat.
Di beberapa daerah, pengelolaan dapur justru jatuh ke tangan mereka yang tak memiliki pengalaman dalam pengolahan makanan berskala besar. Yang penting bisa belanja cepat, masak cepat, distribusi cepat. Mutu dan kebersihan menjadi variabel sekunder, sesuatu yang bisa dinegosiasikan demi efisiensi. Sebagian bahkan dikabarkan menggunakan bahan makanan kualitas rendah demi menekan biaya. Di Kalibata, DKI Jakarta, sebuah dapur umum akhirnya berhenti beroperasi setelah biaya operasionalnya mencapai hampir satu miliar rupiah. Beban besar itu membuat banyak pengelola memilih jalan pintas.
Dalam tekanan itu, yang sering dikorbankan adalah yang tak bisa bersuara: anak-anak sekolah yang menerima makanan seadanya. Ada sekolah yang mengeluh soal lauk yang tak lengkap. Di tempat lain, nasi datang dingin, lauk tercampur, dan kadang tidak cukup untuk semua siswa. Semuanya tetap jalan karena sistem lebih sibuk menghitung porsi daripada menjamin kualitas.
Dan ketika ada yang jatuh sakit, tanggung jawab justru dilempar ke banyak arah. Kadang ke dapur, kadang ke supplier, kadang ke sekolah, bahkan pernah ke orang tua. Di salah satu sekolah, orang tua diminta menandatangani surat “tidak akan menuntut” jika anaknya mengalami efek samping dari makanan MBG. Sebuah dokumen yang menyimpan lebih banyak kecemasan birokrasi daripada perlindungan bagi anak.
Di Blora, sempat beredar surat perjanjian antara pengelola dan sekolah yang menyebut bahwa jika terjadi keracunan, pihak sekolah diminta untuk merahasiakan informasi itu sampai solusi ditemukan. Bahkan memotret makanan yang bermasalah pun dilarang. Meski akhirnya direvisi, jejak awal itu memperlihatkan refleks birokrasi yang lebih cepat menutup mulut daripada memperbaiki dapur.
Dalam ribuan kasus keracunan yang tersebar dari berbagai daerah, belum satu pun pejabat yang dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Tidak ada nama yang disebut sebagai tersangka, tidak ada vonis yang dijatuhkan. Semua mengalir dalam jalur administratif: dinas kesehatan menurunkan tim, dapur diminta evaluasi, SPPG diberi peringatan, dan korban diarahkan ke BPJS.
Dan justru dalam kekosongan tanggung jawab itulah, muncul narasi resmi yang terasa semakin jauh dari kenyataan.
Ketika tanggung jawab menjadi samar, publik tak tahu harus percaya pada siapa. Program besar ini tampaknya digerakkan oleh banyak tangan, tapi tak satu pun yang mau benar-benar menggenggam tanggung jawab ketika terjadi kesalahan. Semua merasa hanya “melaksanakan perintah”, “sesuai prosedur”, atau “sudah sesuai juknis”. Dan ketika Presiden menyebut bahwa kasus keracunan hanya terjadi pada “200 dari 3 juta penerima manfaat”, dengan tingkat keberhasilan yang diklaim mencapai 99,99 persen, publik seolah diajak mengabaikan fakta di lapangan.
Statistik memang tenang, tapi luka selalu berteriak. Statistik bisa memudahkan keputusan politik, tapi ia tidak bisa meredam keresahan sosial. Karena pada akhirnya, kepercayaan publik tidak dibangun di atas persentase, melainkan pada perasaan bahwa negara benar-benar menjaga mereka, terutama yang paling rentan.
Rakyat bisa menerima kekurangan, tapi mereka sulit menerima ketidakjujuran. Yang diminta bukan kesempurnaan, tapi rasa hormat, bahwa keluhan anak yang muntah tak diredam oleh persentase.
Makan bukan sekadar gizi, tapi juga janji. Ia adalah bentuk paling sederhana dari perhatian, kasih sayang, dan kepedulian. Dalam konteks negara, makan siang di sekolah bukan hanya soal protein dan kalori, tapi juga soal rasa aman. Bahwa makanan yang disediakan oleh negara adalah sesuatu yang bisa dipercaya, bukan sesuatu yang harus dicurigai.
Program Makan Bergizi Gratis semestinya menjadi penegasan bahwa negara tidak tinggal diam melihat warganya kekurangan gizi. Tapi ketika makanan itu datang dengan risiko keracunan, ketika dapur dikelola dengan motif untung semata, ketika pengawasan longgar dan tanggung jawab tak jelas, maka makna dari kehadiran negara pun ikut tergerus.
Negara ini tengah jatuh cinta pada kecepatan: cepat bangun dapur, cepat salur makanan, cepat klaim berhasil. Tapi memberi makan anak-anak bukan lomba lari. Ia butuh ketelatenan, bukan kecepatan semu.
Kita hidup di zaman di mana semua bisa dikerjakan dengan cepat, dilaporkan dengan instan, dan diklaim dengan percaya diri. Tapi gizi yang baik tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari kehati-hatian. Ia tumbuh dari dapur yang bersih, tangan yang jujur, dan sistem yang peduli. Bukan dari slogan, bukan dari angka.
Dan bila kita tidak bisa memberi makan dengan aman kepada anak-anak kita, lalu untuk apa sebenarnya semua ini?
Mungkin kita tak akan ingat lagi siapa yang pertama kali merancang program ini. Tapi anak-anak yang muntah karena makan gratis itu, mereka mungkin tak akan pernah lupa. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)