Ketua MA Ke-12
Harifin Andi Tumpa
[ENSIKLOPEDI] Harifin Andi Tumpa, SH, MH, pria kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan, 23 Februari 1942 menjabat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia periode 2009 hingga 8 Februari 2012. Dia Ketua MA Ke-12 menggantikan Bagir Manan dan kemudian digantikan Hatta Ali.
Harifin Tumpa yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial dan Pelaksana Tugas Ketua MA (1 November 2008-15 Januari 2009) terpilih memimpin MA dalam pemilihan Ketua MA di Gedung MA, Jl Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (15/1/2009). Harifin terpilih dalam satu putaran dengan mendapat 36 suara dari 43 suara pemilih (hakim agung) atau lebih dari separo pemilih. Pesaingnya Djoko Sarwoko hanya mendapat 3 suara, Palulus E Lotulung 1 suara, Hamdan 1 suara, Artijo Alkostar 1 suara, dan Abbas Said 1 suara.
Harifin memperoleh pendidikan hukum dari Sekolah Hakim dan Djaksa di Makassar pada 1959-1963. Kemudian, dia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar hingga meraih gelar Sarjana Hukum pada tahun 1972. Dia pun menimba ilmu hukum ke Program Pascasarjana Universitas Leiden 1987, dan meraih Magister Hukum di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta tahun 1998-2000.
Dia berharap bukunya dibaca oleh khalayak terutama para hakim.Dalam buku itu, dia memang menuangkan pengalaman dan juga filosofi untuk menemukan keadilan terutama tentang usaha para hakim dalam menemukan keadilan.
Karirnya sebagai hakim dijalaninya di berbagai Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, hingga menjadi hakim agung dan menjabat Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial dan Pelaksana Tugas Ketua MA (1 November 2008-15 Januari 2009) sebelum terpilih menjadi Ketua MA pada Kamis (15/1/2009.
Setelah masa jabatannya berakhir sebagai Ketua MA, Harifin Tumpa berbagi pengalaman dengan meluncurkan tiga buku, yakni: 1. Buku biografinya yang berjudul ‘Pemukul Palu dari Delta Sungai Walanae’; 2. Buku berjudul ‘Menuju Peradilan Agung’; dan 3. Buku berjudul ‘Menguak Roh Keadilan dalam Putusan Hakim.’
Buku biografinya ditulis oleh Sekretarisnya, Nurhadi bersama sejumlah orang tim redaksi. Buku kedua berupa petisi dari reformasi Mahkamah Agung (MA) yang merupakan kumpulan dan kompilasi tulisan dan sambutannya pada berbagai acara pelatihan dan acsrs penting lainnya. Buku ketiga mengupas putusan hakim dalam hubungannya dengan roh keadilan yang ada dalam perkara.
Dia berharap bukunya dibaca oleh khalayak terutama para hakim.Dalam buku itu, dia memang menuangkan pengalaman dan juga filosofi untuk menemukan keadilan terutama tentang usaha para hakim dalam menemukan keadilan.
Selama berkarir sebagai hakim, dia amat terkesan dan merasa bahwa di mana pun bertugas bisa diterima oleh siapa pun sehingga dalam menjalankan tugas tidak ada yang terasa berat. Dia mengaku amat terkesan dengan rekan-rekan hakim yang pada umumnya sangat arif bijak dan cerdas sehingga dia banyak belajar dari mereka.
Setelah pensiun, dia banyak menghabiskan waktu dengan cucu-cucunya yang membuatnya amat merasa bahagia. Namun, dia juga aktif dalam berbagai tugas sosial kemasyarakatan, serta mengajar.
Jatuh, Trauma Setahun
Ada sebuah kejadian yang membuat Harifin trauma tampil di depan umum hampir setahun. Kejadiannya, Harifin terjatuh saat melantik enam hakim agung pada Desember 2008. Kaki kiri Harifin kehilangan kekuatan dan dia terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Untunglah dia tidak sempat jatuh sampai di lantai.
Peristiwa tersebut terjadi bersamaan pula dengan saat penggodokan UU pembatasan usia hakim agung dari 67 tahun menjadi 70 tahun. Harifin saat itu sudah berusia 66 tahun. Ketika itu, LSM melakukan kritik yang sungguh menyakitkan, yang pada intinya tidak pantas orang yang sudah tua memimpin MA. (Biografi Harifin A Tumpa “Pemukul Palu dari Delta Sungai Walanea” halaman 266). Polemik batasan usia itu pun kian menjadi-jadi saat Harifin terjatuh. Berbagai kritikan dari masyarakat yang menilai hal tersebut menunjukkan tidak tepat hakim agung hingga berusia 70 tahun.
Ketika itu timbul anggapan bahwa Harifin tidak mampu lagi untuk memimpin MA. “Peristiwa itu menimbulkan trauma. Setiap saya tampil di muka umum, selalu ada kekhawatiran jatuh lagi,” ungkap Harifin dalam buku biografinya. Tetapi setelah melewati satu tahun, kekhawatiran tersebut sirna. Harifin terbukti dapat mejalankan tugas sebagai Ketua MA dengan baik hingga akhir tugasnya.
**
Dukungan Keluarga
Harifin Tumpa mengaku keberhasilan karirnya sebagai hakim tak terlepas dari dukungan keluarga, terutama Sang isteri Herawati. Dia pertama kali mengenal gadis Herawati pada suatu pesta pernikahan rekannya. Dia mengaku, pada mulanya perasaannya biasa-biasa saja tapi lama-lama muncul perasaan lain. Ketika itu, 40-an tahun lalu, di mata Harifin muda, gadis Herawati begitu anggunnya hingga jantungnya berdetak kencang. Saat itu Herawati mengenakan kebaya merah jambu, sangat indah di mata Harifin muda.
Namun saat pesta tersebut, Harifin belum berani untuk berkenalan dengan Herawati. Tapi dia pun mulai menyelidik lewat teman-temannya: Siapa gerangan perempuan anggun jelita itu? Beberapa hari setelah acara pesta itu, dia pun minta bantuan teman-teman untuk mencari tahu siapa gadis itu. Ternyata, Wati (panggilan akrab Herawati) seorang panitera pengganti di Pengadilan Negeri Takalar, Sulawesi Selatan, tempat Harifin bertugas sebagai hakim.
Akhirnya merekapun berkenalan dan pacaran selama dua tahun. Saat itu, Harifin masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Lalu setelah lulus Sarjana Hukum tahun 1972, Harifin muda pun meminang Herawati. Harifin minta tolong sama teman kos, Samang Hamidi, untuk melamar kepada orangtua gadis pujaannya.
Menurut Herawati, ketika dia menerima lamaran Harifin, semua teman-teman Herawati sangat kaget. Sebab keduanya sangat bertolak belakang, Herawati sangat cerewet sedangkan Harifin pendiam. “Tuhan Maha Adil, yang pendiam dipasangkan dengan yang cerewet agar saling melengkapi,” ungkap Herawati.
Hingga mereka pun menikah (1972). Dikarunia 2 orang anak, Andi Hartati Harifin dan Andi Julia Cakrawala. Kini mereka telah memiliki enam cucu. Herawati mengaku kami kini tidak lagi muda, namun kemesraan tetap sama, malah saya kini jauh lebih mesra. “Setiap pagi saya menyiapkan sarapan dan mengantar Bapak sampai masuk mobil. Sesekali saya mencukur rambutnya. Bapak tidak pernah mau memangkas rambut ke salon sejak beliau menikah dengan saya,” kata Herawati tersenyum bahagia. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com