back to top

BIOGRAFI TERBARU

Continue to the category
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
More
    27.8 C
    Jakarta
    Populer Hari Ini
    Populer Minggu Ini
    Populer (All Time)
    Ultah Minggu Ini
    Lama Membaca: 3 menit
    Lama Membaca: 3 menit
    Lama Membaca: 3 menit
    Lama Membaca: 3 menit
    BeritaLorong KataMBG: Anak Sakit, Negara Santai

    MBG: Anak Sakit, Negara Santai

    Satu program, ribuan korban, nol permintaan maaf

    Lama Membaca: 3 menit

    Ketika ada yang jatuh sakit, negara bicara seolah yang terganggu hanya program, bukan nyawa.

    Bayangkan sebuah kereta besar, dibangun dalam waktu singkat. Jalurnya belum sepenuhnya diuji, rem daruratnya belum dipasang. Tapi karena semua penumpang sudah naik, ia tetap diberangkatkan. Ketika sebagian mulai merasa pusing, petugas menyarankan untuk duduk diam saja. Ketika ada yang jatuh sakit, jawabannya: tenang, nanti akan sembuh di stasiun berikutnya.

    Program makan bergizi gratis (MBG) berjalan dengan semangat yang serupa. Diluncurkan cepat, melibatkan jutaan anak, lalu kini menghadapi deretan laporan keracunan. Namun yang muncul dari pejabat bukan evaluasi menyeluruh, melainkan kalimat-kalimat ringan, bahkan ganjil.

    Bukan permintaan maaf atau penyelidikan terbuka yang terdengar, melainkan komentar tentang sendok, cuci tangan, dan alergi. Saat publik butuh kejelasan, yang datang justru penjelasan yang menciptakan jarak. Dalam krisis, kata-kata bukan sekadar alat komunikasi; ia mencerminkan keberpihakan. Dan ketika pejabat berbicara terlalu enteng, publik bertanya: apakah negara benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi?

    Presiden Prabowo Subianto menyebut keracunan bisa terjadi karena anak-anak tidak mencuci tangan atau tak memakai sendok. Ia menyinggung budaya makan dengan tangan. Di luar krisis, ini bisa jadi ajakan menjaga kebersihan. Tapi saat ratusan siswa jatuh sakit, kalimat semacam itu justru mengalihkan perhatian dari mutu makanan ke kebiasaan pribadi.

    Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menimpali: mungkin bukan keracunan, hanya alergi atau belum terbiasa. Ia lalu bercerita soal dirinya yang dulu diare karena minum susu. Pengalaman pribadi ini dijadikan pembanding untuk anak-anak yang harus dilarikan ke rumah sakit. Sebuah logika yang terlalu sempit untuk menjelaskan masalah sistemik.

    Dari Istana, sikap yang muncul tetap: program terus jalan. Keracunan dianggap insiden kecil dalam proyek besar. Tak ada pernyataan yang menunjukkan penyesalan, apalagi pengakuan atas kegagalan sistem. Pemerintah bahkan menegaskan MBG tidak akan dihentikan, meski ribuan kasus keracunan dilaporkan. Yang lebih penting tampaknya bukan evaluasi menyeluruh, melainkan keyakinan bahwa semua bisa diperbaiki sambil jalan.

    Di titik ini, masalahnya menjadi lebih terang. Bukan sekadar isi pernyataan, tapi logika di baliknya. Saat kata-kata lebih cepat membela program daripada mengakui kesalahan, muncul pola pikir yang mengabaikan tanggung jawab dan mengganti kepercayaan publik dengan narasi yang dibuat-buat.

    Anda Mungkin Suka

    Ini bukan soal kalimat yang kurang tepat. Yang dipertaruhkan adalah cara negara membaca krisis. Ketika penjelasan muncul sebelum penyelidikan, bukan kejelasan yang didapat, melainkan ketidaktepatan yang makin sulit diterima.

    Pertama, muncul kecenderungan menyalahkan korban. Saat anak yang keracunan disebut tidak mencuci tangan atau belum terbiasa makan sehat, tanggung jawab bergeser ke perilaku individu. Padahal yang dibahas adalah makanan yang diproduksi dan didistribusikan massal oleh negara. Dalam konteks seperti itu, sistemlah yang harus pertama kali diperiksa.

    Kedua, narasi yang muncul menjauh dari akar masalah. Tak ada yang menyebut pengawasan dapur, kualitas bahan, atau distribusi. Fokus justru dialihkan ke budaya dan kebiasaan, wilayah yang aman bagi pemerintah, tapi menjauh dari substansi.

    Ketiga, tidak ada transparansi. Data uji laboratorium tidak dibuka, hasil investigasi tidak jelas. Publik diminta percaya, tanpa diberi alasan untuk mempercayai.

    Keempat, keracunan mulai dinormalisasi. Dibingkai sebagai bagian dari proses belajar atau gangguan kecil dalam program besar. Padahal bagi siswa yang muntah dan dirawat, ini bukan sekadar insiden.

    Semua ini menunjukkan jauhnya pengambil keputusan dari lapangan. Kalimat seperti “belum terbiasa” atau “tidak pakai sendok” lahir dari ketidakhadiran. Tak ada kesan bahwa mereka pernah duduk bersama orang tua yang cemas, atau menyaksikan langsung anak-anak yang sakit.

    Nada yang muncul pun lebih mirip pembelaan citra ketimbang respons krisis. Humor yang diselipkan tidak meredakan, tapi menambah jarak. Lucu bagi pembicara, getir bagi rakyat.

    Satu pengecualian datang dari Wakil Kepala Badan Gizi Nasional, Nanik S. Deyang. Dengan suara bergetar, ia menyampaikan permintaan maaf dan menyebut dirinya sebagai seorang ibu yang sedih melihat anak-anak jatuh sakit. Ia mengakui adanya pelanggaran prosedur dan menjanjikan evaluasi. Tapi bahkan suara lirih itu tak cukup menggeser arah narasi: program tetap jalan, koreksi nanti.

    Dalam situasi genting, kata-kata pejabat jadi penanda: apakah negara hadir untuk bertanggung jawab, atau sekadar tampil agar terlihat hadir. Masyarakat tak menuntut pemerintah selalu benar. Tapi mereka berharap negara tahu kapan harus diam, kapan minta maaf, dan kapan berbicara dengan hati-hati.

    Di tengah anak-anak yang jatuh sakit, yang dibutuhkan bukan pembelaan yang kering, melainkan keberanian untuk mengakui: ada yang salah, dan itu harus diperbaiki.

    Ketika negara belum bisa menjamin makanan yang aman, setidaknya ia bisa memastikan bahwa kata-katanya masih bisa dipercaya. Kadang, satu kalimat jujur lebih menenangkan daripada seribu penjelasan yang terburu-buru, apalagi penjelasan yang nir empati. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

    - Advertisement -Kuis Kepribadian Presiden RI
    🔥 Teratas: Habibie (26.1%), Gusdur (17%), Jokowi (14.4%), Megawati (11.7%), Soeharto (11.2%)

    Populer (All Time)

    Terbaru

    Share this
    Share via
    Send this to a friend