Lestarikan Musik Keroncong
Tuti Maryati
[DIREKTORI] Tuti Maryati atau yang sebelumnya dikenal sebagai Tuti Tri Sedya menapaki panggung musik keroncong sejak tahun 80-an. Bintang Radio-Televisi (BRTV) 1986 yang telah menelurkan belasan album ini berpandangan bahwa alunan musik keroncong yang mendayu-dayu tidak sekadar bicara soal patah hati tapi juga semangat cinta Tanah Air, optimisme, dan gairah hidup.
Perempuan ayu yang lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 8 Oktober 1956 ini melalui masa remajanya di tanah Pasundan. Ia tumbuh sebagai gadis multi bakat yang aktif dengan segudang prestasi. Saat bersekolah di SMA Negeri 9 Bandung, tepatnya pada tahun 1974, ia pernah menjadi salah satu anggota Paskibra di Pasukan 8, sebagai pemegang duplikat Bendera Pusaka. Setahun kemudian, ia terpilih dalam pertukaran pelajar pada ‘Indonesia-Canada World Youth Exchange Program’.
Meski sibuk dengan beragam aktivitas, prestasi putri Djakaria ini di bidang akademis cukup membanggakan. Ia termasuk lulusan terbaik program ekstension ASMI tahun 1977. Memasuki tahun 80-an, setelah kuliahnya selesai, Tuti mulai menjajal kemampuannya di dunia tarik suara dengan mengikuti sejumlah kompetisi menyanyi. Hasilnya, Tuti sukses menyabet gelar Juara Lomba Keroncong di tingkat Antar Kotama TNI-AL Se-Jakarta tahun 1983. Tiga tahun kemudian, ia keluar sebagai Juara 1 Bintang Radio-Televisi (BRTV) Tingkat Nasional sekaligus mendapatkan tawaran rekaman album keroncong di PT Gema Nada Pertiwi. Sejak itu, ia mulai merintis karirnya sebagai penyanyi profesional.
Meski jalan menuju kesuksesan penuh liku namun ia tetap tabah melalui semua proses itu. Awalnya, predikat sebagai Juara Keroncong BRTV sempat membuat Tuti dicemooh penonton. Namun ia tidak berkecil hati, Tuti yang sudah mantap menekuni karirnya di dunia olah vokal tak kehabisan akal. Demi memanjakan telinga para pendengar, ia menyanyikan lagu yang tengah populer saat itu. Strateginya berhasil, tepuk tangan meriah bergema di lapangan atau gedung tempatnya unjuk kebolehan. Sementara di akhir penampilan, ia baru membawakan lagu Keroncong. Penonton yang awalnya memandang sebelah mata genre musik itu pun berbalik memberikan apresiasi pada Tuti.
Tuti membuktikan, jenis musik apapun akan terasa enak dinikmati jika si penyanyi piawai membawakannya, tak terkecuali keroncong yang buat sebagian orang masih dipandang sebagai musik yang kuno. Agar dapat bernyanyi dengan baik, Tuti mengaku tidak pernah mempelajari teknik menyanyi keroncong secara khusus. Ia hanya belajar dari mendengar cara menyanyi para seniman keroncong idolanya yakni Waldjinah dan Sundari Soekotjo.
Di sisi lain, Tuti sebenarnya memaklumi respon sebagian masyarakat yang beranggapan keroncong sebagai musik yang ketinggalan zaman atau bahkan membuat pendengarnya ngantuk. Menurut Tuti hal itu mungkin karena para penyanyinya terkesan statis, lagunya hanya itu-itu saja, atau memang tidak ada produser yang mau merekam dan mengiklankannya di TV sehingga dalam perjalanannya, musik ini menjadi kurang berkembang.
Meski jalan menuju kesuksesan penuh liku namun ia tetap tabah melalui semua proses itu. Awalnya, predikat sebagai Juara Keroncong BRTV sempat membuat Tuti dicemooh penonton. Namun ia tidak berkecil hati, Tuti yang sudah mantap menekuni karirnya di dunia olah vokal tak kehabisan akal.
Padahal kata Tuti, keroncong merupakan kekayaan Bangsa Indonesia yang seharusnya dilestarikan keberadaannya, bukan hanya di mulut dan cita-cita tetapi harus diwujudkan dengan tindakan yang seutuhnya untuk kemajuan keroncong itu sendiri. Tuti menambahkan, saat ini seniman Keroncong dapat dihitung dengan jari, dan kebanyakan kurang bisa berkomunikasi.
Oleh karena itu, agar musik warisan nenek moyang ini dapat diterima semua kalangan, kemasannya perlu diperbaharui. MIsalnya, menurut Tuti, ketika tampil seorang penyanyi keroncong, tak harus berdiri mematung kaku. Komunikasi dengan penonton juga tidak melulu menggunakan gaya bahasa yang terlalu formal, namun bisa sedikit lebih santai tetapi tetap santun, ramah, dan akrab sehingga dapat membangun suasana yang lebih hangat.
Tak hanya memberikan teori, ibu tujuh anak ini juga melakukan serangkaian kegiatan dalam usaha pelestarian musik keroncong. Misalnya dengan mendirikan Warung Keroncong Gaul (WKG) yang bertujuan sebagai media berkumpulnya insan pecinta keroncong, serta sebagai ajang bagi para penyanyi keroncong muda yang ingin menjajal suaranya dan dinikmati pengunjung yang datang di warung tersebut. Dari sanggar tersebut sudah lahir sejumlah penyanyi keroncong muda yang beberapa diantaranya telah berhasil masuk dapur rekaman, seperti Sriyono, seorang tuna netra bersuara emas.
“Dengan saling menguatkan dan meyakinkan bahwa dengan memajukan keroncong sebagai bagian dari budaya Indonesia, maka bangsa ini dapat maju seutuhnya, karena bangsa yang dapat menghargai budayanya sendiri adalah bangsa yang bermartabat,” kata Tuti memaparkan harapannya kepada segenap pelaku, penikmat dan pecinta keroncong.
Selain masih aktif menyanyi, Tuti juga tercatat sebagai presenter sekaligus koordinator acara Gebyar Keroncong di TVRI menggantikan posisi Sundari Soekotjo. Kesibukan Tuti melestarikan musik keroncong terus berlanjut ke belakang kamera. Ia bahkan merelakan garasi rumahnya yang terletak di bilangan Cinere untuk dijadikan tempat latihan para musisi yang tergabung dalam Hamkri (Himpunan Artis Keroncong Indonesia).
Komitmennya untuk terus memberi dukungan pada pengembangan musik keroncong memang tak disangsikan lagi. Walau popularitas keroncong masih belum menyaingi genre musik lain seperti rock atau pop, ia mulai melihat perkembangan ke arah yang lebih positif. Misalnya, semakin banyaknya generasi muda yang tampil dalam acara Gebyar Keroncong. Mereka membawa keroncong dengan gaya yang lebih segar. “Intro dan koda bisa dibuat progresif. Tetapi, pokok komposisi tetap keroncong asli. Jadi, tak jauh dari pakem,” kata Tuti.
Keroncong memang telah menjadi bagian dari hidup Tuti. Banyak dari lagu keroncong yang pernah dibawakannya seakan mewakili babak-babak kehidupan Tuti, salah satunya Stambul Terkenang, sebuah lagu yang bercerita soal kegagalan cinta. Pernikahan pertamanya dengan Tri Sedya, pria yang telah memberinya 7 orang anak, karam di tahun 2005. Setelah bercerai, ia menanggalkan nama Tuti Tri Sedya dan kembali memakai nama aslinya Tuti Maryati.
Namun, betapapun getirnya pengalaman hidup itu, Tuti tidak pernah mengekspresikannya dalam sikap bernyanyi yang mengiba-iba atau terisak-isak dalam tangis. Bagaimanapun, keroncong tetap harus membawa rasa tenteram dan damai. “Keroncong itu tidak bisa meledak-ledak seperti musik rock. Jiwa keroncong itu halus dan sabar. Lagu sesedih apa pun, menyanyinya tak perlu sesenggukan, terisak-isak. Kami ekspresikan itu lewat lagu dan mungkin juga wajah. Lagian, kalau sesenggukan kan enggak bisa menyanyi he-he…,” kata Tuti setengah bergurau.
Pernah suatu kali dalam pembuatan video klip Stambul Kecewa, sutradara meminta Tuti meneteskan obat tetes mata agar terkesan sedang menangis. Namun Tuti menolak, lantaran ia punya cara sendiri agar bisa menangis yakni dengan memejamkan mata dan mengingat pengalaman hidup. Meski demikian, Tuti menegaskan, keroncong tidak hanya bicara soal patah hati, tapi juga membawa semangat cinta Tanah Air, optimisme, dan gairah hidup.
Tuti Maryati yang kini telah membangun hidup barunya dengan J. Sarwono sudah menelurkan belasan album keroncong, diantaranya Tuti Maryati in Japanese Keroncong and Degung Sundanese, Keroncong Pilihan Dari Masa ke Masa, Album Emas Keroncong Tuti Tri Sedya, dan masih banyak lagi.
Selain keroncong, Tuti juga menguasai beragam jenis musik bahkan lagu berbahasa asing. Semua itu didapat dari pengalamannya menyanyi di berbagai negara.Tahun 1988, Tuti pernah penyanyi di depan para tamu negara di Istana Negara.
Sekitar tahun 2008, penggemar masakan Sunda ini merilis album pop pertamanya yang bertajuk Sejuta Kenangan Dalam Lagu Cinta. Album yang berisi 13 tembang lawas bertema cinta, seperti Juwita Malam, Senja Di Kaimana, Teluk Bayur dan Kisah Cinta ini adalah sekaligus perwujudan obsesi dan pembuktian diri seorang Tuti Maryati. Hasilnya, melalui serangkaian lagu kenangan manis berbalut alunan lembut ini, tak berlebihan bila Tuti dikategorikan sebagai penyanyi serba bisa.
Di luar kesibukannya di dunia musik, Tuti masih menyempatkan waktunya untuk merawat diri dan keluarga. Waktu senggangnya sebagian dihabiskan di lapangan tenis yang terletak tak jauh dari kediamannya. “Saya tak takut panas matahari. Kulit memang jadi item, tetapi yang lebih penting kan sehatnya,” kata Tuti yang cukup bermain tenis 2-4 set tiga kali seminggu.
Sementara untuk urusan makanan, sebenarnya tak ada makanan yang menjadi pantangan. Namun, hingga saat ini, yang tak bisa ditolak adalah makanan yang berwujud sayuran atau lalapan. Misalnya urap dan pecel yang menjadi makanan favoritnya. Kini di usianya yang sudah lebih dari separuh abad, Tuti mengaku harus membatasi diri untuk makanan berlemak. Baginya lebih baik mengurangi dari sekarang ketimbang nantinya dilarang. Sekarang ia lebih menjaga pola makanan.
Meski sudah tak muda lagi, semangat belajar Tuti rupanya masih menggebu-gebu. Pertengahan tahun 2006, ia meneruskan studinya ke Fakultas Hukum UPN Veteran, Jakarta. eti | muli, red