Presiden Habibie Lepaskan Timor Timur
[TOPIK PILIHAN] – ARSIP – Berharap mendapat hadiah Nobel Perdamaian, atau setidaknya untuk mendapat pujian internasional, Presiden BJ Habibie melepas Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi dengan memberi opsi merdeka kepada rakyat Timtim melalui jajak pendapat.
Dalam jajak pendapat pada tanggal 30 Agustus 1999 yang hasilnya diumumkan pihak PBB pada tanggal 4 September 1999, sebanyak 78,5% memilih opsi merdeka (memisahkan diri dari RI) dan 21,5% memilih opsi Otonomi luas.
Pemberian referendum (jajak pendapat) inilah yang dinilai merupakan kebijakan keliru dari seorang Presiden yang seharusnya menjaga dan mempertahankan keutuhan NKRI. Sebab, jangankan Timor Timur, beberapa (mungkin hampir semua) provinsi kala itu jika diberi opsi merdeka akan memilih opsi tersebut.
Presiden Habibie berusaha membela kebijakannya dalam Pidato Pertanggungjawaban Presiden (Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia) di Depan Sidang Umum MPR-RI, 14 Oktober 1999. Namun, MPR menolak pertanggungjawaban tersebut. Penolakan ini, membuat BJ Habibie merasa tak pantas mencalonkan diri kembali jadi Presiden pada SU-MPR Oktober 1999 itu.
Berikut petikan Pidato Pertanggungjawaban Presiden (Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia) di Depan Sidang Umum MPR-RI, 14 Oktober 1999, khususnya tentang pelepasan Timor Timur:
Salah satu kebijakan penting yang diambil oleh Kabinet Reformasi Pembangunan adalah mengajukan penyelesaian masalah Timor Timur secara komprehensif dengan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat internasional.
Harus diakui bahwa integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia 24 tahun yang lalu, yang dikukuhkan melalui TAP MPR No. VI/MPR/ 1978, tidak pernah mendapat pengakuan internasional. Meskipun sebenarnya Indonesia tidak pernah memiliki klaim terhadap Timor Timur dan tidak pernah berambisi untuk menguasai wilayah bekas jajahan Portugis tersebut.
Sungguh disayangkan, bahwa setelah pengumuman hasil jajak pendapat yang dimenangkan kelompok yang menolak tawaran otonomi luas telah terjadi berbagai bentuk kekerasan di Timor Timur yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat serta sangat merugikan nama baik Indonesia di lingkungan internasional. Karena keadaan yang memaksa dan demi kemanusiaan akhirnya Indonesia menyetujui percepatan pengiriman pasukan multinasional ke Timor Timur.
Integrasi Timor Timur terjadi karena suatu situasi terpaksa yang sulit dihindari dan atas kehendak sebagian masyarakat Timor Timur sendiri untuk menyelesaikan perang saudara yang berkecamuk di wilayah tersebut.
Banyak pengorbanan yang telah diberikan oleh bangsa Indonesia, baik nyawa maupun harta benda, untuk menciptakan perdamaian dan pembangunan di Timor Timur. Subsidi yang diberikan oleh Pemerintah pusat untuk pembangunan di Timor Timur bahkan melebihi dari apa yang diberikan ke propinsi-propinsi lain untuk mengejar ketertinggalan di Timor Timur.
Namun sungguh disesalkan bahwa segala daya upaya dan pengorbanan itu tidak pernah mendapat tanggapan yang positif, baik di lingkungan internasional maupun di sementara kalangan rakyat Timor Timur sendiri. Di berbagai forum internasional posisi Indonesia selalu dipojokkan karena masalah Timor Timur. Sampai saat ini, tidak kurang dari 8 resolusi Majelis Umum PBB dan 7 resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Timor Timur telah dikeluarkan, yang menggambarkan bahwa tidak seluruh anggota masyarakat internasional mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Posisi Indonesia di forum-forum internasional semakin dipersulit oleh kenyataan bahwa selama 24 tahun tidaklah mudah untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban di Timor Timur yang secara historis memang sering bergolak. Sebagian masyarakat daerah tersebut secara bertahap telah mengembangkan kesadaran kebangsaannya bersama bangsa Indonesia. Namun sebagian lagi tidak bersedia melakukan hal itu, dan melancarkan gerilya baik di hutan-hutan maupun di kota, yang dibantu oleh organisasi berskala internasional.
Secara sistematis telah dilancarkan operasi pembentukan pendapat umum yang memutarbalikkan fakta, dengan mengeksploitasi secara maksimum segala kesalahan atau kekeliruan yang terjadi di lapangan.
Sebagai anggota masyarakat internasional, Indonesia sejak semula ingin menyelesaikan masalah Timor Timur dengan cara-cara yang secara internasional dapat diterima dan diakui. Sejak tahun 1975 sampai 1982 masalah Timor Timur dibicarakan dalam forum-forum PBB tanpa membuahkan hasil. Sejak tahun 1983 pembicaraan tentang Timor Timur diarahkan untuk dibahas dalam forum Tripartit antara Pemerintah Indonesia, Portugal dan Sekretaris Jenderal PBB. Perundingan Tripartit akhirnya juga menemui jalan buntu karena sikap keras Portugal yang menggagalkan rencana kunjungan misi ke Timor Timur pada tahun 1986 dan 1991 sebagai dasar pembahasan penyelesaian masalah Timor Timur.
Berakhirnya Perang Dingin dan semakin besarnya perhatian dunia terhadap masalah demokrasi dan hak asasi manusia, telah mengangkat masalah Timor Timur menjadi salah satu agenda internasional yang sulit dihindari, dan klaim Indonesia bahwa masalah Timor Timur sudah selesai tidak dapat dipertahankan. Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa untuk memulihkan citra Indonesia, kita tidak memiliki pilihan lain kecuali berupaya menyelesaikan masalah Timor Timur dengan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat internasional.
Bersamaan dengan lahirnya era reformasi, maka terbukalah kesempatan yang menguntungkan bagi Indonesia untuk memecahkan masalah Timor Timur secara komprehensif. Dalam kaitan ini, maka perundingan Tripartit digelar kembali setelah Indonesia menawarkan suatu gagasan segar, yaitu konsep otonomi luas dengan status khusus bagi rakyat Timor Timur. Gagasan ini sejalan dengan rencana Pemerintah untuk mengimplementasikan otonomi daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Otonomi tersebut memberikan kewenangan yang sangat luas kepada rakyat Timor Timur untuk mengatur kehidupannya kecuali di bidang politik luar negeri, keamanan eksternal serta moneter dan fiskal. Pemerintah Indonesia menilai ini merupakan penyelesaian yang paling adil, realistis, paling mungkin dicapai dan berprospek damai.
Untuk itu Pemerintah telah merundingkan elemen-elemen substantif dengan PBB dan Portugal. Pada tanggal 18 Juni 1998 usulan tersebut telah dijelaskan oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dan Sekjen PBB telah menyambut baik usulan tersebut. Usulan tersebut juga sudah dikonsultasikan dengan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi.
Kendati Pemerintah Indonesia dan Portugal menyepakati dirundingkannya paket otonomi luas untuk Timor Timur, antara kedua negara tetap terdapat perbedaan prinsipil yang tidak dapat dipertemukan. Pemerintah Indonesia berharap bahwa tawaran otonomi luas dapat merupakan solusi akhir bagi masalah Timor Timur. Sebaliknya, Portugal melihat tawaran otonomi luas sebagai solusi antara, di mana solusi akhirnya adalah referendum. Dengan kata lain, Portugal melihat penerapan otonomi luas sebagai masa transisi atau persiapan menjelang dilaksanakannya referendum yang akan mengantarkan Timor Timur menuju kemerdekaan.
Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa apabila tawaran otonomi luas hanya diterima sebagai solusi antara sebagai langkah awal menuju referendum, hal ini dinilai justru akan menghambat tercapainya suatu penyelesaian secara tuntas. Perbedaan visi yang mendasar antara kelompok pro-integrasi dan anti-integrasi akan sangat menyulitkan terbentuknya suatu Pemerintahan daerah Otonomi Khusus Timor Timur yang stabil.
Dalam masa transisi tersebut masalah Timor Timur akan tetap menimbulkan persoalan bagi Indonesia –baik di dalam maupun luar negeri– tanpa adanya kepastian mengenai suatu penyelesaian yang komprehensif dan damai. Adalah lebih baik apabila masalah Timor Timur dapat kita selesaikan secara tuntas dalam waktu yang tidak terlalu lama, daripada membiarkannya semakin berlarut-larut. Pemikiran inilah yang melatarbelakangi pemberian dua opsi oleh Pemerintah untuk menyelesaikan masalah Timor Timur secara tuntas.
Sementara itu, pada saat usul mengenai otonomi luas dengan status khusus tersebut masih dirundingkan di New York, pihak-pihak yang tidak menyetujui integrasi –baik di Timor Timur maupun di luar negeri– terus menerus melancarkan upaya-upaya agar konsep otonomi luas tersebut hanya diterapkan untuk 5 – 10 tahun dan sesudahnya diadakan referendum untuk memastikan apakah rakyat Timor Timur menghendaki otonomi atau memilih kemerdekaan.
Tentu saja, pemikiran penyelesaian seperti itu tidak dapat kita terima. Lagi pula jika otonomi luas hanya diterima sebagai penyelesaian antara, maka akan sangat sulit diharapkan adanya stabilitas di Timor Timur karena masing-masing pihak akan terus memperkuat barisannya untuk memenangkan referendum. Menghadapi kenyataan tersebut timbul kesadaran bahwa memang perlu dipikirkan suatu alternatif penyelesaian andaikata tawaran otonomi luas tersebut akhirnya ditolak.
Setelah melakukan kajian secara mendalam mengenai kemungkinan penyelesaian alternatif bagi masalah Timor Timur secara tuntas, pada tanggal 27 Januari 1999, Pemerintah mengumumkan alternatif penyelesaian tersebut. Hal ini juga telah saya konsultasikan dengan Pemimpin DPR dan Pimpinan Fraksi-fraksi DPR.
Apabila mayoritas rakyat Timor Timur menolak otonomi luas –setelah mengalami suatu kebersamaan sejarah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 23 tahun terakhir, namun mereka rasakan kebersamaan itu tidak mencukupi untuk tetap bersatu bersama kita– maka adalah wajar dan bijaksana, bahkan demokratis dan konstitusional, jika Pemerintah mengusulkan kepada wakil-wakil rakyat pada Sidang Umum MPR, kiranya dapat mempertimbangkan pemisahan Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara damai, baik-baik dan terhormat. Kebijakan Pemerintah ini dikenal sebagai Opsi Kedua.
Pemberian opsi kedua ini diputuskan berdasarkan keinginan kita yang tutus dan ikhlas untuk segera menyelesaikan masalah Timor Timur yang sejak awal telah menjadi sumber pertikaian pendapat internasional dan telah menyita tenaga dan pikiran kita selama lebih dari dua dasawarsa. Kita ingin melakukan konsolidasi nasional dalam menyelesaikan berbagai krisis yang terjadi serta menyiapkan diri dengan lebih baik dalam memasuki abad pertama milenium ketiga.
Opsi kedua itu ditawarkan kepada rakyat Timor Timur melalui jajak pendapat. Cara ini disadari akan membuka peluang untuk menyelesaikan masalah Timor Timur secara tuntas dan terhormat, bukan dengan cara yang tidak bertanggungjawab.
Dalam suasana keterbukaan dan saling ketergantungan global, sangat sulit bagi kita untuk mempertahankan alasan konvensional bahwa mengingat status Timor Timur secara konstitusional sudah dikukuhkan oleh MPR pada tahun 1978, kita bisa menolak tuntutan masyarakat internasional tanpa risiko dikucilkan dari pergaulan dunia.
Oleh karena itu tanpa mengurangi rasa hormat saya yang setinggi-tingginya kepada TAP MPR No. VI/MPR/1978, Presiden –sebagai penyelenggara Pemerintahan tertinggi dan pelaksana kebijakan Pemerintah tertinggi, sesuai dengan kewenangannya–menyampaikan usul untuk menyelesaian masalah Timor Timur, yang diharapkan tidak hanya dapat diterima di dalam negeri tetapi juga oleh masyarakat internasional.
Maka sesuai perjanjian Tripartit di New York yang ditandatangani pada 5 Mei 1999, rakyat Timor Timur telah diberi kesempatan melalui jajak pendapat untuk menentukan apakah mereka menerima tawaran otonomi luas atau pun menolak.
Sebagai pelaksanaan Persetujuan New York, rakyat Timor Timur telah melaksanakan jajak pendapat pada tanggal 30 Agustus 1999. Pihak PBB telah mengumumkan hasil jajak pendapat itu pada tanggal 4 September 1999, yakni 78,5% menolak dan 21,5% menerima, dan dengan demikian mayoritas rakyat Timor Timur menolak tawaran otonomi luas.
Betapapun pahitnya kenyataan ini, namun sesuai dengan komitmen yang tercantum dalam Persetujuan New York, Pemerintah dengan rasa berat telah menyatakan menerima dan menghormati hasil jajak pendapat tersebut.
Sementara itu, pihak yang kalah dalam jajak pendapat ternyata tidak dapat menerima kenyataan itu dan menuduh UNAMET telah melakukan kecurangan dan penyimpangan dalam pelaksanaan jajak pendapat tersebut. Atas desakan Pemerintah Indonesia, keluhan-keluhan mengenai beberapa penyimpangan tersebut telah dibahas oleh Komisi Elektoral –yang anggotanya berasal dari Korea Selatan, Afrika Selatan dan Irlandia– dalam suatu dengar pendapat publik yang berlangsung selama dua hari berturut-turut di Dili, disusul oleh suatu keterangan pers di Jakarta.
Sangat disesalkan bahwa berdasarkan dengar pendapat tersebut, Komisi Elektoral menyimpulkan bahwa sebagian besar dari penyimpangan yang dikeluhkan tidak didukung oleh bukti-bukti yang memadai sehingga tidak dapat diterima.
Sungguh disayangkan, bahwa setelah pengumuman hasil jajak pendapat yang dimenangkan kelompok yang menolak tawaran otonomi luas telah terjadi berbagai bentuk kekerasan di Timor Timur yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat serta sangat merugikan nama baik Indonesia di lingkungan internasional. Karena keadaan yang memaksa dan demi kemanusiaan akhirnya Indonesia menyetujui percepatan pengiriman pasukan multinasional ke Timor Timur.
Mengingat mayoritas rakyat Timor Timur –sesuai dengan hati nuraninya telah menyatakan pendapat yakni menolak otonomi luas dengan status khusus,– maka kita sebagai bangsa harus menerima dan menghormati hasil jajak pendapat itu, karena hal ini sesuai dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa.
Sebagai bangsa yang besar dan menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, maka pada kesempatan ini saya mengharapkan Majelis yang terhormat berkenan membahas hasil jajak pendapat tersebut dan berkenan pula menuangkannya dalam ketetapan yang memberikan pengakuan terhadap keputusan rakyat Timor Timur tersebut, sebagaimana telah saya sampaikan secara resmi melalui surat yang ditujukan kepada Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Selanjutnya sesuai ketentuan pada Pasal 6 Persetujuan New York, kiranya ketetapan tersebut dapat pula mensahkan pemisahan Timor Timur dari Republik Indonesia secara baik, terhormat, dan damai. Jika ini kita laksanakan, kita dapat menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional yang bertanggungjawab, demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Arsip TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Begitu mudahnya suatu wilayah kita lepaskan hanya karena adanya tekanan Internasional. Sekarang kita dapat melihat bahwa meskipun Timtim sudah tidak lagi menjadi bagian dari NKRI tekanan dunia internasional atas negara tetap ada saja. Timtim lepas, negara-negara barat masih punya stock untuk menekan yaitu menggunakan isue Papua, RMS dan tidak tahu besok apa lagi. Tekanan Internasional dalam politik itu adalah hal biasa, yg menjadi masalah adalah kita ikuti tekanan tersebut. Kita bukan lagi bangsa yg berdaulat.
Sejalan dengan komentar Marvelos, kita sadar saat ini Timor Timur sudah menjadi negara yang berdaulat. Persoalan politik Internadional yang melubatkan Indonesia sudah selasai sejak hasil referendum 1999 menyatakan kemenangan di kubu pro-kemerdekaan, namun persoalan lain seperti pelanggaran HAM dan juga masalah sosial ekonomi bagi rakyat pro-integrasi dengan Indonesia masih menjadi PR buat kita. 19 tahun sudah lepasnya Timor Timur dari NKRI maka sejak itu pula sebagian warga Timor Timur yang cinta merah putih didup sengsara tanpa perhatian khusus dari penyelenggara negara. Saran saya sebagai orang awam agar kita jangan melihat dari sisi untung ruginya Indonesia dari persoalan lepasnya Timor Timur dari kebersamaan kita sebagai bangsa tapi lebih mengarah ke faktor kemanusiaan dan nurani kita sebagai makhluk sosial. Adakah di antara kita yang punya nurani melihat kondisi hidup eks pengungsi Timor Timur hidup melarst demi cintanya terhadap merah putih?