[NASIONAL] – – Jakarta TI (9/2/2011) | Bubarkan organisasi masyarakat (Ormas) yang melakukan kekerasan atas nama agama dan melanggar Pancasila. Sikap tegas ini dikemukakan Dosen Fakultas Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, M Subhi Ibrahim dalam keterangan pers bersama Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan di Energy Building, Jakarta, Rabu (9/2/2011). Sementara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan aparat penegak hukum agar mencari jalan secara sah dan legal untuk membubarkan organisasi massa perusuh ataupun kerumunan massa pembuat kerusuhan.
Presiden mengingatkan agar kerukunan antarumat beragama dijaga. “Jika ada kelompok atau organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi kekerasan yang tak hanya meresahkan masyarakat luas, tetapi nyata-nyata banyak menimbulkan korban, penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah atau legal, jika perlu dilakukan pembubaran atau pelarangan,” kata Presiden pada peringatan Hari Pers Nasional Ke-65 di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (9/2/2011).
Penegasan lebih mendasar dikemukakan Universitas Paramadina. Tidak hanya menyebut Ormas dan kerumunan massa perusuh, tetapi dengan tegas menyebut Ormas yang melakukan kekerasan atas nama agama dan melanggar Pancasila. “Selain Pancasila, tambah M Subhi Ibrahim, organisasi-organisasi masyarakat harusnya juga menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara. Universitas Paramadina dengan tegas berprinsip pada tata nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.
Subhim Ibrahim menegaskan memang sebenarnya ormas itu ada aturannya sendiri, tapi ketika ormas itu melanggar Undang-undang, melanggar Pancasila, ormas itu layak untuk dibubarkan! Menurutnya, negara harus mempunyai ketegasan untuk mengusut ormas-ormas yang melakukan tindak kekerasan. Selama ini, menurut penilaian Ibrahim, pemerintah justru melakukan pembiaran terhadap ormas dengan label agama yang punya potensi tindak kekerasan. Dia berharap agar negara punya ketegasan untuk melihat track record dari ormas-ormas itu. “Kita lihat selama ini ada pembiaran terhadap organsiasi yang punya potensi untuk melakukan kekerasan itu,” ujarnya.
Subhim Ibrahim menegaskan memang sebenarnya ormas itu ada aturannya sendiri, tapi ketika ormas itu melanggar Undang-undang, melanggar Pancasila, ormas itu layak untuk dibubarkan! Menurutnya, negara harus mempunyai ketegasan untuk mengusut ormas-ormas yang melakukan tindak kekerasan. Selama ini, menurut penilaian Ibrahim, pemerintah justru melakukan pembiaran terhadap ormas dengan label agama yang punya potensi tindak kekerasan. Dia berharap agar negara punya ketegasan untuk melihat track record dari ormas-ormas itu. “Kita lihat selama ini ada pembiaran terhadap organsiasi yang punya potensi untuk melakukan kekerasan itu,” ujarnya.
Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, menimpali ketidaktegasan itu juga menular. “Di level yang paling bawah, aparat tidak bisa tangani kekerasan seperti ini, malah justru ada pembiaran. Kejadian kekerasan pun menular, dari Banten, lalu Temanggung. Ini karena tersangkanya tidak ditangkap,” kata Anies. Menurut Anies Baswedan, perbedaan pandangan agama sudah terjadi sejak zaman dulu dan bukan menjadi hal baru. Namun, lanjutnya, jika pandangan itu ditunjukkan dengan kekerasan, negara harus melakukan intervensi dan ketegasan untuk mengusutnya. “Jika ada orang yang hidup berpandangan ekstrimisme dalam agama silakan, asal tidak melakukan kekerasan pada orang lain. Jika tidak, negara yang harusnya intervensi untuk mencegah kekerasan,” kata Abies.
Ormas Perusuh
Sementara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan Hari Pers Nasional Ke-65 di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (9/2/2011) memerintahkan aparat penegak hukum agar mencari jalan secara sah dan legal untuk membubarkan organisasi massa perusuh ataupun kerumunan massa pembuat kerusuhan. Sebab, menurut Presiden, demokrasi bukanlah hutan rimba, tetapi harus ada aturan mainnya.
Presiden juga berpesan agar kerukunan antarumat beragama dijaga. “Jika ada kelompok atau organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi kekerasan yang tak hanya meresahkan masyarakat luas, tetapi nyata-nyata banyak menimbulkan korban, penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah atau legal, jika perlu dilakukan pembubaran atau pelarangan,” kata Presiden. Presiden merasa prihatin terhadap kasus kekerasan atas nama agama, sebagaimana terjadi di Kabupaten Pandeglang, Banten, dan Temanggung, Jawa Tengah dalam minggu ini. “Kalau ini kita biarkan, Indonesia bisa setback, mengalami kemunduran ke era sebelumnya pada 1998-2003. Karena konflik waktu itu sering terjadi dan di mana-mana dengan banyak korban. Untuk memulihkannya butuh waktu bertahun-tahun,” katanya.
Presiden menegaskan, meski dalam era demokrasi kita menjunjung tinggi kebebasan berbicara dan berkumpul, kita tak boleh memberikan ruang untuk melakukan serangan, bahkan pembunuhan. Semua jelas pelanggaran hukum. “Saya telah perintahkan polisi dan komando teritorial untuk bertindak all out dan menangkap semua pihak yang terlibat. Polisi harus berani mengungkap siapa dalang di balik kasus ini dan memberikan sanksi hukum setimpal,” tegas Presiden.
Lalu, selepas acara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menjelaskan, pernyataan Presiden itu tidak mengarah pada kelompok organisasi tertentu. Jika ada kelompok masyarakat atau organisasi apa pun yang melanggar UU, harus dibubarkan.Menko Polhukammengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan empat instruksi terkait kerusuhan yang terjadi di Temanggung, Jawa Tengah. Empat instruksi presiden tersebut, di antaranya pihak kepolisian, khususnya Kepolisian Daerah Jawa Tengah segera mengusut kerusuhan itu, mencari dan menangkap para pelaku tindakan pengusakan dan anarkis, dan diproses sesuai hukum yang berlaku. Juga menginstruksikan kepada seluruh kepala daerah dan aparat TNI dan kepolisian untuk melakukan tindakan deteksi dan pencegahan dini serta menindak tegas tindakan yang terjadi di luar kepatutan.
Sementara itu, Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan pemerintah tidak bisa membubarkan organisasi massa. Karena hal itu tak sejalan dengan prinsip kebebasan berekspresi. Menurutnya, yang bisa dilakukan pemerintah adalah memeriksa pimpinan organisasi massa yang mengusung aspirasi intoleran dan aktif melakukan kekerasan.
Kegagalan Sistemik
Sementara itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menilai sudah terjadi kegagalan sistemik semua pemimpin negara, sehingga kerusuhan seperti yang terjadi di Cikeusik dan Temanggung bisa terjadi. “Tidak ada determinasi lagi. Negara juga tidak berdaya untuk merespon. Ini yang saya sebut kegagalan sitemik,” ujar Jimly (Media Indonesia, Rabu 9/2/2011). Walaupun ada kegagalan sistemik, Jimly masih enggan membenarkan pemerintah telah gagal melindungi rakyatnya. “Belum gagal. Belum seseram yang dibayangkan,” imbuhnya.
Jimly melihat, kegagalan sistemik terlihat dari sikap pemimpin yang tidak mau dikritik. Pemimpin kita sekarang, menurut Jimly, kalau dikritik marah. “Sudah ada personifikasi jabatan dan personalisasi institusi. Kritik-kritik dianggap secara pribadi dan personal. Karena terlalu sibuk dengan personifikasi inilah akibatnya terjadi main hakim sendiri seperti yang terjadi di berbagai daerah,” katanya. Oleh karena itu, mantan anggota Watimpres itu menyatakan, perlu ada orang yang mampu menggerakkan pemerintahan secara tertib lagi.
Sementara itu, Ketua Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Muliawan Margadana, yang menyampaikan pernyataan bersama tokoh lintas agama di Jakarta, Rabu (9/2/2011), mengatakan kekerasan yang terjadi selama ini sistematis, polanya jelas, dan berjalan terus tanpa upaya tegas penegak hukum. Beberapa insiden kekerasan yang dilakukan kelompok massa kepada kelompok minoritas selain sistematis dan berpola, juga ada keganjilan lain yakni pembiaran oleh aparat penegak hukum atas tindakan main hakim sendiri tersebut.
Penilaian serupa dikemukakan jaringan tokoh muda lintas organisasi dan lintas agama Indonesia. Mereka menilai pemerintah telah membiarkan terjadi kekerasan yang merenggut nyawa warga negara dan merusak tempat ibadah akhir-akhir ini. Itu merupakan kejahatan karena merenggut hak hidup dan kebebasan beragama di Indonesia. Menurut tokoh muda Yudi Latif, dalam kasus Ahmadiyah, gejolak dan tanda kerusuhan sudah terdeteksi dan aparat sudah mengetahui itu beberapa hari sebelumnya. Sejumlah polisi juga datang ke lokasi kejadian. Namun, aparat tidak sungguh-sungguh mencegah, hanya melihat, bahkan sebagian malah menghindar saat ada penyerbuan.
Begitu pula di Temanggung, gejala kerusuhan sudah tercium intelijen polisi. Hukuman lima tahun bagi terdakwa penista agama Antonius Bawengan merupakan hukuman maksimal yang semestinya tak memicu ledakan amarah massa. Apalagi ada jarak waktu dan tempat antara gedung pengadilan dan gereja yang dibakar. Yudi mengemukakan keheranan: “Ada waktu untuk mencegah kekerasan dalam kasus Ahmadiyah dan Temanggung. Tetapi, aparat keamanan tidak mengantisipasinya.”
Sedangkan Menurut Haris Rusly dari Petisi 28, menilai pemerintah cenderung berwacana saja dalam mengatasi dua kasus itu ataupun kasus lain sebelumnya. “Saat kasus meledak Presiden sibuk mengutuk atau mengecamnya. Padahal, Presiden semestinya bertindak nyata,” katanya. Berita TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA