Awali Kebebasan Pers
Yunus Yosfiah
[ENSIKLOPEDI] Letjen (Purn) Muhammad Yunus Yosfiah, pejuang integrasi Timor Timur kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, 7 Agustus 1944, saat menjabat Menteri Penerangan Kabinet Reformasi (1998-1999) mengawali kebebasan pers di Indonesia dengan mempermudah pengurusan SIUPP (Surat Izin Pernerbitan Pers) untuk memenuhi tuntutan Reformasi 1998. Satu tahun kemudian dalam UU Pokok Pers No.40/1999, SIUPP pun ditiadakan.
Mantan Kepala Staf Sospol ABRI (1997) dan Ketua Fraksi ABRI di MPR (1997-1998) tersebut dipercaya Presiden BJ Habibie menjabat Menteri Penerangan menggantikan Dr. Alwi Dahlan. Kemudian dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), bukan hanya SIUPP yang ditiadakan tetapi Departemen Penerangan pun ditiadakan. Kebebasan pers pun mencapai puncaknya, bahkan tak jarang yang kebablasan.
Lalu, sejak pemerintahan Presiden Megawati (2001-2004), Departemen Penerangan pun bermetamorfosis menjadi Kementerian Negara Komunikasi dan Informatika, dengan tidak lagi berfungsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pers sebagaimana Deppen sebelumnya. Inilah salah satu hasil reformasi yang berhasil, jauh meninggalkan reformasi di bidang hukum.
Menteri Penerangan adalah jabatan puncak sepanjang karir Yunus Yosfiah. Setelah itu, dia masih terpilih menjadi Anggota DPR Fraksi PPP dan duduk di Komisi XI DPR (2004-2009). Saat itu, dia menjabat Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (2003-2008) mendampingi Hamzah Haz sebagai Ketua Umum. Setahun sebelumnya, pada peringatan puncak HUT PPP ke-29, di Surabaya, 5 Januari 2002, dia secara resmi bergabung ke PPP bersama 30 tokoh, di antaranya beberapa jenderal purnawirawan, Letjen (Purn) Andi Ghalib dan Mayjen (Purn) Amir Syarifudin.
Masa kecil hingga remaja, Yunus diisi dengan mengecap pendidikan di kampung halamannya, Rappang, Sulawesi Selatan, mulai dari SD (1956), SMP (1959) dan SMA bagian B (1962). Kemudian, dia masuk Akademi Militer Nasional di Magelang (1965). Setelah itu, dia memilih infanteri dan komando pasukan khusus melalui seleksi dan latihan yang amat ketat.
Kemudian, dia menapaki berbagai pendidikan dan latihan militer, di antaranya Sekolah Staf dan Komando (Sesko) di Fort Leavenworth, AS (1979-1980), Pendidikan komando di Royal College of Defense Studies, London (1989) dan Psychological Warfare, Psychology of Operation, di Fort Bragg, AS.
Yunus mengawali karir militernya sebagai Komandan Peleton Grup 2 Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)/Kopassandha. Kemudian menjadi Komandan Kompi Grup 2, Komandan Kompi Grup 4 dan Komandan Batalion Infanteri (Yonif) 744 Timor Timur. Naik lagi menjabat Wakil Komandan Grup 3 Kopassandha.
Lalu, dia menjabat Asisten Operasi Kepala Staf Komando ABRI XVI dengan pangkat Kolonel. Dalam level pangkat yang sama, dia kemudian menjabat Komandan Korem 164 Wiradharma, Dili, Timor Timur. Pangkatnya naik menjadi Brigjen (bintang satu) setelah dia diangkat menjabat Direktur Peningkatan Pembangunan dan Pendidikan Akademi Militer, lalu menjabat Kepala Staf Kodam VI/Tanjungpura, Kalimantan Timur (1990-1993).
Tim Susi di bawah pimpinan Kapten Inf Yunus Yusfiah tiba lebih awal di Kupang (19 April 1975), mereka semua berpakaian preman. Tim Susi masuk ke Maliana di Concelho Bobonaro sampai ke Atsabe. Tim Susi berhasil merebut bukit Balibo yang berjarak sekitar 10-15 kilometer dari Motaain, NTT) wilayah Indonesia. Bukit Balibo tersebut sangat strategis, sebab dari puncak bukit itu terlihat wilayah Atambua Indonesia, juga lautan biru yang membentang luas di antara dua wilayah Timor Timur dan Timor Barat (NTT). Bukit itu akhirnya dikuasai Blue Jeans Soldiers. Dalam baku tembak di Balibo, 16 Oktober 1975, antara Blue Jeans Soldiers dengan Fretilin itu dikabarkan lima orang wartawan Australia tewas.
Karir militernya makin naik dengan menjabat Komandan Pusat Senjata Infanteri (1993-1994) dengan menyandang pangkat Mayjen (bintang tiga). Lalu menjabat Panglima Kodam II/Sriwijaya, Palembang (1994-1995) dan Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (1995-1997). Pangkatnya naik menjadi Letjen (bintang tiga) saat menjabat Kepala Staf Sospol ABRI (1997), suatu jabatan yang amat strategis pada masa orde baru saat berlakunya dwifungsi ABRI. Dalam jabatan Kasospol ABRI tersebut dia pun merangkap jabatan sebagai Ketua Fraksi ABRI di MPR (1997-1998). Pada awal reformasi, dia mencapai jabatan puncak sebagai Menteri Penerangan.
Timor Timur
Yunus Yosfiah memiliki peran yang tidak ringan dalam proses integrasi Timor Portugal (Timor Timur) ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika berpangkat Mayor dia ditugasi memimpin 100 anggota pasukan khusus untuk diterjunkan ke Timor Timur. Namun, pasukan yang sudah dipersiapkan tersebut batal diberangkatkan.
Namun, dalam beberapa hari kemudian akibat situasi di Timor Portugis sudah semakin tidak menentu, Yunus Yosfiah dipanggil dan ditugaskan dalam operasi Flamboyan ke Timtim. Operasi Flamboyan melibatkan sejumlah perwira yang mempunyai latar belakang combat intelligence, berbasiskan Pasukan Khusus Sandi Yudha pilihan yang semula beranggotakan 100 personil yang telah dipersiapkan di bawah pimpinan Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Namun anggota pasukan kemudian ditambah menjadi 150 orang yang terdiri dari tiga tim yang diberi sandi nama perempuan yakni Tim Susi, Tuti dan Umi. Masing-masing tim beranggotakan 50 personel.
Tim Susi dipimpin (komandan) Mayor Infanteri Yunus Yosfiah dengan Wakil Komandan Kapten Infanteri Sunarto; Tim Tuti dipimpin Mayor Infanteri Tarub dengan Wakil Komandan Kapten Infanteri Agus Salim Lubis; dan Tim Umi dipimpin Mayor Infanteri Sofian Effendi dengan Wakil Komandan Kapten Infanteri Sutiyoso. Ketiga komandan adalah lulusan Akademi Militer (Akmil) 1965, sedangkan ketiga wakil komandan adalah lulusan Akmil 1968.
Operasi Flamboyan (intelijen tempur terbatas) ke Timor Timur itu merupakan operasi pasukan sandiyudha dimana posisi mereka sebagai sukarelawan yang beroperasi secara rahasia, tidak dapat mengharapkan dukungan resmi dari pemerintah. Mereka tidak dapat mengandalkan dukungan perbekalan dan amunisi dari garis belakang secara terus menerus. Sehingga kedudukan dan keberadaan mereka amat rawan, berisiko sangat tinggi.
Itulah sebabnya, maka para pasukan sukarelawan yang terpilih melaksanakan tugas tersebut melalui seleksi ketat yang membutuhkan kualifikasi tinggi. Penugasan operasi tersebut bertaruh nyawa dan siap dengan segala risiko, termasuk tidak kembali lagi dalam keadaan hidup.
Tiga tim, yaitu Tim Susi, Tim Tuti dan Tim Umi sebagai pasukan pemukul Operasi Flamboyan semua diterjunkan dengan penyamaran berambut gondrong, berpakaian sipil, kemeja ketat dan celana jeans, sehingga belakangan disebut sebagai the blue jeans soldiers. Pusat komando ketiga tim berada di Motaain. Ketiga tim disebar menyusup ke berbagai wilayah di Timor Timur (Timor Portugis) dengan berbagai samaran nama maupun profesi, ada sebagai pedagang, di antaranya pedagang kuda (karena penduduk Timor sebagian peternak kuda Sumbawa), pekerja listrik (khusus pulket di Komoro), pelajar-mahasiswa, dan sebagainya.
Tim Susi di bawah pimpinan Kapten Inf Yunus Yusfiah tiba lebih awal di Kupang (19 April 1975), mereka semua berpakaian preman. Tim Susi masuk ke Maliana di Concelho Bobonaro sampai ke Atsabe. Tim Susi berhasil merebut bukit Balibo yang berjarak sekitar 10-15 kilometer dari Motaain, NTT) wilayah Indonesia. Bukit Balibo tersebut sangat strategis, sebab dari puncak bukit itu terlihat wilayah Atambua Indonesia, juga lautan biru yang membentang luas di antara dua wilayah Timor Timur dan Timor Barat (NTT). Bukit itu akhirnya dikuasai Blue Jeans Soldiers. Dalam baku tembak di Balibo, 16 Oktober 1975, antara Blue Jeans Soldiers dengan Fretilin itu dikabarkan lima orang wartawan Australia tewas. Konon, kelima wartawan itu berkeinginan meliput pertempuran sengit di Bukit Balibo tersebut.
Kemudian, Yunus mendapat tuduhan berat dari pihak Australia, karena dianggap bertanggung jawab atas kematian lima wartawan Australia, peritiwa yang dikenal dengan ‘Balibo Five’, tersebut. Ada saja pihak-pihak luar negeri yang memberi kesaksian yang memberatkannya. Namun, dia membantah semua tuduhan itu. “Semua kesaksian-kesaksian itu bohong,” kata Yunus. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com