79 Tahun Panji Gumilang: Pendidikan sebagai Jalan Hidup

Sang Pendidik yang Bertaruh Segalanya demi Indonesia Abadi

AS Panji Gumilang
0
12
Panji Gumilang, Pendidikan Jalan Hidup
Pada usia 79, ia merangkum perjalanan dan pemikirannya dalam satu tujuan: membangun Indonesia yang tidak sekadar ada, tetapi abadi. (Foto: Tokoh.ID)
Lama Membaca: 8 menit

Ketika banyak bicara tentang perubahan, Panji Gumilang memilih membuktikan lewat jalan panjang: mendidik. Gagasan besarnya tidak dibentuk di ruang kuliah atau seminar, melainkan dari sawah, pasar, dan ruang kelas kecil. Pada usia 79, ia merangkum perjalanan dan pemikirannya dalam satu tujuan: membangun Indonesia yang tidak sekadar ada, tetapi abadi.

Tanggal 30 Juli 2025 menjadi momen khusus bagi Syaykh Al-Zaytun, AS Panji Gumilang. Di usianya yang ke-79, ia tidak memilih perayaan mewah atau seremoni meriah. Sebaliknya, ia menggelar forum yang ia sebut “Bincang Bersama Sebagai Manifestasi Doa”. Dalam suasana sederhana namun khidmat, Syaykh Panji Gumilang menyampaikan kisah perjalanan hidup dan gagasan yang telah menempa dirinya menjadi seperti sekarang: seorang pendidik, pemikir, dan pemimpin lembaga pendidikan berskala besar.

Panji Gumilang bukan sekadar nama yang melekat pada institusi Al-Zaytun. Ia adalah representasi dari perjalanan panjang, sejak kecil di desa, menempuh pendidikan dengan segala keterbatasan, sampai merumuskan gagasan besar tentang transformasi pendidikan nasional. Pidato panjang yang ia sampaikan dalam forum tersebut menyajikan kilas balik kehidupan, bukan untuk dikenang semata, tetapi sebagai bahan renungan: bagaimana seorang anak desa bisa mengembangkan pandangan tentang pendidikan sebagai kunci peradaban bangsa.

Narasi yang ia bangun tidak dibingkai dalam urutan biografis konvensional. Ia memilih cerita-cerita kecil, tentang mendaftar sekolah dasar, mengajar orang tua baca tulis, menjual jagung di pasar, bertemu Bung Karno, hingga pengalaman di Ciputat dan Jakarta. Namun dari fragmen-fragmen itulah tergambar satu benang merah: bahwa pendidikan bukan sekadar ruang kelas, melainkan proses panjang yang berakar pada pengalaman hidup, nilai keluarga, dan keberanian berpikir mandiri.

Tulisan ini mencoba menyusun kembali kisah hidup Panji Gumilang sebagaimana disampaikan oleh dia dalam forum itu. Disusun dengan gaya naratif-informatif, kisah ini merekam perjalanan seorang pendidik yang bertaruh segalanya demi gagasannya. Dari putra petani hingga pendiri pesantren modern berskala besar, Panji Gumilang menempuh jalan panjang yang berakar pada kemandirian, keberanian berpikir, dan keyakinan akan Indonesia Abadi. Semuanya itu, berpulang pada satu kata kunci: pendidikan.

Masa Kecil dan Pendidikan Awal

Panji Gumilang lahir pada tanggal 30 Juli, sebagaimana ia catat berdasar penuturan orang tuanya. Ia tumbuh dalam lingkungan desa yang sederhana. Orang tuanya adalah petani, sekaligus kepala desa, sosok yang memahami pentingnya pendidikan meskipun pada masa itu sekolah belum menjadi pilihan utama masyarakat desa.

Memasuki usia sekolah sekitar tahun 1953, Panji kecil mengalami sendiri bagaimana sulitnya akses pendidikan dasar. Meski sekolah saat itu tidak berbayar dan bahkan menyediakan makanan, banyak anak seusianya yang enggan bersekolah. Ia sendiri sempat ditolak masuk karena dianggap belum cukup umur, dengan metode seleksi yang sederhana: diminta memegang telinga. Namun penolakan itu tidak menyurutkan semangatnya. Orang tuanya justru menyuruhnya tetap masuk tahun berikutnya tanpa harus mendaftar ulang.

Sejak awal, pendidikan baginya bukan hanya soal kelas atau kurikulum, tetapi pengalaman dan interaksi. Ia belajar membaca dengan metode fonetik sederhana yang diajarkan guru-guru sekolah rakyat. Dalam waktu kurang dari satu tahun, ia sudah mampu membaca dan menulis. Yang menarik, semangat belajarnya tidak berhenti pada dirinya sendiri. Ia terlibat dalam program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) di desanya, bahkan turut mengajar warga desa yang lebih tua.

Pengalaman itu menjadi fondasi awal bagaimana ia memaknai pendidikan: bukan sekadar pencapaian pribadi, tetapi kontribusi kepada lingkungan. Ia mengingat bagaimana sabak (batu tulis) menjadi media belajar, dan bagaimana warga desa diuji kemampuan menulis mereka di pintu pasar. Yang berhasil menulis, diberi izin masuk pasar. Sebuah model literasi yang kontekstual dan bermakna.

Pendidikan ekonomi juga ia dapatkan sejak kecil, bukan dari buku, melainkan langsung dari pengalaman. Orang tuanya melibatkannya dalam proses menjual hasil panen, seperti jagung dan telur. Ia belajar menghitung harga, melaporkan hasil penjualan, dan mengelola kepercayaan. Ibunya melarang menjual padi, namun memberi ruang untuk menjual hasil lain dengan kepercayaan penuh. Semua ini membentuk karakter tanggung jawab dan kejujuran sejak dini.

Advertisement

Menariknya, Panji muda juga diajarkan tentang manajemen pertanian, bukan dari kuliah, tetapi dari cara ayahnya mengarahkan dia untuk menghitung pekerja sawah, mengenali nama mereka, dan memahami struktur kerja. Meski dilarang mencangkul, ia diarahkan untuk memahami dan mengelola pertanian sebagai sistem, bukan sekadar kerja fisik. Ini adalah bibit awal dari cara berpikir manajerial yang akan berkembang dalam tahap-tahap hidupnya kelak.

Kisah masa kecil Panji Gumilang adalah kisah tentang pendidikan yang membumi. Ia belajar dari orang tua, dari guru, dari pasar, dari ladang, dari teman-temannya sendiri. Pola pendidikan seperti ini membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak hanya berpengetahuan, tetapi juga peka terhadap realitas dan tangguh menghadapi tantangan.


Formasi Awal Pemikiran: Dari Gontor ke Bung Karno

Setelah menamatkan sekolah dasar, Panji Gumilang menghadapi pilihan lanjutan pendidikan. Orang tuanya ingin ia melanjutkan ke Jombang, tetapi ia justru menaruh minat pada Gontor, pesantren modern yang sudah mulai dikenal luas saat itu. Keinginannya sempat tertunda karena seorang kyai di daerahnya mengingatkan bahwa di Gontor tidak diajarkan membaca Al-Qur’an secara khusus. Ia diminta memperbaiki bacaan Qur’an terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke sana.

Meski sempat ditunda, keinginan itu tetap ia perjuangkan. Setelah siap secara bacaan, ia berangkat ke Gontor. Di sinilah ia mulai terbuka pada ragam pemikiran dan pendekatan pendidikan yang lebih luas. Di Gontor tidak ada pelajaran Al-Qur’an secara terstruktur, namun setiap santri terbiasa membaca sendiri selepas Maghrib. Bagi Panji muda, ini adalah momen penguatan kedisiplinan belajar mandiri.

Menjelang keberangkatan ke Gontor, ia membuka celengan bambu yang selama ini disimpan di tiang dapur rumah. Celengan itu berisi hasil tabungan dari aktivitas ekonomi kecilnya sejak kecil. Uang yang terkumpul digunakan untuk kebutuhan sekolah dan, sebagaimana ia ceritakan, sebagian besar habis untuk membeli buku.

Buku pertama yang ia cari dan beli adalah Di Bawah Bendera Revolusi karya Bung Karno. Buku itu menjadi penting bukan hanya karena isinya, tetapi karena maknanya bagi Panji: ia menemukan sosok yang pemikirannya sejalan dengan gagasan keindonesiaan yang ia anut. Ia membaca buku itu dengan khusyuk, menyimpan cetakan pertamanya hingga hari ini.

Hubungan batin antara Panji dan Bung Karno bukan hanya karena buku. Ia pernah bertemu langsung dengan Sang Proklamator dalam sebuah kunjungan ke Gresik. Ia mengingat betul bagaimana ayahnya menyuruhnya naik ke pundak agar bisa menjabat tangan Bung Karno. Momen singkat itu berkesan dalam, bahkan ia menyebutnya sebagai salah satu pengalaman paling membahagiakan dalam hidupnya.

Dari Bung Karno, Panji Gumilang menyerap semangat nasionalisme yang bercorak progresif. Ketika orang lain sibuk mengidentifikasi diri dengan mazhab-mazhab fikih, ia justru dengan tegas mengatakan:

“Mazhab saya Bung Karno dalam perjuangan, dan Pak Harto dalam ekonomi.”

Pernyataan itu bukan semata retoris, melainkan gambaran dari orientasi pemikirannya: keberpihakan pada kemajuan bangsa lewat pendidikan dan ekonomi, bukan perdebatan formalistik dalam agama.

Di Gontor pula, ia mengenal disiplin, kemandirian, dan semangat literasi. Ia menyimpan kisah bagaimana keuletan dan semangat belajar membuatnya lolos dari seleksi bahkan tanpa ujian, hanya dengan membaca naskah berbahasa Arab tentang Christopher Columbus. Pengalaman ini, menurutnya, menjadi pemicu untuk terus menekuni ilmu dan menjadikan pendidikan sebagai jalan perjuangan.


Menempa Diri di Ciputat dan Jakarta

Selepas dari Gontor, Panji Gumilang mengarahkan langkahnya ke Jakarta. Kota ini, bagi pemuda desa di era 1960-an, adalah simbol kemajuan dan pusat gagasan. Namun perjalanan ke Jakarta bukan tanpa rintangan. Orang tuanya sempat tidak mengizinkan. Ia pun mencari cara sendiri, menggadaikan janji kepada pembeli padi langganan orang tuanya untuk meminjam uang ongkos. Uang Rp250 yang ia dapatkan cukup untuk membeli tiket kereta menuju ibu kota.

Perjalanan kereta tidak sederhana. Dalam suasana politik pasca-1965 yang penuh ketegangan, pemeriksaan identitas sangat ketat. Ia tidak punya KTP, hanya berbekal kartu Pramuka dari Gontor. Anehnya, kartu itu yang justru membuatnya lolos dari pemeriksaan. Ia menyebutnya “jimat”.

Sesampainya di Jakarta, ia menghadapi realitas kota besar yang asing. Tidak tahu arah Ciputat, ia menyewa oplet dari Gambir dan membiarkan sopir berputar-putar. Sambil terkagum-kagum melihat bundaran Hotel Indonesia dan jembatan Semanggi, ia menyadari betapa jauhnya dunia kota dari desanya, tapi juga betapa menariknya dunia itu untuk dipelajari dan dimasuki.

Di Ciputat, ia mendaftar ke IAIN (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), mengambil jurusan Sastra Arab. Saat mendaftar, masa orientasi mahasiswa sudah hampir selesai. Namun karena kemampuannya membaca naskah Arab secara lancar, ia diterima tanpa harus mengikuti tes tertulis.

Selama di Ciputat, ia tidak hanya menjadi mahasiswa, tetapi juga aktif turun ke kampung-kampung sekitar. Lingkungan Ciputat saat itu belum sepopuler sekarang. Orang lebih mengenal kawasan Blok M atau Menteng, sementara IAIN sendiri masih asing bagi masyarakat sekitar. Panji Gumilang terlibat aktif dalam mengenalkan lembaga pendidikan itu ke masyarakat bawah. Ia mengajak warga menghadiri kegiatan-kegiatan kampus dan mendekatkan institusi pendidikan agama dengan realitas sosial.

Aktivisme sosial dan keilmuan ini memperluas perspektifnya. Ia tidak hanya menyerap ilmu dari dosen dan buku, tetapi juga belajar langsung dari interaksi sosial dan pengabdian. Ia juga terus berinteraksi dengan para tokoh tua Masyumi yang dulu pernah singgah dan tidur di rumah keluarganya. Dari mereka ia belajar bahwa dakwah dan pendidikan tidak cukup lewat ceramah, tetapi melalui percontohan nyata.

Di Ciputat pula benih-benih gagasan pendidikan alternatif mulai tumbuh. Ia membandingkan pengalaman di Gontor dan IAIN dengan kebutuhan masyarakat luas yang belum tersentuh pendidikan berkualitas. Ia mulai membayangkan bentuk pendidikan yang menyatu dengan kehidupan, yang tidak sekadar mengajarkan ilmu, tetapi membentuk manusia yang utuh. Gagasan ini kelak berkembang menjadi konsep pesantren modern Al-Zaytun.

Panji Gumilang, Pendidikan Jalan Hidup
Syaykh Panji Gumilang saat menyampaikan refleksi pemikiran dan perjalanan hidupnya dalam acara ulang tahun ke-79 di Al-Zaytun. (Foto: Tokoh.ID)

Refleksi Pendidikan dan Gagasan Besar

Dalam berbagai kesempatan, termasuk saat memperingati ulang tahunnya yang ke-79, Panji Gumilang selalu kembali ke tema pendidikan. Baginya, pendidikan bukan hanya urusan kurikulum, ijazah, atau peringkat, tetapi urusan peradaban. Ia melihat pendidikan sebagai kunci tunggal bagi Indonesia untuk menjadi bangsa besar dan abadi.

Syaykh Panji Gumilang merumuskan satu gagasan yang ia sebut sebagai novum gradum, sebuah teori pendidikan yang lahir dari ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan yang terkotak-kotak dan tidak mendunia. Dalam pandangannya, Indonesia selama ini lebih banyak menjadi konsumen model pendidikan asing, tanpa menemukan format sendiri yang relevan dengan struktur sosial dan budaya kepulauan.

Ia mengkritik keras tren pendidikan yang mengagung-agungkan universitas luar negeri sambil melupakan potensi dalam negeri. “Padahal nyanyian kita bukan Indonesia harga mati, tapi Indonesia abadi,” ujarnya. Ia memandang istilah “harga mati” justru membatasi ruang pertumbuhan. Sebaliknya, “Indonesia abadi” adalah cita-cita pendidikan jangka panjang.

Salah satu gagasan konkret yang ia sampaikan adalah pembangunan 500 kampus berasrama di seluruh daerah. Setiap kampus, menurutnya, cukup seluas 300 hektar dan fokus pada pendidikan berkualitas dengan sistem pengasuhan penuh. Di sanalah para calon pemimpin bangsa ditempa, tidak hanya dengan pelajaran kelas, tetapi juga kehidupan bersama, manajemen, tanggung jawab sosial, dan ekonomi praktis.

Ia menyebut bahwa investasi pendidikan sebesar apapun akan berbuah hasil dalam 15 tahun. Daripada membangun ribuan sekolah tanpa koordinasi dan kualitas, ia mengusulkan pendekatan sistemik dan terukur yang memadukan asrama, akademik, dan keterampilan hidup.

Gagasan ini tidak lahir dari ruang seminar atau kajian teoretik semata. Ia merujuk pada sejarah: dari Plato dan Akademia, Aristoteles dengan Lesium, hingga Bacon dengan Novum Organum. Ia menyadari bahwa Indonesia tidak bisa menyalin model-model luar itu, tetapi harus merumuskan bentuknya sendiri, dan novum gradum adalah respons atas kebutuhan itu.

Di usia 79 tahun, ia masih menaruh harapan besar pada pendidikan sebagai jalan perubahan. Ia percaya bahwa bangsa ini tidak akan bisa menjadi pemain utama di dunia jika tidak membenahi pendidikan sejak sekarang. Dalam pandangannya, pembangunan ekonomi, teknologi, bahkan budaya, semua berakar pada kualitas pendidikan.

Di Al-Zaytun, sebagian dari ide-ide itu telah dicoba. Ia menyebut lembaga itu sebagai model, bukan tujuan akhir. Dengan segala kritik dan kontroversi yang pernah menerpa, ia tetap memandang bahwa tugasnya adalah membangun sistem, bukan membela diri.


Syaykh Panji Gumilang Hari Ini

Di usia 79 tahun, Syaykh AS Panji Gumilang tetap berdiri di panggung utama gagasan pendidikan Indonesia. Ia tidak memilih pensiun atau menyepi, tetapi terus berbicara, menulis, dan membangun. Di forum ulang tahunnya, ia tidak berbicara tentang dirinya, tetapi tentang masa depan bangsa. Ia tidak meminta penghormatan, melainkan mengajak berpikir dan bertindak.

Gaya bicaranya tetap khas: mengalir, diselingi anekdot, kadang tajam, namun tetap membumi. Ia bukan orator retoris, tetapi komunikator naratif. Cerita-cerita kecil dari masa lalu ia rangkai menjadi refleksi besar tentang arah pendidikan dan bangsa.

Al-Zaytun, sebagai institusi yang ia pimpin, menjadi perpanjangan dari pemikirannya. Ia tidak memposisikan lembaga ini sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai eksperimen sosial yang terus berkembang. Ia menyadari bahwa tantangan dan kritik akan selalu ada, namun keyakinannya pada pentingnya pendidikan sebagai jalan perubahan membuatnya terus melangkah.

Panji Gumilang adalah tokoh yang dibentuk oleh waktu dan pengalaman. Dari sabak batu tulis di sekolah rakyat hingga merumuskan novum gradum, dari pasar Wage di desa hingga forum pendidikan di masjid Rahmatan Lil Alamin Al-Zaytun, ia menunjukkan bahwa pendidikan adalah proses seumur hidup, dan bahwa setiap proses itu berharga.

Melalui hidupnya, ia menyampaikan pesan sederhana namun penting: bahwa membangun bangsa tidak cukup dengan slogan, tetapi dengan kerja nyata, dimulai dari membangun manusia yang menjadi fondasi bagi Indonesia yang benar-benar abadi. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments