Bejana yang Sedang Ditempa
Teras Narang03 | Politisi yang Moderat

Sesuai keinginan semula dari Sang Ayah, agar Teras Narang kelak menjadi politisi negarawan, setelah terpilih menjadi anggota pengurus DPD PDI Perjuangan Kalimantan Tengah (1991), pada Pemilu 1999 Teras Narang berhasil terpilih menjadi anggota DPR/MPR RI. Jauh hari sebelumnya, di tahun 1988 Agustin Teras Narang sudah mulai bergabung dengan PDI Perjuangan.
Ketua Forum Komunikasi Warga Kalimantan Tengah, Jakarta (sejak 1992), ini berhasil melenggang ke Senayan mewakili Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan dari daerah pemilihan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Dalam tiga setengah tahun terakhir periode masa jabatan 1999-2004, ia dipercaya menjabat sebagai Ketua Komisi II DPR RI, membidangi masalah hukum dan politik dalam negeri.
Agustin Teras Narang praktis membutuhkan waktu sekitar 20 tahun (1979-1999) berprofesi sebagai pengacara kondang, untuk membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan praktis tentang soal-soal hukum. Ia mempunyai kesiapan mental dan moral yang penting untuk pembentukan diri. Karena itu di lembaga DPR RI, kendati baru pada periode pertama ia sudah dipercaya memimpin Komisi II DPR RI yang tergolong keras dan sarat perbedaan kepentingan politik itu. Selain sebagai Ketua Komisi II, dan Ketua Komisi III pada periode jabatan kedua tahun 2004-2009, kiprah Agustin Teras Narang tergolong produktif pula.
Sejumlah jabatan dan posisi penting pernah dipercayakan kepada Teras Narang. Seperti sebagai Anggota Panitia Anggaran DPR RI, Anggota Panja Bank Bali DPR RI, Anggota Panja RUU Pemilu DPR RI, Anggota Panja RUU Perpajakan DPR RI, Anggota Panja RUU HAM DPR RI, Anggota Panja RUU Kepulauan Riau DPR RI, Anggota Panja Pemilihan Calon Hakim Agung DPR RI, Anggota Pansus RUU Propinsi Gorontalo DPR RI, Anggota Panja BI DPR RI, Anggota Sub Komisi Otonomi Daerah DPR RI.
Pada periode masa jabatan kedua 2004-2009, Teras Narang dipercaya sebagai Ketua Komisi III DPR RI membidangi masalah hukum, perundang-undangan, hak asasi manusia (HAM), dan keamanan. Ia bermitra kerja dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, Komisi Nasional HAM, Setjen Mahkamah Agung, Setjen Mahkamah Konstitusi, Setjen MPR, Setjen DPD, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. AgustinTeras Narang dibantu tiga wakil ketua, yakni M. Akil Mochtar, Taufikurrahman Saleh, dan Yoseph Umar Hadi.
Sebagai politisi di lembaga kerakyatan yang terhormat, jiwa dan semangat sebagai pengacara yang piawai tak pernah lepas dari kepribadian Teras Narang. Jika ketika masih aktif sebagai advokat ia adalah pengacara bagi klien, maka ketika berada di lembaga DPR Agustin Teras Narang adalah pengacara yang membela dan memperjuangkan kepentingan konstituen rakyat pemilih yang diwakili.
Politisi Moderat
Pengalaman-pengalaman semasa advokat sangat berguna bagi Agustin Teras Narang saat duduk sebagai wakil rakyat di lembaga DPR. Ia adalah advokat dan politisi yang moderat, yang sulit terpancing untuk berbicara keras atau mengungkapkan sisi-sisi negatif pihak lain.
Teras cenderung memandang orang lain secara wajar dan dari segi positifnya. Seperti yang diperlihatkannya ketika memimpin rapat gabungan antara Komisi II dan Komisi III DPR RI, dengan Jaksa Agung Abdurahman Saleh pada Senin 7 Februari 2005. Rapat berlangsung ricuh karena seorang anggota Dewan menyebutkan perumpamaan, betapa jangan sampai Jaksa Agung sebagai ustad di kampung maling.
Teras Narang menyebutkan kericuhan itu mencerminkan bahwa Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh tidak memahami fungsi dan peran lembaga legislatif. Karena itu Abdurahman Saleh, kata Teras perlu introspeksi. Sebab omongan Jaksa Agung pada peristiwa yang disesalkan itu sudah tidak lagi didengar oleh bawahan.
Teras Narang merasa galau akan sikap jajaran Kejaksaan Agung. Di mana, pada saat disuruh berhenti oleh Jaksa Agung mereka tidak mau berhenti. Teras berpandangan, ketika seorang pemimpin sudah tidak lagi didengar oleh bawahan maka dia harus melakukan introspeksi, dirinya apakah layak, apakah pantas, menjadi pemimpin.
Buah Kepemimpinan Sejak Kecil
Teras merasa bersyukur diberi kemampuan oleh Tuhan untuk mendinginkan hati anggota Komisi II dan Komisi III DPR, dimana tidak ada seorang pun yang emosional dalam menghadapi sikap tamu dari Kejaksaan Agung di DPR.
Kemampuan Teras Narang mengelola kericuhan, hingga permasalahan tak perlu berlarut-larut adalah buah kepiawaiannya berorganisasi sejak masa kecil. Dalam lingkungan kecil, semenjak duduk di bangku SD, Teras Narang sudah menjadi pemimpin bagi sebuah organisasi persatuan sepakbola. Ia tetap menjadi pemimpin persatuan sepakbola itu hingga menginjak bangku SMA di Banjarmasin. Kepemimpinannya kemudian tetap berlanjut di bangku kuliah, sebab terbukti ia beberapa kali terpilih sebagai Ketua BPM dan SM di FH-UKI di Jakarta.
Kendati suasana sidang ricuh Teras Narang tetap saja tenang-tenang sebab menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa saja. Komisi III yang dipimpinnya memang tergolong komisi keras. Setiap rapat kerja berlangsung, selalu saja kondisi ‘ricuh’ seperti demikian terjadi. Pengalamannya pada tiga setengah tahun terakhir periode sebelumnya sebagai Ketua Komisi II, juga sama.
Teras Narang hanya sebatas menyebutkan Kejaksaan Agung sebagai tidak paham terhadap fungsi, kewenangan, dan kedudukan DPR. Pendapat demikian adalah sesuai dengan tipe Teras Narang, yang dari dulu selalu belajar dan berusaha untuk tidak bersikap kasar. Bahasa demikian sudah merupakan bahasa yang pas yang keluar dari mulut orang yang belajar untuk bersikap bijak, yakni Agustin Teras Narang penulis kreatif sejumlah buku, yakni buku “Reformasi Hukum, Pertanggung Jawaban Seorang Wakil Rakyat” (2003), “Proses Pembahasan Undang-Undang Advocat di Parlemen” (2003), serta “Korupsi, Kejahatan Luar Biasa (Extraordinary Crime)” (2004), “Pilkada Langsung” (2004), dan “Regulasi bagi Perkembangan Perekonomian Daerah” (2004).
Santun Mengkritik Pemerintah
Kendati berasal dari PDI Perjuangan, partai yang sudah memantapkan diri bergerak sebagai oposisi atau penyeimbang terhadap pemerintah, Teras Narang terbukti cukup santun dalam mengkritisi pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY), khusunya tentang program penegakan hukum.
Ia menyebutkan shock therapy, yang di awal Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu dilontarkan oleh SBY, sebagai langkah yang cukup bagus. Tetapi, langkah itu kata Teras tidak bisa dilanjutkan dengan baik dan benar oleh institusi terutama oleh Kejaksaan Agung. Yang dilakukan Jaksa Agung hanya menindaklanjuti kebijakan dari pemerintah yang lalu. Terhadap masalah yang berkembang di masyarakat, yang terkait dengan oknum-oknum kejaksaan, misalnya, Teras tidak melihat ada satu sikap yang tegas. Visi, misi, dan program dari Presiden SBY yang tidak ditindaklanjuti secara nyata oleh Kejaksaan Agung, disebutkan Teras sebagai kelemahan yang sangat besar dari Kabinet Indonesia Bersatu.
Jika Jaksa Agung pernah mengatakan tidak peduli dengan ini atau dengan itu, yang penting penegakan hukum, bagi Teras itu tak lebih dari omong kosong. Penegakan hukum tanpa bekerjasama dengan institusi kenegaraan yang lain adalah omong kosong. Apa yang dilakukan Jaksa Agung selama ini, menurut hemat Teras Narang tidak konstruktif. Tidak akan mungkin Kejaksaan bisa melakukan penegakan hukum tanpa kerjasama secara baik dengan DPR, khususnya Komisi III DPR. Penegakan hukum yang dilontarkan Kejaksaan Agung hanya retorika yang tidak bermakna.
Sebagai pimpinan lembaga parlemen, Teras Narang tak mau masuk dan turut campur ke dalam wilayah eksekutif tentang penegakan hukum. Ia hanya memanfaatkan tugas, fungsi, dan kewenangannya untuk bertanya. Misalnya, mengapa ada perbedaan sikap dari Kejaksaan terhadap Kepala Daerah yang sudah dinyatakan sebagai tersangka tetapi tidak pernah ditahan. Tetapi terhadap anggota DPRD, baru didengar keterangannya saja statusnya sudah menjadi saksi, lalu menjadi tersangka, dan hari itu juga sudah ditahan kemudian sorenya langsung masuk mobil tahanan. Demikian pula tentang beberapa kasus di daerah, yang dulu dinyatakan sebagai tersangka lalu berubah menjadi saksi.
Teguh Memegang Prinsip
Agustin Teras Narang memang dikenal sebagai figur yang teguh memegang prinsip untuk selalu bersikap moderat. Setiap langkah dan keputusan yang diambilnya selalu berdasarkan pada prinsip yang sampai saat ini masih tetap dipegang teguh, yaitu Kritis, Konstitusional, Konstruktif, Kebersamaan dan Kesantunan (5 K).
Prinsipnya, kita boleh kritis, tetapi kekritisan itu tetap konstitusional dan konstruktif. Kemudian yang keempatnya itu adalah kebersamaan. Kita boleh kritis, kita boleh melakukan dengan konstitusional, konstruktif dan dalam semangat kebersamaan. Nah, yang terakhir semua itu harus disampaikan dengan kesantunan. “Prinsip 5-K itu selalu saya pegang” kata Teras.
Dengan prinsipnya yang sama pula, telah menjadikan Komisi III yang dipimpinnya sepertinya ‘berbeda’ dengan komisi lain di DPR, saat menanggapi hasil audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (Bepeka) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Teras Narang berpendapat, bahwa audit yang dilakukan oleh Bepeka adalah atas permintaan DPR periode terdahulu (melalui Komisi II yang dipimpinnya, lalu disampaikan Bamus ke paripurna DPR, dan disetujui oleh sudang paripurna).
Karena itu, ketika audit itu selesai dilaksanakan dan terdapat indikasi korupsi, Komisi III berpendapat hasil audit Bepeka itu sudah final, tidak perlu lagi dimintakan klarifikasi dari KPU, dan Komisi III berpendapat akan meminta diadakan sidang paripurna DPR untuk mengambil sikap menyerahkan hasil audit Bepeka tersebut kepada aparat terkait, dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan dengan kewenangan yang dimiliki, Komisi III akan mendorong KPK untuk menindak lanjuti temuan Bepeka tersebut.
Sikap Komisi III ini berbeda dengan Komisi lain di DPR, yang masih berkeinginan meminta klarifikasi KPU. Sebab hasil audit Bepeka sudah final, dan Bepeka adalah lembaga tinggi negara yang sejajar dengan DPR, maka jika masih dimintakan klarifikasi maka itu berarti DPR telah melampaui kewenangan yang dimiliki dan itu melanggar ketentuang konstitusi. “Kami tidak mau melanggar Undang-Undang Dasar 1945,” kata teras Narang.
Di mata rekan sejawatnya Teras Narang terkenal sebagai sosok yang ramah namun tegas. Keramahan sekaligus ketegasan dari mantan pengacara ini telah membuatnya dianggap sukses saat memimpin Komisi II DPR periode 1999 – 2004. Ketika itu ia menerapkannya peraturan, bahwa setiap anggota Komisi II hanya diberi kesempatan bertanya sesuai dengan jam kedatangannya di rapat. Konsekuensi dari peraturan yang dibuatnya sendiri, itu dia pun menjadi mesti selalu datang lebih awal setiap kali memimpin rapat. Aturan kedua, setiap anggota Komisi II hanya boleh menanyakan pertanyaan yang belum ditanyakan anggota lainnya. Dan aturan ketiga, setiap rapat Komisi II harus selalu diakhiri dengan kesimpulan.
Karena kiprahnya yang sedemikian menonjol tak salah bila Teras Narang seringkali mendapat julukan bintang. Selain aktif di Komisi II ia juga berperan di sejumlah pantia bentukan Dewan.
Namun dibalik ketegasannya Teras Narang masih saja merupakan figur yang rendah hati. Ia mengatakan, keberhasilannya tidak pernah terlepas dari lingkungan keluarga dimana dia dibesarkan. Yakni, sebuah keluarga besar yang sangat demokrat, menyenangi organisasi, sampai-sampai membuat dia merasa dilahirkan ‘hanya’ untuk berorganisasi dan berpolitik. “Ayah dari Ibu dan Bapak saya adalah Kepala Desa, atau istilah di Kalimantan Tengah itu Pembakal. Sementara almarhum ayah saya aktif di organisasi pedagang se-Kalimantan,” kata Teras, yang selalu mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena dilahirkan di keluarga yang bisa menikmati hidup, tapi juga tahu batasan-batasannya.
Seperti Mengisi Air di Gelas
Teras yang juga adalah adik kandung dari Reinhard Atu Narang, Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Kalimantan Tengah, ini ingin menikmati hidup sama seperti mengisi air di dalam gelas. Kalau sudah cukup untuk minum kita, ya sudah cukuplah. Sebab kalau ditambah terus lalu luber, sayang.
Anggota DPR ini sangat fasih berbahasa Inggris. Ia sepertinya dilahirkan untuk berorganisasi. Sejak mahasiswa ia sudah aktivis intra kampus, termasuk terpilih sebagai Ketua LBH Fakultas Hukum UKI, Jakarta (1977-1979). Hanya saja ia tidak pernah menjadi anggota organisasi ekstra kampus tertentu. Dan justru karena itulah Teras dipercaya menjadi Ketua BPM Fakultas Hukum UKI, Jakarta pada tahun 1974-1975, kemudian menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UKI, Jakarta pada tahun 1977-1979.
Ia menjadi memiliki kelebihan di situ, meski berada di kepemimpinan mahasiswa tapi tidak pernah berada di bawah organisasi kemahasiswaan di luar kampus. Ia menjadi independen di mata teman-teman pergerakan yang berasal dari organisasi ekstra kampus, seperti baik HMI, GMKI, GMNI, PMII, dan PMKRI. Ini terbukti selama kepemimpinannya, ia selalu dapat bekerjasama secara baik dengan wakil-wakilnya yang terdiri dari unsur baik HMI, GMKI, GMNI.
Sikap independen pula yang selalu ditonjolkannya manakala memimpin sidang-sidang Komisi II (dahulu) dan Komisi III DPR. Meski berasal dari Fraksi PDI Perjuangan, namun dalam memimpin rapat Teras selalu berhasil berdiri independen. Bahkan saat memimpin Rapat Pansus RUU Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD maupun RUU Pimilihan Presiden dan Wakil Presiden, Teras selalu memberi kesempatan yang sama untuk seluruh anggota Pansus. ti/ht-hp