Hakim Konstitusi Perempuan Pertama

Maria Farida Indrati
 
0
801
Maria Farida Indrati
Maria Farida Indrati | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH, MH, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kelahiran Solo, 14 Juni 1949 adalah hakim konstitusi perempuan pertama di Indonesia. Dia menjabat hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi RI pada 2008-2013.

Guru Besar dalam bidang Ilmu Perundang-Undangan ini termotivasi menjadi hakim konstitusi atas dorongan dari teman-temannya di kampus, yang memandangnya sebagai ahli hukum tata negara yang paling senior di antara mereka. Selain itu, Ali Nurdin Watimpres yang juga anggota panitia seleksi hakim konstitusi juga meminta agar mau mendaftarkan diri dan mengikuti fit and proper test. Atas dorongan itu, akhirnya Ketua Komisi Perundang-undangan, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Tingkat Pusat, yang sebelumnya tak tertarik menjadi hakim konstitusi tersebut, mencalonkan diri.

Ketika proses penjaringan hakim konstitusi tersebut sempat juga ada nama-nama beberapa perempuan yang sudah punya nama di publik diantaranya, Harkristuti Harkrisnowo (Dirjen HAM), Andayani Budisetyowati (Universitas Tarumanegara), dan Ningrum Sirait (Universitas Sumatera Utara). Namun, belakangan, Harkristuti dan Ningrum Sirait mengundurkan diri. Jadi tinggal Maria dan Andayani yang diajukan kepada Presiden SBY. Kemudian, ternyata dia yang terpilih.

Walaupun setelah itu, dia masih harus menghadapi wawancara terbuka oleh sejumlah profesor, antara lain, Prof Dr Satjipto Rahardjo, Prof Dr Laica Marzuki, dan Franz Magnis-Suseno, yang menguji pemahamannya di bidang hukum.

Pencalonannya menjadi hakim konstitusi sempat mendapat reaksi kekurangsetujuan dari anak keduanya, A. Bagus Jati Tyas Seta. Alasannya, seringkali pejabat dan hakim itu didentikkan dengan isu-isu buruk, sebagai koruptor. Namun, Maria meyakinkan anaknya: “Masak nggak percaya sama Ibu!” Dia juga menjelaskan bahwa bahwa hakim konstitusi itu bertugas menguji UU terhadap UUD, jadi persinggungannya dengan kasus suap sangat kecil. Sementara, suaminya C. Soeprapto Haes, sejak awal tidak keberatan bahkan ikut mendorongnya.

Maria bertekad menjadi hakim konstitusi perempuan yang sejajar dengan hakim-hakim konstitusi yang bereputasi internasional, seperti Dr Christine Hohmann-Dennhardt, Prof Lerke Osterloh dari Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht), Brigitte Bierlein, Lisbeth Lass, Eleonore Berchtold-Ostermann dan Claudia Kahr dari MK Austria (Verfassungsgerichtshof), serta Yvonne Mokgoro, Bess Nkabinde-Mmono dan Kate O’Regan dari MK Afrika Selatan.

Maria meyakinkan anggota keluarganya bahwa sebagai hakim konstitusi dia akan berusaha untuk memutuskan sesuatu menurut hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi masyarakat. Sejak dulu, dia memang sudah punya prinsip ingin mengabdi. Baginya, hakim konstitusi adalah ladang pengabdian baru. Jika di kampus sebagai dosen dia selalu berusaha memberikan pelajaran dengan baik, maka di MK dia selalu berusaha (mengabdikan diri) bagaimana memberikan putusan yang adil bagi masyarakat.

Maria bertekad menjadi hakim konstitusi perempuan yang sejajar dengan hakim-hakim konstitusi yang bereputasi internasional, seperti Dr Christine Hohmann-Dennhardt, Prof Lerke Osterloh dari Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht), Brigitte Bierlein, Lisbeth Lass, Eleonore Berchtold-Ostermann dan Claudia Kahr dari MK Austria (Verfassungsgerichtshof), serta Yvonne Mokgoro, Bess Nkabinde-Mmono dan Kate O’Regan dari MK Afrika Selatan.

Pengalamannya sebagai dosen, dirasakannya sangat membantu profesinya sebagai hakim konstitusi terutama untuk kasus pengujian UU. Dia merasa beruntung bisa mengaplikasikan ilmu yang didapat dan dikembangkan di universitas menjadi masukan berharga dalam putusan-putusan MK. Tugasnya sebagai hakim konstitusi juga mengharuskannya untuk selalu membaca sebagai bekal untuk lebih mudah memahami permasalahan, seperti Pengujian UU Minerba, UU Kehutanan, dan sebagainya.

Salah satu pengalamannya sebagai hakim konstitusi yang mendapat perhatian publik adalah ketika dia satu-satunya yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pengajuan uji materi (judicial review) UU tentang Pornografi.

Keputusannya mengajukan dissenting opinion itu karena dia melihat ada ketidakcermatan dalam UU itu. Dia mengatakan tentu tidak ada orang yang setuju dengan pornografi, tapi dia melihat pengaturannya dilandasi dan dibentuk dalam suasana saling curiga, tidak ada rasa persaudaraan. “Sebagai bangsa, sudah tidak ada rasa persatuan di antara kita. Itu yang membuat saya merasa UU ini mengandung masalah. Jadi, kalau UU Pornografi sejak awal menimbulkan persoalan, kenapa kita harus memaksakan UU itu?” katanya.

Advertisement

Ingin Jadi Guru Musik

Maria tak pernah mengimpikan menjadi hakim konstitusi. Sejak kecil hingga SMA, dia bercita-cita ingin menjadi guru musik. Sejak kecil, ketika tinggal di asrama Sekolah Rakyat Santa Maria, dia memang senang memainkan alat musik yang ditekuninya hingga SMA. Saat itu, Maria menemukan salah seorang suster panutannya, yakni Suster Monica, yang memberikan panduan semangat hidup baginya, yakni berani dan tekun.

Namun, keinginannya menjadi guru musik diurungkannya atas saran ayahnya Raden Petrus Hendro, seorang wartawan kantor berita Antara, saat dia tamat SMA, 1969. Maria akhirnya memilih masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) jurusan hukum tata negara.

Pada tahun 1975, dia meraih gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia setelah melewati ujian skripsi dengan baik. Dia pun meraih predikat mahasiswi teladan FHUI 1975 bersama Mochtar Arifin (mantan Wakil Jaksa Agung). Saat itu, Prof Prajudi Padmo Sudirdjo, salah seorang dosen pengujinya langsung menawarinya menjadi Asisten Dosen (Asdos) untuk mata kuliah hukum administrasi negara (HAN). Dia pun menerima penawaran tersebut setelah berpikir sejenak.

Sambil aktif sebagai Asdos, Maria menekuni pendidikan Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1976-1982). Kemudian, tahun 1982, oleh Prof Hamid Attamimi, dia diminta menjadi Asdos mata kuliah Ilmu Perundang-undangan. Lalu, dia pun menekuni profesi sebagai dosen FH-UI. Dia merasa senang mengajar karena ilmu yang dimiliki akan terus terasah.

Dia sempat berkeinginan pindah menjadi dosen di Universitas Sebelas Maret, mengikuti suaminya yang juga berprofesi sebagai dosen seni rupa. Tetapi karena permohonannya sudah satu tahun tidak diproses, maka dia ditarik kembali oleh Dekan FHUI kala itu.

Kemudian, dia mengikuti pendidikan Pasca Sarjana Bidang Hukum Kenegaraan di almamaternya dan meraih gelar Magister Hukum pada 1997. Selanjutnya, gelar Doktor Bidang Hukum Kenegaraan diraihnya dari FHUI tahun 2002.

Selain itu, dia mengikuti pendidikan di luar negeri. Di antaranya, Pendidikan Teknik Perundang-undangan (legal drafting) di Leiden, Belanda, Agustus-Desember 1988; Pendidikan Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (wetgevingsproces) di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda; Pendidikan Legislative Drafting Project University of San Francisco School of Law Indonesia Program; Pendidikan Legislative Drafting Boston University School of Law, Amerika Serikat, 24 Februari s/d 3 Maret 2002; dan The Residence Course in Legislative Theory, Methodology and Techniques, Boston University School of Law Boston, Amerika Serikat.

Dia pun pernah menjabat Dekan Fakultas Hukum UI. Pada Maret 2007, Maria dikukuhkan sebagai guru besar ilmu hukum FHUI. Sebagai dosen jurusan ilmu perundang-undangan, dia kerap dipercaya lembaga negara atas keahliannya sebagai legal drafter. Maria pernah dipercaya menjadi anggota tim perumus dan penyelaras Komisi Konstitusi MPR pada 2003-2004 dan anggota tim pakar hukum Departemen Pertahanan pada 2006-2008.

Dia juga menjabat Ketua Bidang Perundang-Undangan dan sebagai Ketua Komisi Perundang-Undangan, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara sejak 1999. Juga aktif sebagai Anggota Board of Advisor, International Consortium on Law and Development (ICLAD) – Boston University Program on Legislative Drafting for Democratic Social Change; Anggota Tim Pakar Hukum Departemen Pertahanan Republik Indonesia, sebagai ahli dalam perancangan dan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sebagai dosen, perempuan yang sejak kecil sudah terbiasa tidur setengah satu malam untuk belajar setiap hari itu telah memublikasikan berbagai karya ilmiah, baik dalam buku, jurnal, maupun artikel dalam seminar. Buku yang telah diterbitkan antara lain: Ilmu Perundang-Undangan, diterbitkan oleh Konsorsium Ilmu Hukum; Ilmu Perundang-Undangan diterbitkan oleh Kanisius; Ilmu Perundang-Undangan Edisi (1) Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (edisi revisi); Ilmu Perundang-Undangan Edisi (2) Proses dan Tehnik Pembentukannya.

Sedangkan tulisan dalam jurnal antara lain: Kewenangan Mahkamah Agung Dalam Bidang Perundang-Undangan Perlukan Amandemen UUD 1945 Dalam Bidang Kekuasaan Kehakiman; Aspek Yuridis Judicial Review Perpu Anti Terorisme dalam Buku TERORISME Definisi, Aksi, dan Regulasi; Kesan Umum Mengenai Pemberian Status Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Tanggapan Terhadap Materi Rancangan Undang-Undang dalam Buku MENCARI JALAN TENGAH Otonomi Khusus Propinsi Papua; Masalah Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Menurut TAP MPR No III/MPR/2000.

Setelah terpilih menjadi hakim konstitusi yang menyita pikiran dan waktunya, dia tetap mengabdikan diri dalam dunia akademis sebagai dosen yang tampaknya telah menjadi bagian dari aliran darah tubuhnya. Dia bahkan tidak hanya mengajar di almamaternya, tetapi juga masih menyempatkan diri mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM). Walaupun jadwal mengajar itu harus dibatasinya pada jam dan hari tertentu, ketika tak ada rapat atau sidang di MK.

Suatu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupannya adalah menyanyi dan main musik. Walaupun profesinya bukan guru musik seperti cita-citanya semasa kecil hingga remaja, Maria mengaku selalu menemukan kegembiraan ketika menyanyi dan main musik. Dia mengaku menyukai semua lagu, terutama lagu-lagu Broery Marantika yang amat berkesan baginya.

Perempuan yang cerdas dan rendah hati ini mengingatkan, setinggi apapun kedudukan setiap perempuan, dia harus sadar akan kodratnya sebagai perempuan. Dia mengatakan hal ini suatu keharusan. “Kalau dia dibutuhkan di rumah untuk masak ya harus masak atau nyuci, jangan pernah merasa terpaksa,” pesan isteri C. Soeprapto Haes dan ibu dari tiga anak (Ayu Prabha Ardhanastri, Bagus Jati Tyas Seta, dan Aji Kusuma Rah Utama) itu.

Atas konsistensi dan integritasnya dalam membela demokrasi dan menegakkan hukum, dia telah meraih penghargaan SK Trimurti Award 2010 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Penulis: Binsar Halomoan | Bio TokohIndonesia.com

Data Singkat
Maria Farida Indrati, Hakim Konstitusi RI (2008-2013) / Hakim Konstitusi Perempuan Pertama | Ensiklopedi | Profesor, Dosen, Perempuan, MK, Mahkamah Konstitusi, Hakim Konstirusi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini