Ngawur Tapi Nyata: Logika Terbalik Pejabat Publik

Celana 33, Janda Kaya, dan Gaji 15 Juta

0
19
Ngawur Tapi Nyata: Logika Terbalik Pejabat Publik
Ada yang berdiri di podium, tapi nalar publik yang jungkir balik
Lama Membaca: 4 menit

Di negeri ini, logika kadang terasa seperti barang bekas: dilipat, dibolak-balik, lalu dijual ulang dalam bentuk pernyataan resmi. Pernikahan disebut sebagai solusi kemiskinan. Ukuran celana jadi alat ukur kesehatan. Kepala babi dianggap cukup ditanggapi dengan dimasak saja. Yang membuat tercengang, semua itu keluar dari mereka yang seharusnya berbicara dengan nalar paling waras. Tapi mungkin justru di situlah letak masalahnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, ruang publik kita kerap dihiasi pernyataan dari tokoh pemerintah yang alih-alih masuk akal justru membingungkan secara logis. Ada yang bilang hanya bercanda, ada pula yang dianggap salah ucap, namun banyak juga yang diucapkan di forum resmi dengan wajah serius dan nada meyakinkan.

Tidak semuanya ditanggapi serius, tapi reaksi publik tak pernah sepi, dari tawa geli, kebingungan, hingga amarah. Karena yang berbicara bukan orang biasa, melainkan pejabat yang ucapannya bisa membentuk cara berpikir dan memengaruhi arah kebijakan.

Salah satu yang paling diingat adalah pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, yang menyarankan agar orang kaya menikahi orang miskin sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan. Di atas kertas, pernyataan itu mungkin berniat menunjukkan perlunya kolaborasi lintas kelas. Tapi yang muncul di benak banyak orang adalah pertanyaan: apakah penyelesaian kemiskinan bisa dilakukan melalui hubungan personal? Bukankah masalah struktural perlu diselesaikan dengan pendekatan kebijakan dan pemerataan akses ekonomi?

Pernyataan bernada serupa datang dari Suswono, calon Wakil Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2024, yang dalam sebuah forum kampanye menyarankan agar janda kaya menikah dengan pemuda pengangguran. Pernyataan itu muncul sebagai tanggapan atas pertanyaan publik mengenai bantuan sosial bagi janda. Ia menyebut kisah pernikahan Nabi Muhammad dan Khadijah sebagai inspirasi. Reaksinya tidak kalah heboh. Karena di balik kesan humorisnya, ada kesan menyederhanakan persoalan pengangguran dan ketimpangan ekonomi menjadi sekadar soal pasangan hidup. Apakah pemuda pengangguran butuh jodoh, atau justru kesempatan kerja dan pelatihan?

Kita juga masih mengingat pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, yang menyebut bahwa “kalau dia enggak sehat dan pintar, tidak mungkin gajinya lima belas juta.” Pernyataan ini dimaksudkan untuk menekankan pentingnya kesehatan dan pendidikan dalam mendukung produktivitas. Tapi jika ditarik secara logika, pernyataan itu justru menyiratkan hal sebaliknya: mereka yang bergaji rendah dianggap kurang sehat atau kurang pintar. Padahal, banyak orang yang sehat, cerdas, dan bekerja keras tetap hidup dalam penghasilan pas-pasan. Bukan karena mereka kurang berkualitas, tapi karena sistem belum memberi mereka kesempatan yang sama.

Dari isu gaji, Menkes Budi juga pernah mengaitkan ukuran celana jeans dengan risiko kematian. Dalam sebuah acara, ia menyatakan bahwa pria dengan ukuran celana di atas 33 berisiko lebih cepat “menghadap Yang Maha Kuasa.” Barangkali maksudnya adalah risiko obesitas. Tapi menyampaikan pesan kesehatan lewat ukuran celana bisa menjadi kontraproduktif. Standar ukuran pakaian tidak seragam, dan tubuh manusia tidak bisa direduksi ke dalam angka semata. Pernyataan ini lebih memancing canda daripada edukasi.

Presiden Joko Widodo juga pernah membuat pernyataan yang memicu perdebatan, ketika di awal pandemi COVID-19 ia membedakan antara “mudik” dan “pulang kampung.” Dalam konteks larangan bepergian, penjelasan ini tidak cukup membedakan kedua istilah secara praktis. Sebab, baik mudik maupun pulang kampung tetap berarti perpindahan massa yang bisa memperbesar risiko penularan. Bagi sebagian orang, pernyataan itu dianggap sebagai upaya pembenaran kebijakan yang berubah-ubah. Di tengah krisis, masyarakat menanti kepastian, bukan sekadar permainan istilah.

Masih dalam wilayah logika yang sulit dicerna, Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi’i pernah menyatakan bahwa permintaan THR oleh ormas ke pelaku usaha merupakan bagian dari “budaya lebaran.” Ini disampaikan saat muncul keluhan dari pelaku usaha soal pungutan yang tidak resmi namun kerap terjadi di masa menjelang Idul Fitri. Menyebutnya sebagai budaya bisa jadi berbahaya, karena justru memberi pembenaran pada praktik yang memberi tekanan sosial, bahkan dianggap memberatkan oleh sebagian pelaku ekonomi kecil. Budaya seharusnya tumbuh dari nilai-nilai bersama, bukan dari rasa takut menolak.

Di sisi lain, saat kantor media Tempo mendapat kiriman kepala babi sebagai bentuk teror, Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menanggapi dengan kalimat singkat, “Sudah, dimasak saja.” Entah itu upaya meredakan ketegangan, atau sekadar humor gelap, pernyataan ini dianggap tidak peka terhadap seriusnya ancaman terhadap kebebasan pers. Tugas komunikasi pemerintah semestinya menunjukkan keberpihakan terhadap prinsip demokrasi, bukan sekadar merespons dengan candaan.

Advertisement

Yang tidak kalah mengherankan adalah pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, yang menyebut bahwa poligami bisa menjadi solusi untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Di mata publik kesehatan, ini adalah bentuk simplifikasi yang berbahaya. HIV adalah persoalan kompleks yang butuh pendekatan berbasis data, edukasi yang konsisten, dan akses layanan kesehatan. Mengaitkannya dengan model pernikahan tidak menyelesaikan akar masalah dan justru bisa menyesatkan pemahaman masyarakat.

Beragam pernyataan ini mungkin terdengar berbeda, tapi pola dasarnya sama: menyederhanakan persoalan besar dengan jawaban yang tampak praktis, tapi tak masuk akal. Persoalan kemiskinan diselesaikan dengan pernikahan. Isu kesehatan dijelaskan lewat ukuran celana. Ketimpangan ekonomi dijawab dengan candaan soal THR. Dan ancaman terhadap media disikapi seperti lelucon.

Kadang-kadang, sulit membedakan mana yang serius dan mana yang tidak. Ucapan resmi terdengar seperti celotehan warung kopi. Isi pidato mirip-mirip dengan pesan di grup WhatsApp keluarga. Tapi karena datang dari yang berwenang, semua harus dipahami sebagai maksud baik. Atau minimal, dimaklumi.

Barangkali ini memang era baru komunikasi publik. Di mana angka di slip gaji bisa jadi ukuran kepintaran, dan ukuran celana jadi indikator risiko hidup. Tempat di mana jodoh dijadikan solusi pengentasan kemiskinan, dan kepala babi cukup dijawab dengan resep masakan.

Mungkin semua ini hanya salah paham. Atau mungkin justru kita yang belum cukup pintar untuk menangkap makna di balik pernyataan para pejabat. Mungkin juga, logika zaman sekarang sudah berganti format dan kita yang belum mengunduh pembaruan versinya.

Tapi ya sudahlah. Selama semua ini masih bisa dibicarakan dengan nada datar dan kepala dingin, mungkin tandanya nalar kita belum benar-benar hilang. Meski kadang, terasa… mulai goyah. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

1 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments