03 | Menuju Indonesia Raya Ketiga 2045

Eksistensi dan posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sangat perlu dipahami di antara sepak terjang ideologi-ideologi besar dunia. Pemahaman ini sangat penting dalam rangka pemantapan ideologi Pancasila yang menjadi dasar dan pedoman hidup bangsa. Dengan demikian bangsa Indonesia semakin mampu memainkan peranannya di dalam gerak maju mencapai cita-citanya, yang tidak lain dari masyarakat Pancasila itu sendiri.
Semenjak nenek moyang bangsa Indonesia menginjakkan kakinya di bumi Nusantara, pada dasarnya nilai-nilai yang sekarang dirumuskan dalam Pancasila sudah termaktub di dalam jiwanya, sudah melekat di dalam diri dan pribadinya, dan sudah terpancar jelas dari perilakunya. Dengan kata lain, Pancasila yang sekarang menjadi deologi bangsa Indonesia, bersumber pada jiwa, kepribadian serta pandangan rakyat Indonesia yang telah bereksistensi selama berabad-abad sebelum kemerdekaan.
Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri. Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat-akar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Budaya bangsa yang mengutamakan keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan dengan alam, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya; maupun dalam mengejar kebahagiaan lahiriah dan rohaniah.
Demokrasi Politik Pancasila didasari atas perjuangan untuk kepentingan dan keselamatan umum yang didasarkan pada prinsip “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Etos kerja yang didasarkan pada keuletan dan ketekunan demi tercapainya kehidupan yang lebih baik dan maju bagi dirinya dan keluarganya. Ketiga etos tersebut dapat disebut juga sebagai “etos kekaryaan” yang tridimensial atau yang bersifat dialektis-theologis.
Pembangunan nasional yang mencakup bidang-bidang Ipolek-Sosbud-hankam sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan dari penghayatan, pengamanan dan pengamalan Pancasila. Demikian juga halnya dengan demokrasi yang dijiwai oleh Pancasila atau secara singkat disebut Demokrasi Pancasila, itu pun sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan, apakah itu demokrasi politik, demokrasi ekonomi ataupun demokrasi sosial budaya.
Di sini perhatian hanya difokuskan pada demokrasi politik yang akan dikaji dari sudut batasan dan cirinya; mekanisme dan gerak dinamikanya dengan suatu latar belakang sikap dan pemikiran bahwa demokrasi Pancasila itu harus terkait dengan keamanan (security) dan kemakmuran (prosperity).
Apabila kita hendak mengupas demokrasi Pancasila pada umumnya dan khususnya di bidang politik, maka kita harus pula mengupas proses penyelenggaraan kekuasaan negara dan hukum yang didasarkan pada Pancasila yang sudah terpatrikan dalam UUD 1945. Karena politik merupakan dimensi demokrasi, selain dimensi kekuasaan dan hukum, maka perwujudan demokrasi Pancasila akan terkait dengan sistern kehidupan politik di Indonesia yang telah, sedang dan akan mengalami proses pembaharuan dan pembangunan.
Sementara itu, karena pembangunan dan pembaharuan politik merupakan bagian integral dari pembaharuan dan pembangunan demokrasi, politik bangsa, maka ada empat hal yang prinsipil dan fundamental yang harus melekat di dalamnya, yaitu: 1. Pembaharuan dan pembangunan politik harus bersumber pada manusia seutuhnya; 2. Sumber tersebut harus bermuara pada seluruh masyarakat Indonesia; 3. Selanjutnya muara tersebut pada akhirnya harus manunggal dengan lautan negara Pancasila; dan 4. Antara sumber, muara dan lautan tersebut tetap mengalir suatu gerak arus kekaryaan tridimensional yang dialektis-theologis.
Apabila keempat hal yang prinsipil dan fundamental tersebut ditinjau sebagai operasional ideologi, maka yang dimaksudkan dengan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia adalah masyarakat karya yang “mandireng pribadi” dan bertanggungjawab, dalam arti manusia dan masyarakat yang profesional, idealis dan bermoral Pancasila.
Untuk dapat mewujudkan manusia dan masyarakat yang demikian itu, maka sistem serta proses pembaharuan dan pembangunan politik di Indonesia harus mampu menciptakan suasana dan iklim sedemikian rupa, sehingga setiap warga negara dan seluruh rakyat Indonesia mampu “mengolah diri”nya. Mengolah diri di sini mempunyai arti yang sangat luas, yakni mencakup beberapa aspek gerak hidup manusia, seperti: (1) mengolah raganya, (2) mengolah kecerdasannya, (3) mengolah budi luhurnya, (4) mengolah jiwa kebangsaan dan kepatriotannya, (5) mengolah profesinya, dan (6) mengolah jiwa kepemimpinannya.
Apa yang dimaksud dengan ‘lautan negara Pancasila’?
Sebagai suatu sistem politik yang utuh, negara Pancasila merupakan puncak organisasi kekuasaan dari seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia yang berbentuk negara hukum dan demokratis. Karena penyelenggaraannya harus dilaksanakan secara konstitusional dan demokratis serta berorientasi pada kehidupan yang tata-tenteram, dan karta raharja. Dalam proses operasionalnya, dalam negara Pancasila bekerja suatu kekuasaan yang manunggal dengan rakyat yang berpuncak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan berpusat bobot pada Presiden.
Dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat, negara Pancasila tidak mengenal atau menganut sistem pemisahan kekuasaan (the sparation of power), melainkan perbedaan/pemerataan kekuasaan. Ini berarti bahwa kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif bukanlah unsur-unsur kekuasaan yang masing-masing terpisah. Antara ketiga kekuasaan tersebut terdapat hubungan yang saling mendukung dan saling mengawasi. Masing-masing kekuasaan berdiri berdampingan dan bergandengan tangan.
Dari uraian di atas, jelas tampak bahwa negara hukum yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 atau singkatnya, negara berpusat bobot pada Presiden sebagai panutan tunggal. Ini berarti bahwa pemerintahan negara harus: pertama, secara hukum (dalam arti luas) bertindak sebagai pengemban kesejahteraan atau welfare state. Kedua, secara konstitusional bertindak sebagai abdi rakyat yang mampu menciptakan negara yang melayani kepentingan rakyat umum (social service state). Ketiga, secara demokratis sebagai pamong pembangunan yang dapat menciptakan suatu administrative state. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa penyelenggaraan negara Pancasila sebagai negara hukum harus dilaksanakan di atas dasar administrasi yang demokratis atau democratic administration.
Hal itu berarti bahwa demokrasi Pancasila yang dikehendaki, mengandung makna dan proses fungsional dalam bidang perencanaan, pengorganisasian, penetapan personil, pengarahan, pengendalian, koordinasi, pengawasan, dan penganggaran secara nasional, regional dan sektoral.
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan Demokrasi Politik Pancasila?
Tahun 1949 UNESCO menyelenggarakan suatu proyek “enquete” yang dikirimkan ke para ilmuwan di dunia. Enquete ini dimaksudkan untuk mengetahui berbagai pemikiran yang dapat digunakan untuk merumuskan definisi demokrasi.
Dari hasil pengumpulan enquete tersebut mereka belum mampu menghasilkan suatu definisi yang tepat mengenai demokrasi. Mereka baru sampai pada suatu kesimpulan bahwa pengertian demokrasi berbeda bagi setiap masyarakat dan negara, karena pengertian tersebut harus dikaitkan dengan kondisi sejarah dan budaya dari negara dan masyarakat bersangkutan. Mereka baru menggambarkan bagaimana demokrasi itu dilaksanakan dan prasarana apa yang diperlukan untuk menjamin agar demokrasi itu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Usaha-usaha seperti itu pernah juga dilaksanakan di Indonesia, yaitu ketika para wakil rakyat di DPR RI pada tahun 1975 hendak membuat undang-undang tentang partai politik dan Golongan Karya. Berminggu-minggu mereka mencoba merumuskan definisi Demokrasi Pancasila. Namun mereka hanya mampu merumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang didasarkan pada Pancasila. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1985, Pemerintah dan DPR kembali mencoba menyempurnakan perumusan Demokrasi Pancasila. Pada saat itu terdapat sedikit penambahan. Perumusan Demokrasi Pancasila sejak saat itu menjadi “demokrasi yang didasarkan pada Pancasila sesuai dengan Pembukaan UUD 1945”.
Menurut hemat penulis, demokrasi adalah suatu bentuk, sistem dan proses usaha pemanunggalan antara pemerintah dengan rakyat yang didasarkan pada persamaan hak dan derajat yang tidak mengenal batas-batas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Karena itu, demokrasi dapat dilihat dari dua segi, yaitu tentang metoda pengambilan keputusan, dan tentang isi serta jiwa dari pengambilan keputusan tersebut.
Dengan bertitik tolak pada pertumbuhan dan perkembangan Pancasila sebagai ideologi sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka penulis mencoba memberanikan diri untuk mengemukakan bahwa demokrasi Pancasila adalah: “Cipta, rasa dan karya untuk mewujudkan tanggung jawab, kewajiban dan hak bersama dari setiap warganegara dan seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip ketuhanan, keharmonisan, kesetiakawanan dan toleransi (temu-gelang), keadilan, kerakyatan atas dasar musyawarah dan mufakat untuk menuju masyarakat yang tata tenteram dan kartaraharja”. Dari perumusan tersebut dapat dilihat bahwa Demokrasi Pancasila memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan Demokrasi Liberal yang didasarkan pada sistem multi partai, atau Demokrasi Terpimpin yang didasarkan pada kekuasaan mutlak dari seorang pemimpin.
Demokrasi Pancasila, dengan demikian adalah demokrasi yang bersifat manunggal. Di dalamnya terdapat pemanunggalan pemerintah dengan rakyat dengan ciri-ciri khas sebagai berikut: Pertama, Demokrasi Pancasila itu memiliki ciri kekaryaan yang bersifat dialektis theologis, yang mencakup kekaryaan transedental, vertikal dan internal dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kebenaran, keadilan serta ketaatan.
Kedua, Demokrasi Pancasila mengandung ciri-ciri kekeluargaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kebersamaan, keterbukaan, persatuan dan kesatuan. Ketiga, Demokrasi Pancasila mempunyai sifat gotong-royong sebagai perwujudan dari pelaksanaan tanggung jawab, kewajiban dan hak bersama dari seluruh rakyat yang ditempuh melalui sistem perwakilan.
Karena ciri-ciri khas itulah maka Demokrasi Pancasila yang dilaksanakan dalam sistem politik, tidak menganut sistem revolusi radikal atau perang revolusi untuk mencapai cita-cita bangsa dan negara. Tetapi menganut sistem pembaharuan dan pembangunan yang dilaksanakan di dalam kerangka “revolusi damai”.
Untuk mewujudkan pelaksanaan Demokrasi Pancasila tersebut, fungsi-fungsi komunikasi, koordinasi dan integrasi harus benar-benar dijunjung tinggi. Untuk itu diperlukan dialog dua arah antara pemerintah dengan rakyat, antara lembaga negara yang satu dengan yang lainnya, dan antara lembaga masyarakat yang satu dengan lembaga masyarakat lainnya.
Dengan demikian, Demokrasi Pancasila diibaratkan dengan gambar perspektif suatu bangunan gedung arsitektur Indonesia. Tampak agung dan anggun dari segala sudut tinjauan. Selanjutnya, dalam bagian ini akan dikupas berbagai hal yang berkaitan dengan perangkat, kelengkapan dan prasarana kelembagaan yang melekat pada bangunan gedung tersebut.
Negara sebagaimana gedung-gedung adat di Indonesia dibangun secara gotong royong dari kekuatan rakyat sendiri, oleh rakyat, dan untuk rakyat di bawah mekanisme kepemimpinan nasional (negara) yang mampu menempatkan diri sebagai panutan tunggal. Yaitu sebagai pengemban kesejahteraan umum, abdi rakyat dan pamong pembangunan. Sistem panutan tunggal sebagai prinsip operasional kepemimpinan nasional dalam negara Pancasila, harus benar-benar mencerminkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang disalurkan melalui sistem perwakilan di MPR, DPR dan lembaga tingggi negara lainnya.
Aspirasi, pendapat dan kepentingan rakyat tersebut akan dilaksanakan oleh Presiden yang dibantu oleh seorang Wakil Presiden di bawah pengawasan DPR.
Dalam melaksanakan tanggung jawab kepemimpinan negara tersebut, kepada Presiden diberikan tugas dan wewenang untuk mengamankan dan menyukseskan pembangunan serta hak prerogatif untuk mengangkat menteri, menteri negara, dan menteri koordinator yang tidak didasarkan pada pengusulan golongan. Tapi mengcu pada keahlian, pengabdian, prestasi, kejujuran serta loyalitas pada tanah air, bangsa dan negara, sebagaimana dituntut juga dari seorang Presiden.
Pembangunan Politik yang dimulai secara mapan sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dewasa ini telah memasuki babakan baru. Yakni menuju tahap ‘Masyarakat Purna’ atau ‘Indonesia Raya Ketiga’ yang diharapkan akan mencapai puncak perjuangannya sekitar tahun 2045.
Keyakinan ini didasarkan pada pemikiran bahwa sejarah akan berulang kembali. Hukum dinamika dan dialektika yang bersifat kodrati telah melahirkan suatu siklus perubahan sosial di Indonesia yang berulang setiap Tujuh Abad dengan produk-produk yang lebih baru dan sempurna pada jamannya. Orang Perancis mengatakan: historia se repete.
Sejarah perjalanan bangsa di Nusantara menunjukkan bahwa pada abad ke- 7 nenek moyang kita telah mengalami masa kejayaan yaitu, Sriwijaya, yang kita sebut di sini sebagai Indonesia Raya Pertama. Setelah itu kita temukan lagi Indonesia Raya Kedua, yaitu masa kejayaan Majapahit pada abad ke-14. Dan sekarang kita sedang berlayar menuju Indonesia Raya Ketiga yang akan kita capai pada awal milenium ke-3 ini. (Dari Buku “Ideologi Pancasila dan Ideologi-Ideologi Dunia”) mti/tum