
[ENSIKLOPEDI] Mantan Kepala BIN Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono dikukuhkan sebagai Guru Besar (Profesor) bidang ilmu intelijen oleh Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN). Menurut MURI, dia menjadi guru besar bidang intelijen pertama di Indonesia, bahkan di dunia.
Pengukuhan profesor itu sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 2576f/A4.3/KP/2014. Sekretaris Dewan Akademik Kemendikbud, Mohammad Isro yang membacakan keputusan tersebut yang antara lain berbunyi: “Memutuskan terhitung tanggal 1 April 2014 mengangkat Dr Abdullah Mahmud Hendropriyono, SE, ST dengan jumlah kredit 850 kum dalam jabatan akademi atau fungsional sebagai profesor atau guru besar tidak tetap dalam bidang ilmu intelijen.
Dalam acara pengukuhan (penganugerahan) gelar profesor yang dilaksanakan di Balai Sudirman, Jalan Saharjo, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu, 7 Mei 2014 itu, Prof Dr Priyatna Abdurasyid.menyematkan selempang guru besar kepada Hendropriyono. Acara itu dihadiri sejumlah tokoh Indonesia, antara lain Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Akbar Tandjung, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, KSAD Jenderal Budiman, Ketua Umum DPP Hanura Wiranto, dan Khofifah Indarparawansa.
Gelar profesor intelijen pertama yang disandang Hendropriyono tersebut masuk dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Ketua Umum MURI Jaya Suprana mengatakan penghargaan ini bukan dari segi politis, namun fakta sebenarnya bahwa Hendropriyono adalah mahaguru intelijen pertama, bukan hanya di Indonesia, tapi pertama juga di dunia.
Pada kesempatan itu, Hendropriyono menyampaikan orasi berjudul “Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia.” Menurut Hendro, Pancasila merupakan landasan filsafat intelijen negara Republik Indonesia, dengan Veloc et Exactus (cepat dan tepat) sebagai ontologi keberadaannya. Dia mengatakan materialisasi terhadap berbagai konsep intelijen berada pada realitas lingkungan yang goncang, yaitu ketika hukum sedang kehilangan daya rekatnya, fungsi intelijen yang mencegah potensi ancaman menjadi kekuatan nyata yang membahayakan rakyat, membawa segala bentuk dan sifat siasatnya (kebijakan, strategi dan pola operasional) lebih terikat pada nilai-nilai moraldan etika, daripada nilai-nilai hukum positif.
Hendro mengatakan hakikat intelijen adalah tindakan yang cepat dan tepat demi keselamatan negara. “Intelijen tidak beroperasi pasca kejadian selayaknya penegakan hukum. Intelijen mengumpulkan informasi secara cepat dan akurat untuk mencegah terjadinya kejadian yang membahayakan keselamatan negara,” jelasnya.
Menurutnya, dari segi epistemologi, intelijen tidak bergumul dengan pengetahuan ilmiah melainkan informasi. Intelijen tidak memiliki banyak waktu untuk memeriksa sebuah informasi melalui metode ilmiah. Sebab itu, jelasnya, intelijen memeriksa informasi berdasarkan kesahihan sumber dan logika. “Informasi yang diperoleh dari eks anggota kelompok radikal tentu lebih akurat dibanding informasi pengamat. Informasi yang diperoleh juga harus logis atau tidak memiliki kontradiksi dengan informasi-informasi lainnya, ” katanya.
Gelar profesor intelijen pertama yang disandang Hendropriyono tersebut masuk dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Ketua Umum MURI Jaya Suprana menyerahkan langsung penghargaan itu kepada sang profesor. Menurut Jaya Suprana menegaskan bahwa Dewan anugerah MURI dengan tanggung jawab sepenuhnya dan dia sebagai ketua umum MURI, berdasarkan penelitian intelijen yang cukup lama, menganugerahkan MURI untuk Profesor Dr AM Hendropriyono.
Jaya Suprana mengatakan penghargaan ini bukan dari segi politis, namun fakta sebenarnya bahwa Hendropriyono adalah mahaguru intelijen pertama, bukan hanya di Indonesia, tapi pertama juga di dunia.
Jejak Hendropriyono?
Pusat Data TokohIndonesia.com mencatat, Jenderal TNI (Purnawirawan) Hendropriyono, bernama lengkap Haji Abdullah Makhmud Hendropriyono, dilahirkan di Yogyakarta pada 7 Mei 1945. Menempuh pendidikan umum di SR Muhammadiyah Jl. Garuda 33 Kemayoran Jakarta; SMP Negeri V Bag B (Ilmu Pasti) di Jl. Dr. Sutomo Jakarta; SMA Negeri II Bag B (Ilmu Pasti) di Jl. Gajah Mada, Jakarta.
Pendidikan militer diperoleh di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang (lulus 1967). Kemudian mengikuti pendidikan intelijen di Australian Intelligence Course, Woodside (1971); United States Army General Staff College di Fort Leavenworth, Amerika Serikat (1980); Sekolah Staf dan Komando (Sesko) ABRI dengan predikat lulus terbaik bidang akademik dan kertas karya perorangan dengan mendapat anugerah Wira Karya Nugraha (1989). Dia juga alumni KSA VI Lembaga Ketahanan Nasionat (Lemhannas) dengan predikat prestasi tinggi. Dia juga mengikuti beberapa latihan keterampitan militer antara lain adalah latihan Para-Komando, terjun tempur statik, terjun bebas militer (Military Free Fall) dan penembak mahir.
Karir militernya diawali sebagai Komandan Peleton dengan pangkat Letnan Dua Infantri di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Kemudian menjadi Komandan Detasemen Tempur Para-Komando; Asisten Intelijen Komando Daerah Mititer Jakarta Raya/Kodam Jaya (1986); Komandan Resor Militer 043/Garuda Hitam Lampung (1988); Direktur Pengamanan VIP dan Obyek Vital, Direktur Operasi Dalam Negeri Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI (1001-1993); Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dan Komandan Kodiklat TNI AD.
Dia juga ditugaskan pada berbagai operasi militer, antara lain Gerakan Operasi Militer (GOM) VI; dua kali terlibat dalam Operasi Sapu Bersih III; dan dua kali dalam Operasi Seroja di Timor Timur (Timor Leste).
Kesibukannya dalam berbagai bidang tugas tidak menyurutkannya untuk terus memperdalam ilmu pengetahuan. Bahkan usia tidak menjadi pembatas baginya untuk mengikuti pendidikan. Berbagai gelar akademik diraihnya. Mulai dari gelar sarjana dalam Administrasi dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara (STIA-LAN), Sarjana Hukum dari Sekotah Tinggi Hukum Mititer (STHM), Sarjana Ekonomi dari Universitas Terbuka (UT) Jakarta, Sarjana Teknik Industri dari Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani} Bandung, Magister Administrasi Niaga dari University of the City of Manila Filipina, Magister di bidang hukum dari STHM dan gelar doktor filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan predikat Cum Laude pada bulan Juli 2009..
Selain mengabdi dalam kemiliteran, AM Hendropriyono juga pernah memangku berbagai jabatan di birokrasi, mulai dari Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan Repubtik Indonesia 1996-1998}, Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH) dalam Kabinet Pembangunan VII, Menteri Transmigrasi dan PPH dalam Kabinet Reformasi yang kemudian merangkap Menteri Tenaga Kerja, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) di Kabinet Gatong-Royong (2001-2004).
Pada saat menjabat Kepala BIN Hendropriyono menggagas lahirnya Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Sentul Bogor dan Dewan Analis Strategis (DAS) Badan Intelijen Negara. Dia mendedikasikan ilmunya dengan mengajar Filsafat Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Militer Jakarta, Pasca Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada dan pengajar di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, dengan jabatan Lektor Kepata terhitung mulai tanggat 1 Maret 2002.
Atas berbagai pengabdiannya, dia telah dianugerahi berbagai penghargaan negara RI, dalam wujud bintang dan tanda jasa antara lain: Bintang Mahaputera Indonesia Adipradana, Bintang Kartika Eka Paksi Nararya-prestasi, Bintang Bhayangkara Utama, Bintang Yudha Dharma, Bintang Dharma, Satya Lencana Bhakti untuk luka-luka di medan pertempuran, serta anggota Legiun Veteran Pembela Republik Indonesia. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com