Bapak Kepolisian Negara RI

Soekanto Tjokrodiatmodjo
 
0
995
Soekanto Tjokrodiatmodjo
Soekanto Tjokrodiatmodjo | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (RS Soekanto) lahir di Kampung Sawah, Bogor, Jawa Barat, 7 Juni 1908. Komisaris Jenderal Polisi ini adalah Kepala Djawatan Kepolisian Negara (Kepolisian Negara RI) Pertama (1945-1959). Dia adalah Peletak Dasar Kepolisian Negara RI dan ditetapkan menjadi Bapak Kepolisian Negara RI. Beliau meninggal di Jakarta, 24 Agustus 1993. Namanya juga diabadikan di Rumah Sakit Polri RS Soekanto Tjokrodiatmodjo.

RS Soekanto adalah perumus Pedoman Hidup Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dikenal dengan Tri Brata Kepolisian Negara, yaitu: 1) Polisi itu abdi utama nusa dan bangsa; 2) Polisi itu warga Negara yang utama dari negara; 3) Polisi itu wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat.

Sebagai Kepala Kepolisian Negara RI pertama, Soekanto memiliki gagasan agar kepolisian berdiri sendiri di dalam satu kementerian agar bisa independen, profesional, serta tidak diintervensi oleh politik. Cita-cita RS Soekanto adalah menyamakan persepsi yang sifatnya visioner sesuai dengan misi Polri sebagai penegak hukum, pengayom dan pelindung masyarakat. Dia menginginkan polisi menjadi otonom untuk mengatur dan membangun dirinya, yang merupakan ciri atau karakter dari seorang profeional.

Bagi Soekanto, titik berat tugas tugas polisi semestinya pada segi pencegahan, sesuai dengan prinsip polisi modern. Soekanto juga menekankan dispilin tugas yang tinggi. Dia juga membangun korps kepolisian negara yang dihormati serta disegani oleh masyarakat bukan karena persenjataannya, melainkan karena watak dan kepribadiannya.

RS Soekanto adalah salah seorang putera bangsa yang amat beruntung pada masanya. Dia mendapat kesempatan mengenyam dan menamatkan pendidikan di Frobel School, Europese Lagere School (ELS), Hoogere Burger School (HBS), dan Rechts Hoogeschool (hanya setahun). Peluang itu dia peroleh karena ayahnya, Raden Ngabehi Martomihardjo, adalah seorang Asisten Wedana di Jasinga, Bogor. Ibunya bernama Raden Ajeng Kasmirah. Keluarganya tinggal di lembah Sungai Cisadane yang subur.

Sebagai anak pertama, Soekanto dididik disiplin Barat oleh ayahnya dan ajaran Islam oleh budenya. Dia diharapkan bisa memberi contoh untuk adik-adiknya. Dia pun tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tabah, teliti, dan tidak mudah menyerah.

Pendidikan formal sudah dinikmatinya sejak kecil, mulai Frobel School (Taman Kanak-kanak Belanda) selama dua tahun. Kemudian, dia melanjutkan ke Europeesche Lagere School (ELS – Sekolah Rakyat Belanda) di Bogor hingga kelas dua. Saat kelas tiga, dia ikut pamannya tinggal di Tangerang, yang dikitari perkebunan luas. Di sini dia menampatkan pendidikan sekolah dasarnya. Saat itu, Soekanto kecil sempat punya cita-cita menjadi insinyur pertanian.

Dia juga amat gemar membaca. Terutama sangat berminat membaca artikel koran tentang alam Nusantara. Dia sangat mengagumi keindahan alam Nusantara. Hal ini juga menumbuhkan minatnya menggambar. Nilai menggambarnya selalu bagus, bahkan pernah sembilan. Dia juga senang musik, menyanyi, dan bermain catur.

Soekanto juga seorang pribadi yang gampang akrab dengan semua kalangan. Dia senang bergau dan bermain dengan teman-temannya. Antara lain sering mandi di Cisadane. Bahkan kala senggang, dia senang keluar masuk hutan berburu berbekal senapan angin pamannya.

Setamat ELS, Soekanto melanjut ke Hoogere Burger School (HBS) di Bandung. Namun, lantaran biaya hidup yang tinggi di Bandung, memaksanya kembali ke Bogor. Dia meneruskan HBS-nya di Jakarta. Biaya hidup lebih hemat karena dia dapat pergi-pulang Bogor-Jakarta dengan kereta api, dan dilanjutkan naik sepeda dari Stasiun Gambir ke sekolahnya.

Advertisement

Semasa di HBS, Soekanto aktif di kepanduan. Kegiatan ini mendatangkan kesadaran nasionalisme. Walaupun kegiatan kepanduan (Jong Java) itu mengakibatkan waktu belajarnya tersita. Sehingga dia lulus HBS lebih lama dari yang seharusnya yang lima tahun.

Setelah lulus HBS pada 1929, dia melamar ke Sekolah Aspiran Komisaris Polisi (Aspirant Commisaris Van Poiitie) di Sukabumi. Tapi ditolak. Dia ditawari kesempatan mengikuti pendidikan Hoofd Agent (kursus agen polisi). Soekanto pun menolak. Dia sempat masuk Rechts Hoogeschool (hanya setahun). Karena, kemudian dia menerima telegram dari Sekolah Aspiran Komisaris Polisi: Dia diterima. Soekanto sangat mensyukurinya karena pada saat itu sangat sulit bagi pribumi bersekolah di situ. Soekanto merupakan siswa Angkatan VIII dan harus menyelesaikan pendidikan selama tiga tahun. Dia pun sungguh-sungguh untuk meraih prestasi di Sekolah Aspiran Komisaris Polisi itu. Prestasinya dalam pelajaran menembak sangat menonjol saat itu.

Ketika naik ke tingkat dua, Soekanto menikah dengan Hadidjah Lena Mokoginta, anak Raja Bolaang Mongondow, pada 21 April 1932 di Selabintana, Sukabumi. Pernikahan itu menambah semangatnya untuk segera lulus.

Pada tahun 1933, dia lulus dari pendidikan polisi dengan pangkat Commisaris van Politie 3 e Klass (Komisaris Polisi Klas III). Hal ini sangat membanggakannya karena sebagai pribumi dia dapat memerintah anak buah yang berkebangsaan Belanda. Hal yang amat  langka pada saat itu. Soekanto sering berpindah tempat tugas. Pos pertamanya adalah Semarang. Dia banyak mendapat tugas reserse. Salah satu prestasinya, pengungkapan pembunuhan orang Belanda.

Tempat tugas lain yang meninggalkan kesan baginya adalah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1940. Dia pun mencapai pangkat tinggi sebagai Komisaris Klas I dalam jabatan Ajunct Technisch Leider der Veldpolitie van Residentie Zuid-Borneo en Oost-Borneo. Saat itu beredar bebas rompi yang kata penjualnya sakti antipeluru. Sebagai Komisaris Polisi, Soekanto membongkar penipuan ini dengan cara memakaikan rompi itu ke kambing lalu menembaknya. Si kambing sial langsung menemui ajal, demikian juga penipuan yang terjadi.

Tahun 1942 Jepang masuk ke Hindia Belanda. Soekanto pun diangkat menjadi Itto Keishi (Komisaris Tingkat I), berkedudukan di Jakarta. Saat itu dia mengusulkan pembentukan pendidikan kepolisian khusus. Jepang setuju, sehingga berdirilah Jakarta Shu Keisatsu Ga/c/co. Tetapi dia tak bisa berlama-lama di situ karena diisukan berdarah Belanda. Dia dipindahkan Jepang ke sekolah polisi Jawa Keisatsu Ga/c/co di Sukabumi sebagai instruktur.

Pada 17 Agustus 1945, Soekarno – Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Berita ini sampai ke sekolah polisi di Sukabumi. Soekanto langsung menurunkan bendera Jepang dan bersama anak didiknya merebut senjata Jepang.

Kemudian, pada 29 September 1945, Presiden Soekarno menunjuk Soekanto membentuk Polisi Nasional sekaligus mengangkatnya menjabat Kepala Djawatan Kepolisian Negara (Kepala Kepolisian Negara RI) pertama. Dia mengemban tugas tersebut hingga Desember 1959. Suatu tugas yang amat berat. Karena Republik masih labil, personel kurang, dan Sekutu datang. Lantaran suasana kurang aman, kantor Jawatan Kepolisian Negara pun sempat dipindahkan ke Purwekerto. Di sinilah kepolisian berkembang, ditandai dengan berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian dan dibentuknya satuan polisi yang mampu bergerak cepat dan beriungsi sebagai pasukan pemukul, Mobrig (Mobile Brigade) yang dipimpin oleh IP I M. Jasin.

Wakil Presiden Mohammad Hatta kemudian memerintahkan Soekanto bersekolah ke Amerika guna mempelajari bentuk, susunan, dan perlengkapan kepolisian. Akibat Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan Republik Indonesia Serikat (RIS), kepolisian negara pun terbagi-bagi atas negara bagian. Kewenangannya tidak lagi di bawah Menteri Dalam Negeri, tetapi Perdana Menteri I. Pada Maret 1950, RIS bubar dan kembali menjadi Republik Indonesia, Kepolisian pun kembali menjadi Jawatan Kepolisian Negara. Soekanto lantas membentuk 11 kepolisian provinsi dan membangun gedung Jawatan Kepolisian Negara di Jalan Trunojoyo, Jakarta.

Seiring waktu, tugas kepolisian pun semakin bertambah. Polisi tidak saja dituntut menjaga keamanan di darat, tetapi juga di air dan udara, setta menangkal ancaman kejahatan lintas negara. Untuk mengatasinya dibentuklah Polisi Perairan, yang di dalamnya ada Seksi Udara, Polisi Perintis, Polisi Kereta Api, Polisi Wanita. Pada 1950, seksi Public Relation dibentuk dengan tugas menjalin hubungan dengan masyarakat dan semua instansi yang ada di dalam maupun luar negeri. Pada 1952, Indonesia bergabung dengan interpol yang berpusat di Paris, kelanjutannya Jawatan Kepolisian Negara ditunjuk sebagai Central National Beureau (NEC). Penulis: Ch. Robin Simanullang; Sumber utama: Buku Museum Polri 2009 | Bio TokohIndonesia.com |

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini