Paradigma Think Win/Win: Budi Gunawan Berkhidmat Pusaran Aliran Air
Budi Gunawan
Oleh Ch. Robin Simanullang
Pandangan para filsuf, cendekia dan orang-orang bijak perihal hikma (hikmah, hikmat, sofia, wisdom) sebagai filosofi kehidupan adalah belajar, bertumbuh dan berhikmat bagai aliran air (mencintai kearifan, kearifan tertinggi apa adanya) sepanjang hayat. Berhikmat dengan paradigma Think Win/Win dengan Pola Aliran Air berbasis karakter dimana (dalam konteks intelijen negara) setiap hari adalah hari informasi baru, hari pengetahuan baru, hari perang akal baru, hari kesetiaan baru, hari adaptasi baru, hari aliran baru, hari kemaslahatan baru, dan hari kearifan tertinggi baru; demi (lini pertama) keamanan nasional dan tujuan bersama masyarakat, bangsa dan negara, serta rahmat bagi seluruh komunitas dunia dan alam semesta. Berhikmat Rahmatan lil ’Alamin.
Dalam The Encyclopaedia of Islam (Edisi Baru, 1986) entri Hikma (wisdom) disebut dengan sangat agung dan inspiratif bahwa, hikma muncul sebagai konsepsi spiritual yang agung tentang dunia, menembus semua pengetahuan dalam jangkauan manusia, dan bahkan mencapai iman kepada Tuhan dalam wahyu. Ini melampaui falsafa yang hanya menunjukkan filsafat Helenistik; itu melampaui sains, ‘ilm: “Ilmu terdiri dari menangkap hal-hal yang dianggap oleh kecerdasan manusia untuk dipahami sedemikian rupa sehingga tidak ada kesalahan yang masuk ke dalamnya […] dan jika ini dilakukan melalui bukti tertentu dan demonstrasi aktual, ini disebut hikma” (‘Ahd, 143). Dengan membawa kejujuran mutlak, baik dalam pencariannya maupun dalam penerapannya; “Orang yang benar-benar bijaksana adalah dia yang, setelah membentuk opini atas suatu pertanyaan, berbicara kepada dirinya sendiri seperti kepada orang lain, yang menandakan bahwa dia telah mengatakan kebenaran dengan setia.”[1]
Kitab Amsal menyebut, hikmat lebih berharga dari pada permata, apapun yang diinginkan orang, tidak dapat menyamainya. Hikmat tinggal bersama-sama dengan kecerdasan, dan aku mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan. (Amsal 8:11-12 TB). Bijaksana (kebijaksanaan) adalah merupakan sifat kodrati manusia, yang dikembangkan oleh pengalaman dan ajaran. Meskipun demikian kebijaksanaan selaku pemberian diterima orang dari Tuhan. (Ayub 11:6; Mazm 32:8). Seperti halnya semua kebajikan intelektual senantiasa adalah praktis, bukan teoritis. Pada dasarnya hikmat adalah kepintaran (smart) mencapai hasil, menyusun rencana yang benar untuk memperoleh hasil yang dikehendaki. Plato menyebut, kebijaksanaan tertinggi seseorang (pemimpin, negarawan) adalah terpanggil untuk menetapkan tujuan yang ingin dicapai masyarakat sesuai visi negara dan berupaya mencapainya dengan menyederhanakan metode rumit secara efektif. Tempat kedudukannya ialah hati, pusat keputusan moral dan intelektual (bnd 1 Raj 3:9, 12).
Ensiklopedi Islam menjelaskan, Hikma (hikmah), kebijaksanaan, tetapi juga ilmu dan filsafat. Penggunaan kata tersebut pada zaman dahulu kemungkinan terjadi secara evolusi, yang didukung oleh arti dari bahasa Yunani σοφία (Sofia). Di sisi Arab murni al-Djurdjani, yang memberikan kata hukm arti utama “menetapkan sesuatu pada tempatnya” (Ta’rifat), dengan demikian menunjukkan rasa keseimbangan dan stabilitas yang ditemukan Leon Gauthier dan itu adalah cocok untuk mengekspresikan kekuatan dan maturitas (kedewasaan) kebijaksanaan.
Al-Qur’an menyebutnya al-hikma al-baligha, kebijaksanaan yang telah mencapai kedewasaannya. Ini menggunakan hikma berkali-kali dalam pengertian ‘kebijaksanaan’ saat ini, sebuah kebijaksanaan, bagaimanapun, yang menyiratkan pengetahuan tentang kebenaran spiritual yang tinggi. ‘Kitab dan hikmat’ bersama-sama sering merupakan satu pemberian; Hikmat diberikan kepada Daud, kepada Yesus, kepada Muhammad, bahkan kepada Lukman. Ini adalah aset besar yang terkait dengan gagasan kemurnian. Ta’rifat memahaminya tidak hanya dari setiap kata yang sesuai dengan kebenaran, yang mengandung makna ilmu, tetapi juga ilmu dan amal, ilmu yang halal dan haram, ilmu hukum agama, dan juga ilmu hukum rahasia yang melampaui pengetahuan umum, yaitu rahasia Dzat Ilahi. Kemudian al-hikma al-maskut ‘anha, “ilmu tentang siapa yang diam”.[2]
KBBI mengartikan hikmah: 1 kebijaksanaan (dari Allah); 2 sakti; kesaktian; 3 arti atau makna yang dalam; manfaat: wejangan yang penuh hikmah kebijaksanaan (dari Allah). Kita maknai, hikma (hikmah, hikmat, sofia, wisdom) dari Allah yang menjadi falsafah dan pedoman hidup: al-hikma al-baligha, kebijaksanaan yang telah mencapai kedewasaannya, sehingga berkekuatan membangun sumber daya batin (inner resources) yang menuntun seseorang (setiap orang) menjalani kehidupan lebih baik dan lebih bijaksana serta melahirkan karya-karya besar.
Dalam pandangan kita, dalam konteks mendalami perjalanan hidup Budi Gunawan, hikma itu berwujud, dalam paradigma Think Win/Win yang mengalir layaknya Aliran Air, hikmat empiris (melakoni dirinya layaknya air) berbasis etika karakter, antara lain berpuncak: Ketika Budi Gunawan memfasilitasi aliran langkah-langkah politik (pertemuan) Presiden Terpilih (petahana) Jokowi dengan Capres Prabowo Subianto seusai kontestasi (pusaran, persaingan) Pilpres 2019 yang terbilang ‘keras’. Rekonsiliasi hikmat ‘politik rangkul’ yang menjadi ‘persemaian’ benih kemenangan Pilpres 2024, saat Presiden Jokowi saling berangkulan dengan Prabowo (The Secret of ‘Embrace Politics’). Langkah pusaran aliran air Budi Gunawan di tengah rahasia langkah politik pribadi antara Jokowi dan Prabowo.
Budi Gunawan berhikmat dengan paradigma think win/win dan aliran air bukanlah hal yang baru. Seusai Pilpres 2004, dia menulis kolom bertajuk: A time to kill, a time to heal. Ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan. Judul yang dia ‘pinjam’ dari Lyle Pudilla, naskah miniseri perang Vietnam. Budi Gunawan menulis: “Di dalam bilik suara sebilah benda tajam kita hujamkan pada wajah putra-putri terbaik bangsa (maksudnya salah satu pasangan calon Pilpres 2004), dan kita pun menanggung beban untuk menyembuhkannya. Memang, pada akhirnya, di luar bilik itu, kita harus melupakan seluruh perseteruan, mengambil hikmahnya, untuk bersama membangun bangsa dan negara ini menuju hari depan yang lebih baik. Pilihan kita mungkin berbeda, namun tidak bagi harapan kita,” tulis Budi Gunawan dengan hikmat paradigma aliran air think win/win.[3]
Menurut Stephen R. Covey (2004) dalam The 7 Habits of Highly Effective People, kebiasaan kepemimpinan interpersonal yang efektif adalah Think Win/Win. Win/Win bukanlah sebuah teknik; itu adalah filosofi total interaksi manusia. Faktanya, ini adalah salah satu dari enam paradigma interaksi. Paradigma alternatifnya adalah Win/Lose, Lose/Win, Lose/Lose, Win, and Win/Win or No Deal (Menang/Kalah, Kalah/Menang. Kalah/Kalah, Menang, dan Menang/Menang, atau Tanpa Kesepakatan.[4]
Dijelaskan, Win/Win merupakan kerangka pikiran dan hati yang senantiasa mengupayakan saling menguntungkan dalam segala interaksi manusia. Win/Win artinya kesepakatan atau penyelesaian yang saling menguntungkan, saling memuaskan. Dengan solusi Win/Win, semua pihak merasa nyaman dengan keputusan tersebut dan merasa berkomitmen terhadap rencana aksi. Win/Win melihat kehidupan sebagai arena kooperatif, bukan arena kompetitif. Kebanyakan orang cenderung berpikir dalam kerangka dikotomi: kuat atau lemah, hardball atau softball, menang atau kalah. Namun pemikiran seperti itu pada dasarnya mempunyai kelemahan. Hal ini didasarkan pada kekuasaan dan posisi, bukan pada prinsip. Win/Win didasarkan pada paradigma bahwa ada banyak hal untuk semua orang, bahwa kesuksesan seseorang tidak dicapai dengan mengorbankan atau mengesampingkan kesuksesan orang lain.[5]
Berhikmat Think Win/Win, bagi Budi Gunawan adalah kesalingbutuhan dalam interaksi interpersonal yang interdependen dengan pola (filosofi) aliran air (belajar dari Taoisme). Tao Te Ching mengajarkan bagaimana kita harus belajar dan menjalani hidup seperti “Filsafat Air” dan berfokus pada tiga ajaran utama yakni: 1) Kerendahan hati (Humility): Mengajarkan kita kemampuan untuk belajar dan berubah dengan mendengarkan orang lain yang dapat memberikan solusi baru yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya; 2) Harmoni (Harmony): Air yang mengalir ke batu tidak terganggu atau terkekang oleh rintangan, tetapi justru mengalir di sekitarnya. Air menemukan solusi untuk masalah tanpa paksaan atau konflik dan mengajarkan kita untuk bekerja secara harmonis dengan lingkungan kita, bukan melawannya; 3) Keterbukaan (Openness): Meskipun lingkungannya terus berubah, air terbuka terhadap perubahan, mudah beradaptasi. Daripada melawan perubahan, bersikaplah terbuka terhadapnya.
Alan Watts (1998) dalam Taoism: Way Beyond Seeking menguraikan, Tao pada dasarnya berarti “jalan,” atau “arah”; arah alam. Lao-tzu mengatakan cara kerja Tao adalah tzu-jan, atau “begitulah adanya”; artinya, ia spontan. Tao adalah jenis tatanan tertentu, dan tatanan semacam ini tidak seperti yang kita sebut tatanan ketika kita menata segala sesuatu secara geometris dalam kotak atau baris. Tetapi ketika kita melihat tanaman bambu, sangat jelas bahwa tanaman itu memiliki tatanan. Kita langsung menyadari bahwa tanaman itu tidak berantakan, tetapi tidak simetris dan tidak geometris. Dalam bahasa Cina, ini disebut li, dan huruf li awalnya berarti tanda pada batu giok. Itu juga berarti serat pada kayu dan serat pada otot. Kita juga dapat mengatakan bahwa awan memiliki li, marmer memiliki li, tubuh manusia memiliki li. Kita semua mengenalinya, dan seniman menirunya, baik ia seorang pelukis lanskap, pelukis potret, pelukis abstrak, atau pelukis nonobjektif. Mereka semua mencoba mengekspresikan hakikat li.[6]
Hal yang menarik adalah bahwa meskipun kita tahu apa itu, tidak ada cara untuk mendefinisikannya. Karena Tao adalah alirannya, kita juga dapat menyebut li sebagai aliran air, dan pola li juga merupakan pola aliran air. Kita melihat pola aliran tersebut diabadikan, seolah-olah, sebagai pahatan pada serat kayu, yang merupakan aliran getah, dan pada marmer, pada tulang, pada otot. Semua hal ini dipolakan menurut prinsip dasar aliran. Dalam pola aliran air, kita akan melihat semua jenis motif dari seni lingkaran yang-yin.[7]
Jadi li menyarankan, kemudian, urutan aliran, pola tarian cairan yang menakjubkan, karena Lao-tzu menyamakan Tao dengan air: Tao yang agung mengalir ke mana-mana, ke kiri dan ke kanan; Ia mencintai dan memelihara semua hal, tetapi tidak menguasainya. Karena seperti yang dikomentarinya di tempat lain, air selalu mencari level terendah, yang dibenci manusia yang selalu mencoba memainkan permainan untuk mengungguli. Tetapi Lao-tzu menjelaskan bahwa posisi teratas adalah yang paling tidak aman dan posisi dasar adalah yang paling kuat, dan ini dapat kita lihat sekaligus dalam judo atau aikido. Jadi, jalan aliran air adalah jalan Tao. Oleh karena itu, apresiasi terhadap aliran air akan memberi kita perasaan bahwa hidup kita adalah “mengalir.”
Bersamaan dengan gagasan tentang aliran air, ada gagasan Tao lain yang disebut wu wei oleh Lao-tzu. Wu berarti “tidak.” Wei memiliki makna yang kompleks: “tindakan,” “berusaha,” “berupaya,” atau “melakukan.” Jadi, “tidak memaksa” adalah wu wei. Dengan kata lain, Tao menyelesaikan semua hal tanpa memaksanya. Dalam konteks ini, Chuang-tzu menceritakan kisah indah tentang seorang bijak yang sedang berjalan di sepanjang tepi sungai dekat air terjun yang sangat besar. Tiba-tiba, di atas air terjun, ia melihat seorang lelaki tua berguling dari tepi sungai ke dalam air, dan ia berpikir, “Orang ini pasti sudah tua dan sakit dan akan mengakhiri hidupnya sendiri.” Namun beberapa menit kemudian, jauh di bawah air terjun, lelaki tua itu melompat keluar dari sungai dan mulai berlari di sepanjang tepi sungai. Maka orang bijak dan murid-muridnya bergegas, mengejarnya dan, setelah berhasil menyusulnya, mengatakan kepadanya bahwa apa yang telah dilakukannya adalah hal paling menakjubkan yang pernah mereka lihat. “Bagaimana kau bisa selamat?” tanya mereka. “Yah,” jawabnya, “tidak ada trik khusus. Aku hanya masuk dengan pusaran air dan keluar dengan pusaran air. Aku membuat diriku seperti air, sehingga tidak ada konflik antara aku dan air.”[8]
Budi Gunawan melakoni filosofi Tao, pola li (pola aliran air), seni lingkaran yang-yin dan wu wei dengan tidak memaksakan dan tanpa trik khusus, melainkan dengan terus bergerak (berjalan) apa adanya mengalir sesuai energi pusaran air sehingga tidak ada konflik antara dia dan aliran air tersebut. Dalam konteks ini, dia belajar, ketika seorang guru Zen ditanya, “Apakah Tao itu?” ia menjawab, “Teruslah berjalan.” Dan sungguh, tidak ada yang lebih baik dari itu. Seseorang mesti berjalan terus. Arus sungai itu ada di sana, terlepas dari apakah Anda menolaknya atau tidak. Namun, ketika Anda menolaknya, Anda seperti seseorang yang berenang melawan arus, dan itu adalah cara yang baik untuk tenggelam. Keterampilannya, seperti halnya berlayar, terletak pada mengikuti arus dengan cerdas, mengendalikannya, dan memanfaatkannya.[9]
Paul Wildish (2000) dalam Principles of Taoism menyebut, Tao mencakup pesan tentang keseimbangan dan proporsi — kita harus berusaha menghindari perselisihan dan mencapai harmoni dengan menemukan jalan tengah di antara dua ekstrem. Penganut Tao berusaha mengikuti jalan alamiah Surga dengan mendamaikan dan menyatukan kembali kekuatan yin dan yang yang berlawanan, atau kekuatan alam positif dan negatif dalam pikiran seseorang, untuk mencapai kesadaran Tao (aliran air) yang bersatu. Penganut Tao percaya pada kedalaman alam yang, dari siklus perubahannya yang berkelanjutan, selalu cenderung menuju hasil yang paling harmonis. Oleh karena itu, semua kehidupan tunduk pada siklus perubahan ini, ditarik di antara interaksi pengaruh kutub yang berlawanan yang tidak pernah sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk, tetapi sebaliknya, merupakan aspek pelengkap dari Yang Esa primordial yang sama: Tao yang mewujudkan semua keberadaan. Menentang perubahan atau mencoba memaksakan tatanan buatan manusia pada cara alami berarti menentang prinsip keberadaan itu sendiri. Penganut Tao telah menyempurnakan prinsip ini ke dalam praktik wu wei — ‘tidak bertindak’, atau jalan yang paling sedikit mengganggu perkembangan alam. Penganut Tao berusaha menyelaraskan pikiran dan tubuhnya dengan tatanan alam: makan sesuai musim, berolahraga secara teratur, bermeditasi, dan menghindari stres dengan mengikuti alur kejadian daripada menentangnya.[10]
Taoisme juga disebut ‘Jalan Aliran Air’ karena, seperti aliran sungai yang mengikuti kontur tanah dan berkelok-kelok di sekitar rintangan menuju laut, penganut Tao bertujuan untuk bereaksi terhadap situasi dengan cara yang paling tepat tetapi paling tidak melelahkan, menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar untuk bergerak secara harmonis dengan arus kejadian.[11]
Dan, itu dilakoni Budi Gunawan dengan etika karakter integritas mumpuni yang interdependen. Stephen R. Covey menyebutnya, saling ketergantungan yang efektif hanya dapat dibangun di atas landasan kemandirian sejati.[12] Saling ketergantungan sepuluh kali lebih sulit daripada kemerdekaan. Dibutuhkan lebih banyak kemandirian mental dan emosional untuk berpikir menang/menang ketika orang lain ingin menang/kalah, berusaha memahami terlebih dahulu ketika segala sesuatu di dalam diri kita menuntut pengertian, dan mencari alternatif ketiga yang lebih baik ketika kompromi lebih mudah sangat diperlukan. Dengan kata lain, agar berhasil bekerja dengan orang lain dengan cara kooperatif yang kreatif, diperlukan kemandirian, keamanan internal, dan penguasaan diri yang sangat besar. Jika tidak, apa yang kita sebut interdependensi sesungguhnya adalah kontra-ketergantungan di mana orang-orang melakukan hal yang sebaliknya untuk menegaskan independensi mereka, atau kodependensi di mana mereka benar-benar membutuhkan kelemahan orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka dan untuk membenarkan kelemahan mereka sendiri.[13]
Berhikmah Win/Win dalam interdependensi adalah kodrat dan misi manusia sebagai ‘garam dan terang dunia’ atau misi ‘rahmatan lil alamin’; hikma yang muncul sebagai konsepsi spiritual yang agung tentang dunia, menembus semua pengetahuan dalam jangkauan manusia, untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin).
James Hutchins Baker dalam Education and Life pada Bab Filsafat Plato menulis, kita mungkin percaya, bahwa manusia berasal dari ilahi, dan karenanya dapat mengetahui wahyu ilahi dalam keberadaannya sendiri dan di dunia material. Di sini digambarkan secara garis besar idealisme spiritual yang dalam bentuk segarnya tampaknya mendapatkan landasan baru dari hari ke hari. Plato berpendapat bahwa ide-ide itu terwujud di alam dan juga bawaan dalam pikiran; maka dengan pemeriksaan diri dan perbandingan dengan salinan ide-ide di alam, manusia sampai pada kebenaran esensial yang merupakan karya filsafat.[14]
Maka, lanjut Baker, setiap orang harus menghormati jiwanya sendiri dengan kehormatan yang bersumber kebaikan ilahi, untuk menghargai prinsip lebih tinggi dari kehidupan, untuk menempatkan kebajikan di atas semua emas, untuk kemuliaan dalam mengikuti jalan yang lebih baik, untuk menganggap penghormatan pada anak-anak sebagai warisan yang lebih besar daripada kekayaan material, untuk menganggap janji sebagai hal yang suci, untuk menghindari kelebihan cinta diri sendiri, dan untuk mematuhi kebenaran sebagai permulaan dari setiap kebaikan. Kebajikan adalah kesehatan, keindahan dan kesejahteraan jiwa; dan keburukan adalah penyakit, kelemahan dan cacat jiwa. Adalah orang bodoh yang menertawakan apa pun kecuali kebodohan dan keburukan. Kepemilikan seluruh dunia tidak ada nilainya tanpa kebaikan. Tidak ada kesenangan kecuali kesenangan orang bijak yang benar dan murni.[15]
Intinya, manusia sebagai makhluk tertingi ciptaan Allah berkemampuan menerima dan mengetahui wahyu dan hikma ilahi dalam keberadaan kemanusiaannya di dunia, maka harus menghormati jiwanya dengan prinsip kehidupan lebih tinggi yang menempatkan kebajikan di atas semua emas (kekayaan material) dan menempatkan dirinya berguna bagi banyak orang dan alam semesta di atas kepentingan dirinya sendiri; yang menjadi filosofi hidupnya.
Guru Besar Filsafat Titus Harold Hopper dalam Ethics For Today menyebut, dalam membentuk falsafah hidup, kita perlu memperhatikan dua hal yakni: 1) filosofi yang bisa dijalani; dan 2) filosofi yang membuat hidup lebih baik. Pertama, filosofi yang bisa dijalani: Manusia membutuhkan filosofi yang dapat hidup di dunia saat ini. Kita perlu menyesuaikan diri dengan tatanan sosial yang berubah atau tatanan yang bergerak ke masa depan. Kita perlu hidup berdasarkan prinsip dan praktik yang, dalam jangka panjang, menambah, bukannya mengurangi, kebahagiaan dan perkembangan manusia.[16]
Kedua, filosofi yang membuat hidup lebih baik: Manusia membutuhkan filosofi yang membuat hidup lebih baik di sini dan sekarang. Manusia tidak akan selamanya puas dengan filosofi yang tidak memberikan harapan, atau dengan filosofi yang menjauhkan kebahagiaan di masa depan. Pepatah lama yang sederhana, “Anda akan mendapatkan kue di langit ketika Anda mati,” tidak menawarkan banyak kenyamanan untuk hidup di sini dan sekarang. Jika seseorang bertekad untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali, mereka mungkin akan hidup di dunia yang lebih baik daripada yang seharusnya.[17]
Plato menganggap kebajikan sebagai sarana tertinggi untuk mencapai tujuan besar keberadaan manusia. Plato menyebutkan empat kebajikan, yakni: Kebijaksanaan, Keberanian, Kesederhanaan, dan Keadilan. Profesor Green menafsirkannya dalam bentuk modern, dan mempertahankan standar keunggulan dan penerapan universal yang konsisten. Analisis modern apa pun tentang prinsip-prinsip perilaku yang berkontribusi pada kesehatan jiwa dan mendukung kesuksesan dalam hidup, akan mengkonfirmasi penghitungan kebajikan Yunani. Profesor Green berkata: Kehendak Baik adalah keinginan untuk (1) mengetahui apa yang benar dan membuat apa yang indah; (2) menahan rasa sakit dan ketakutan; (3) menolak godaan kesenangan; (4) mengambil untuk diri sendiri dan untuk diberikan kepada orang lain, bukan apa yang diinginkan, tetapi apa yang menjadi haknya. Dia tidak hanya mengajarkan semangat keadilan, tetapi juga menumbuhkan keberanian moral, dan, berbeda dengan kebodohan yang malas, pertumbuhan kebijaksanaan yang merupakan realisasi kebajikan.[18]
Titus Harold Hopper mengatakan, jika seseorang ingin menjalani kehidupan yang bajik dan tumbuh, mereka perlu memupuk prinsip-prinsip dan sikap-sikap fundamental tertentu, di antaranya, tentang berbagai masalah yang berhubungan dengan kehidupan moral. Karena kehidupan memaksa kita untuk bertindak, kita perlu memikirkan cara terbaik untuk bertindak.[19]
Hopper mengatakan, untuk pertumbuhan seseorang perlu hidup di hadirat yang terbaik. Pertumbuhan dan kekayaan hidup datang dari keramahan batin menuju kebenaran, keindahan, dan kebaikan, seperti juga dari kesungguhan lahiriah. Kita cenderung menjadi seperti apa yang kita kagumi dan dengan siapa kita bergaul. Salah satu kesulitan yang dihadapi banyak orang saat ini bukanlah karena mereka jahat, melainkan karena hidup mereka sepele dan terlalu disibukkan dengan hal-hal yang biasa-biasa dan sepele saja. Kita perlu menempatkan diri kita terus-menerus di hadapan ide-ide dan cita-cita yang hebat. Kita tidak dapat meletakkan salah satu mahakarya besar sastra di mana kita telah mengikuti pemikiran beberapa intelek yang hebat, dan terus berpikir dalam hal yang sepele. Kebutuhan untuk tumbuh menyiratkan pencarian tanpa henti akan kebenaran, yang merupakan pencarian koherensi, keterhubungan alam semesta, persatuan, dan untuk apa yang dapat terus dihayati. Kita juga harus menempatkan diri kita terus-menerus di hadapan yang indah. Kecantikan mengangkat kita ke tingkat kehidupan yang lebih tinggi dan melakukan beberapa transformasi dalam diri kita. Meskipun tidak setiap orang dapat mengembangkan kejeniusan kreatif dalam seni, setiap orang dapat menjadi apresiator keindahan.[20]
Berhikmat Think Win/Win dalam pusaran aliran air adalah seni yang membutuhkan kejeniusan kreatif dan apresiasi keindahan dan kemanfaatan. Karena hikmat Win/Win itu justru sangat diperlukan ketika adanya tantangan kesulitan. Namun, menerima kesulitan dan tantangan sebagai hal yang tidak dapat dihindari justru menjadi suatu hal penting dalam menempa kepemimpinan yang semakin matang. Semakin besar tantangannya, semakin cepat dan tinggi pertumbuhannya. Bagi Budi Gunawan, menghadapi kesulitan secara langsung ataupun tidak langsung, justru akan diupayakan membangun hubungan lebih baik dengan atasan, dan sejabat maupun bawahan; dengan setiap orang dalam ragam keberadaannya. Termasuk dalam langkah-langkah politik para pembuat kebijakan dalam persaingan maupun kebersamaannya.
Setiap tantang kesulitan selalu membuka kesempatan terbuka atau tersembunyi untuk memperkuat kualitas kepemimpinan dengan karakter religiusitas, intelektualitas, integritas, maturitas dan simplisitas, sebagai basis karakter yang bermuara pada kematangan dan kecerdasan memecahkan masalah dalam berbagai situasi dan kondisi. Terlebih lagi ketika tantangan kesulitan itu taruhannya tinggi, mungkin bisa kehilangan jabatan, bahkan mempertaruhkan nyawa; dengan hikmat dan paradigma think win/win, justru dia selalu berpikir positif akan memiliki peluang terbesar untuk belajar meningkatkan kepemimpinan dan pengabdiannya. Demikianlah, yang membedakan orang yang berhikmat Think Win/Win berbasis karakter dalam menghadapi dan mengatasi tantangan kesulitan dengan smart dan cerdas tanpa rasa takut menuju transformasi yang mementingkan ideologi, visi dan misi tugas pengabdiannya. Berhikmat Negarawan.
Dimana dia selalu menemukan jalan keluar dari ‘zona nyaman’ dengan kesadaran cerdas bahwa setiap era dan situasi memiliki tantangannya sendiri, dan juga memiliki berbagai sudut pandangnya sendiri. Hal mana setiap era dan situasi tersebut menuntut (membutuhkan) optimalisasi kemampuan dan keunggulan diri. Dalam konteks setiap tantangan era dan situasi tersebut, tentulah relasi dan komunikasi wajar seperti sediakala selalu penting (walaupun mungkin sulit), namun yang lebih penting lagi adalah mempertajam kepekaan mendengar, melihat, memahami dan memaknai apa yang sedang terjadi, dan menatap jauh ke depan, mencermati dengan velox et exactus, berbagai kecenderungan, terutama, apa kecenderungan terbaik yang akan terjadi.
Lebih lagi, dalam posisi Kepala BIN yang Warleader of Wits, yang sangat membutuhkan kejeniusan seni, kearifan dan ilmu intelijen. Intelijen dalam tantangan kesulitan apa pun merupakan sebuah seni sekaligus ilmu pengetahuan, dan juga merupakan hasil dari akal sehat dan juga kecemerlangan teknis yang harus dipahami dan diterapkan dengan bijak (berhikmat) agar dapat bermanfaat.[21] Bagi Budi Gunawan, intelijen yang tidak bermanfaat adalah suatu hal yang buruk bahkan berpotensi berbahaya. Itulah posisi, fungsi, sekaligus peringatan, bagi aparat intelijen (BIN) yang mesti selalu teguh memegang amanah sebagai lini pertama pertahanan nasional. Intelijen berhikmat think win/win dan energi pusaran aliran air. Warleaders of Wits Berhikmat Negarawan.
Footnotes:
[1] Lewis, B., etc. (Ed.), 1986. The Encyclopaedia of Islam. New Edition, Volume III, H-Iram. Edited by B. Lewis, V.L. Menage, Ch. Pellat and J. Schacht. Leiden: E.J. Brill; London: Luzac & Co., p. 378.
[2] Lewis, B., etc. (Ed.), 1986. The Encyclopaedia of Islam, p. 377.
[3] Gunawan, Budi, 2006. Koloni Keadilan (Kumpulan Analisis di Majalah Forum). Jakarta: Forum Media Utama, h. 89.
[4] Covey, Stephen R., 2004. The 7 Habits of Highly Effective People. Restoring the Character Ethic. Powerful Lessons in Personal Change. New York, etc,: Free Press, p. 206.
[5] Covey, Stephen R., 2004. The 7 Habits of Highly Effective People, p. 207.
[6] Watts, Alan, 1998. Taoism: Way Beyond Seeking. The Edited Transcripts. Boston et al: Charles E. Tuttle, p.3-5.
[7] Watts, Alan, 1998. Taoism: Way Beyond Seeking, p.5-6.
[8] Watts, Alan, 1998. Taoism: Way Beyond Seeking, p.8-9.
[9] Watts, Alan, 1998. Taoism: Way Beyond Seeking, p.22.
[10] Wildish, Paul, 2000. Principles of Taoism. London: Thorsons, p.vii-viii.
[11] Wildish, Paul, 2000. Principles of Taoism, viii.
[12] Covey, Stephen R., 2004. The 7 Habits of Highly Effective People, p. 185.
[13] Covey, Stephen R., 2004. The 7 Habits of Highly Effective People, p. 324.
[14] Baker, James Hutchins, 1900: Education and Life; Papers and Addresses. London and Bombay: Longmans, Green, and Co, p. 35-36.
[15] Baker, James Hutchins, 1900: Education and Life, p. 39-40.
[16] Hopper, Titus Harold, 1936. Ethics For Today. Boston-Atlanta-Dallas-San Francisco-New York-Cincinnati-Chicago: American Book Company, p. 431-432.
[17] Hopper, Titus Harold, 1936. Ethics For Today, p. 432.
[18] Baker, James Hutchins, 1900: Education and Life, p. 41.
[19] Hopper, Titus Harold, 1936. Ethics For Today, p. 431.
[20] Hopper, Titus Harold, 1936. Ethics For Today, p. 440.
[21] Bandingkan: Strachan, Hew, August 15, 2022. The art and science of intelligence in war. https://engelsbergideas.com/essays/the-art-and-science-of-intelligence-in-war/