Maestro Keroncong Bengawan Solo
Gesang Martohartono
[ENSIKLOPEDI] Dia dijuluki maestro keroncong Indonesia. Gesang yang bernama lengkap Gesang Martohartono, pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 1 Oktober 1917, seorang penyanyi dan pencipta lagu keroncong ternama. Namanya melegenda terutama berkat lagu Bengawan Solo ciptaannya. Sebuah lagu keroncong yang menyeberangi lautan. Lagu yang amat terkenal di Indonesia dan wilayah Asia lainnya, terutama di Jepang.
Lagu ‘Bengawan Solo’ ciptaannya itu telah diterjemahkan ke lebih 13 bahasa, di antaranya bahasa Inggris, Tionghoa, dan Jepang. Lagu yang sangat digemari di oleh lintas bangsa dan negara. Lagu keroncong yang telah menjadi bahasa seni publik yang melintasi dunia. Lagu yang telah menjembatani pertukaran kebudayaan pada akar rumput, terutama antara Jepang dan Indonesia.
Gesang menciptakan lagu ini saat beusia 23 tahun, pada tahun 1940. Ketika itu, Sang pemuda Gesang, tengah duduk di tepi Bengawan Solo yang amat dikaguminya. Kekaguman itu menginspirasinya menciptakan lagu Bengawan Solo. Lama dia merenung dan menghimpun enerji kreasinya, sekitar enam bulan proses penciptaan lagu itu.
Lagu Bengawan Solo itu bersahaja, dan itulah kekuatannya. Sehingga merakyat dan melegenda. Bukan hanya digemari di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara, terutama Jepang. Bahkan di Jepang, lagu Bengawan Solo itu sudah pernah digelar dalam salah satu film layar lebar.
Namun, lagu Bengawan Solo ciptaannya, telah mengangkat namanya, tidak lagi hanya sebagai penyanyi di pesta kecil, tetapi seorang pencipta lagu yang melegenda.Pada awalnya, Gesang bukanlah seorang pencipta lagu. Dia hanya seorang penyanyi lagu-lagu keroncong untuk acara dan pesta kecil-kecilan di kota Solo. Namun, lagu Bengawan Solo ciptaannya, telah mengangkat namanya, tidak lagi hanya sebagai penyanyi di pesta kecil, tetapi seorang pencipta lagu yang melegenda.
Selain lagu Bengawan Solo, Gesang juga menciptakan beberapa lagu, namun tidak sepopuler Bengawan Solo, di antaranya: Jembatan Merah, Pamitan (versi bahasa Indonesia dipopulerkan oleh Broery Pesulima), Caping Gunung, Aja Lamis, Saputangan, Keroncong Si Piatu, Roda Dunia, Dunia Berdamai, Tirtonadi, Pemuda Dewasa, Luntur, Bumi Emas Tanah Airku, Dongengan, dan Sebelum Aku Mati. Sebagian lagu ini telah menjadi judul album emasnya.
Tak banyak penyanyi atau pemusik Indonesia yang bisa menjadi legenda di masyarakat. Dan, tak banyak pula dari penyanyi atau pemusik Indonesia yang bisa bertahan hingga usia 80-90-an tahun. Gesang bahkan telah membuktikan bahwa dalam usia senjanya (ke-85 tahun), masih mampu merekam suaranya. Rekaman bertajuk Keroncong Asli Gesang itu diproduksi PT Gema Nada Pertiwi (GMP) Jakarta, September 2002.
Peluncuran album rekaman itu bertepatan dengan perayaan ulang tahun Gesang ke-85, yang diadakan di Hotel Kusuma Sahid di Solo, Selasa (1/10/2002) malam. Hendarmin Susilo, Presiden Direktur GMP, menyebutkan produksi album rekaman Gesang yang sebagian dibawakan sendiri Gesang, merupakan wujud kecintaan dan penghargaannya pada dedikasi sang maestro terhadap musik keroncong.
Sudah empat kali PT GMP memproduksi album khusus Gesang, yaitu pada 1982, 1988, 1999, dan 2002. Dari 14 lagu dalam rekaman compact disk (CD), enam di antaranya merupakan lagu yang belum pernah direkam. Yaitu Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939). Selebihnya lagu-lagu lama karya Gesang, yang temanya menyinggung usia Gesang yang sudah senja seperti Sebelum Aku Mati, Pamitan, dan tentu saja Bengawan Solo.
Ini memang lebih sebagai album penghormatan atas sebuah legenda daripada sebuah produk yang tak punya selling point. Dalam album ini suara Gesang agak “tertolong” karena didampingi penyanyi-penyanyi kondang: Sundari Soekotjo, Tuty Tri Sedya, Asti Dewi, Waldjinah.
“Saat rekaman, saya sedang sakit batuk, sehingga suara saya sangat jelek. Sehingga beberapa kali terpaksa harus diulang-ulang,” kata Gesang kepada TokohIndonesia.com di sela-sela perayaan HUT ke-85-nya yang digelar Yayasan Peduli Gesang yang diketuai Ny Yokoyama Kazue, di Kota Solo. Menurut dia, sebenarnya aransemen dan iringan musik oleh Orkes Keroncong Bahana itu dia rasa kurang cocok untuk kondisi vokalnya.
Di usia senjanya, Gesang tinggal di Jalan Bedoyo Nomor 5 Kelurahan Kemlayan, Serengan, Solo, bersama keponakan dan keluarganya. Sebelumnya, dia tinggal di rumahnya Perumnas Palur pemberian Walikota Surakarta tahun 1984 selama 20 tahun. Pada tahun 1962, dia telah berpisah dengan istrinya. Dia pun memilih untuk hidup sendiri dan tak mempunyai anak.
Pada tahun 1983, Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo, sebagai bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik keroncong, Pengelolaan taman ini didanai oleh Dana Gesang, sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang. * Tian Son Lang