Lorong Politik Gatot Nurmantyo

Gatot Nurmantyo
 
0
1535

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo belakangan ini menjadi perbincangan publik. Beberapa langkahnya dipandang sebagai manuver politik menuju Pilpres 2019. Sayang, jika kepercayaan dirinya yang terkesan berlebihan, kemungkinan akan membuatnya terjebak dalam lorong politik remang-temaram bahkan mungkin gelap-gulita. Namun, siapa tahu ada kejutan yang akan mengantarkan Gatot jadi presiden.

Jenderal Gatot Nurmantyo telah menjadi perbincangan politik sejak dia diisukan mengetahui bahkan setuju upaya makar, bersamaan demo besar-besaran bela Islam akhir tahun lalu. Saat itu, wartawan Allan Nairn menulis ‘laporan investigasi’ di The Intercept, bahwa Gatot mengetahui dan merestui adanya dugaan upaya makar. Guna mendukung investigasinya, Allan mengutip pernyataan Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen saat menjalani pemeriksaan terkait tuduhan makar oleh polisi.

Namun isu ini disebut hoax oleh Jenderal Gatot Nurmantyo. Maka ia tak perlu menanggapinya. Presiden Jokowi pun memperlihatkan kepada publik bagaimana kepercayaannya kepada Panglima TNI itu. Publik dan elit partai pendukung pemerintah pun ikut percaya. Bahkan elit Partai Golkar dan Nasdem sempat mewacanakan Gatot layak menjadi Cawapres pendamping Jokowi pada Pilpres 2019.

Di sisi lain, beberapa partai ‘oposisi’ dan ormas-ormas Islam yang menunjukkan sikap berseberangan dengan Presiden Jokowi, tampaknya juga menangkap sinyal bahwa Gatot layak menjadi teman seperjuangan. Layak diusung jadi Capres atau setidaknya menjadi Cawapres pendamping Prabowo.
Kendati kepada publik, Gatot berulangkali menyatakan sebagai prajurit, ia setia kepada pimpinan (panglima tertinggi). Namun, langkah-langkahnya berikutnya dicermati publik. Di antaranya, Gatot sibuk mengunjungi para ulama dan kampus-kampus. Disusul, instruksinya wajib nonton film Pemberontakan G-30-S/PKI di kalangan TNI.

Lalu paling anyer, Gatot mengumpulkan para jenderal purnawirawan di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur (Minggu, 24/9/2017). Ia meminta nasehat, apa yang akan dilakukannya setelah pensiun pada Maret 2018 nanti. Pada kesempatan itu, ia pun melontarkan pernyataan yang disebutnya dari sumber intelijen A1 mengenai impor 5000 senjata ilegal oleh institusi lain bukan militer dan akan menyerbu institusi itu jika memiliki senjata yang bisa menembak tank, pesawat dan kapal. (Pernyataan yang disebut dari sumber intelijen A1 itu kemudian disebutnya bukan informasi intelijen setelah Gatot dipanggil Presiden).

Manuver Jenderal Gatot yang terakhir ketika mengumpulkan para jenderal purnawirawan di Mabes TNI itu mengundang reaksi dari berbagai pihak, walau sudah ‘diluruskan’ Menkopolhukam Wiranto dalam konferensi pers (Minggu 24/9/2017). Wiranto menyebut perihal impor 5000 senjata itu hanya merupakan informasi dan komunikasi yang belum tuntas. Yang benar, Badan Intelijen Negara (BIN) memang memesan 500 senjata dari Pindad untuk kebutuhan pendidikan.

Namun, karena Panglima TNI menyebut informasi 5000 pucuk senjata itu merupakan informasi A1 intelijen, reaksi dan polemik masih terus bergulir. Berbagai pihak memberi tanggapan. Di antaranya, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Dr. Meoldoko dan pengamat pertahanan (militer) dari Universitas Indonesia Dr. Connie Rahakundini Bakrie.

Moeldoko menjawab pertanyaan pers mengatakan prajurit TNI wajib berpedoman pada Sapta Marga. “Semuanya harus dalam satu komando, tegak lurus. Gampang koq jadi prajurit itu, kuncinya adalah Sapta Marga dan sumpah prajurit, patuh dan taat pada pimpinan,” kata Moeldoko di Jember, Rabu sore, 27 September 2017.

“Kalau saya jadi prajurit, pedoman saya hanya Sapta Marga dan sumpah prajurit. Pimpinan tertinggi saya hanya presiden, bukan yang lain,” kata Jenderal (Purn) Dr. Meoldoko.
Pernyataan Moeldoko yang mencerahkan itu disambut TNI Angkatan Udara melalui akun Twitter resminya @_TNIAU: “I do agree with him, based on our constitution the Pre­sident is our supreme commander!” (Saya setuju dengan dia, berdasarkan konstitusi kita Presiden adalah panglima ter­tinggi kami!)

Lalu, seseorang berkomentar: “This twit is plintirable, bahwa Airmin gak patuh panglima TNI.” Cuitan ini disahut @_TNIAU: “No, you are wrong, all TNI personnel are under control “Panglima TNI”, no one can doubt it and the president is the supreme commander.”

Selain itu, perihal polemik instruksi Panglima TNI yang mewajibkan prajurit TNI menonton film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’, Moeldoko mengatakan instruksi tersebut harus dilihat konteksnya. “Lihat konteksnya saja. Kalau konteksnya adalah pendidikan, itu tidak apa-apa. Tapi kalau konteksnya digoreng jadi isu politik, itu yang berlebihan,” kata Moeldoko.

Advertisement

Reaksi paling bernyali dan terang-benderang dikemukakan pengamat pertahanan (militer) dari Universitas Indonesia Dr. Connie Rahakundini Bakrie. Connie yang dikenal dekat dengan para jenderal dan intelijen itu menilai berbagai gerakan dan pernyataan Gatot sebagai upaya untuk menghimpun dukungan politik. Connie menilai, beberapa kali Gatot melakukan manuver yang membawa TNI berpolitik, di antaranya, saat ia mengumpulkan para purnawirawan TNI itu.

Maka, Connie pun meminta Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pensiun dini dan bergabung ke partai politik. “Dalam harapan saya, stoplah Panglima TNI itu menggunakan baju seragam Panglima TNI membuat chaos semacam ini. Dia senang sekali menggunakan drama politik,” kata Connie dalam Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, Senin (25/9/2017).

Connie memandang ada beberapa hal yang dilanggar oleh Gatot terkait pernyataannya adanya institusi negara yang membeli 5.000 pucuk senjata. Pertama, karena yang disampaikan adalah data intelijen A1 (diyakini kebenarannya), berarti yang dapat menerima laporan itu hanya Presiden Joko Widodo yang merupakan Panglima Tertinggi TNI.

Kedua, sebagai tentara, Gatot terikat pada sumpah prajurit, yakni mesti memegang teguh rahasia. Connie menganggap Gatot bersalah karena membuka informasi sangat rahasia (A1) di depan publik.
Ketiga, dia tidak boleh mengeluarkan pernyataan untuk menyerbu institusi lain.
Menurut Connie, salah satu bentuk konkrit pertanggung­jawaban Gatot adalah membuktikan bahwa senjata itu memang ada lima ribu karena kalau itu data dari A1 melesetnya tidak boleh segitu banyak. Kalau tidak bisa dibuktikan, yang kena imbasnya TNI, dianggap tidak kompeten apalagi intelijennya seolah-olah kacau-balau.

Selain itu, Connie mengatakan kalau dianggap ada pihak-pihak dalam tubuh Polri menjadi ancaman negara, Gatot seharusnya bisa melaporkan hal itu kepada Presiden, Menteri Pertahanan atau Menkopolhukam. Atau bahkan Gatot bisa menelepon langsung kepada Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian untuk membahas isu tersebut. Connie mengingatkan pernyataan Gatot itu bisa berbahaya bagi situasi keamanan negara kalau terus dibiarkan.

Lorong Politik Gelap-Gulita, Atau…

Dengan manuver politik seperti itu, apakah Presiden Jokowi masih percaya kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo? Sudah pasti yang tahu jawaban pertanyaan ini hanyalah Presiden Jokowi sendiri. Namun, manuver politik ‘panglima’ itu mengundang keingintahuan publik yang mudah-mudahan bisa dijawab melalui kalkulasi dan persepsi politik.

Kehadiran Presiden Jokowi nonton bareng film G30S/PKI bersama keluarga tentara dan polisi serta warga Bogor di Lapangan Markas Korem 061/Suryakencana, Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/9/2017), cukup memberi jawaban (ilustrasi) bagaimana Presiden Jokowi menyikapi berbagai isu dan manuver politik yang tengah terjadi, tanpa harus banyak bicara.

Mengenakan jaket berwarna merah, Presiden Jokowi datang tepat waktu pukul 20.00 WIB saat pemutaran film di­jad­walkan akan dimulai. Presiden didampingi Danrem 061/Suryakancana Kolonel Inf Mirza Agus, Dandim 0606/Kota Bogor Letkol Arm Doddy Suhadiman, Kapolresta Bogor Kota Kombes Pol Ulung Sampurna Jaya, Wakalpolresta AKBP Rantau, duduk lesehan di barisan depan. Belum terlihat sosok Panglima TNI. Jenderal Gatot baru tiba menyambangi Presiden di tempat (lapangan tenis Makorem 061/Suryakencana) itu sekitar tiga setengah jam berikutnya, atau tepatnya pukul 23.29 WIB.

Tampaknya Jokowi dengan cerdas menunjukkan bahwa dia tulus dan tidak punya beban (politik) masa lalu, sehingga langkahnya bisa lincah menghadapi tantangan untuk menjemput masa depan, kendati saat dia memikul tanggung jawab (beban) berat. Sekaligus menyikapi manuver politik yang dilakukan oleh siapa pun yang berpotensi atau berkeinginan jadi pesaingnya di Pilpres 2019 mendatang. Termasuk yang terkesan dilakukan kepercayaannya sendiri, Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Kembali ke kalkulasi atau persepsi untuk menjawab pertanyaan di atas, pijakannya adalah suatu hal yang amat pantas bila siapa pun apalagi seorang mantan atau Panglima TNI berambisi jadi presiden. Jadi amat pantas bila Jenderal Gatot ingin menjadi presiden. Walaupun ketika ditanya wartawan Gatot berulangkali menyatakan tidak etis kalau ia menjadi pesaing Presiden Jokowi yang saat ini masih sebagai pimpinannya.

Namun manuver yang dilakukan oleh Gatot, tampaknya tanpa disadarinya mengindikasikan terlalu percaya diri bakal bisa menjadi pesaing Jokowi di Pilpres 2019 mendatang. Sebab jika tidak berambisi atau targetnya (harapannya) cukup menjadi Cawapres pendamping Jokowi, tak perlu ia melakukan manuver seperti itu. Ia cukup membuktikan loyalitas (Sapta Marga dan Sumpah Prajurit), kapabilitas dan kinerjanya sebagai Panglima TNI yang dengan sendiri­nya akan meningkatkan elektabilitas politiknya.
Tetapi tampaknya (terkesan, jika) Gatot percaya diri bisa menjadi Capres menyaingi Jokowi.

Sesungguhnya, itu sebuah kekuatan. Sayang manuvernya dilakukan dalam posisinya masih aktif sebagai Panglima TNI. Hal ini mungkin luput dari pertimbangannya bersama timnya (kalau sudah ada), sehingga kesan kurang etis dan overconfidence sulit dinafikan.

Manuver yang membawa-bawa militer ke ranah politik, sudah tidak ampuh dilakukan saat ini. Reformasi telah menyepakati demokrasi dengan supremasi politik sipil. Dalam menyikapi hal ini (militer berpolitik) para pihak yang tadinya berseberangan bisa menjadi satu suara, menolak. Dalam kasus ini, terlihat jelas dari reaksi elit Partai Demokrat yang menunjukkan penolakan atas manuver yang mencoba membawa-bawa militer ke ranah politik praktis.

Partai Demokrat kelihatannya konsisten dalam hal ini. Itu telah dibuktikan ketika AHY melepas peluangnya (potensial) jadi jenderal ketika maju menjadi Cagub DKI Jakarta. Partai Demokrat telah memberi contoh, bila prajurit TNI mau berpolitik, silakan mundur (pensiun) dulu dari TNI. Patut juga diketahui bahwa SBY mempunyai andil besar dalam merancang reposisi TNI pada awal reformasi.
Manuver yang mencoba membawa TNI kembali ke politik praktis seperti zaman Orba, tampaknya tidak akan banyak mendapat dukungan. Kendati (antara lain) prajurit dan pemuda disuguhi menu kepahlawanan jenderal dan TNI AD dalam film penumpasan G-30-S/PKI.

Jenderal (Purn) Moeldoko mengatakan pada awal reformasi, masyarakatlah yang mendorong TNI supaya tidak berpolitik praktis, tetapi saat justru internal TNI sendirilah yang mendorong supaya TNI tidak berpolitik.

Dalam konteks ini, suara yang digemakan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko amat mencerahkan bagi publik terutama prajurit yang menyuarakan menolak TNI digiring kembali ke ranah politik. Suara itu secara terbuka langsung disambut TNI-AU melalui cuitannya. Diyakini, demikian pula TNI-AL yang sudah mendapat porsi kesempatan yang sama menjadi Panglima TNI. Apalagi Polri yang sudah lepas dari ‘kendali’ TNI-AD dan merasa diancam akan diserbu pula.

Maka jika ada kalkulasi akan ada­nya dukungan kuat bagi TNI kembali berpolitik, adalah suatu langkah yang sa­lah hitung, yang akan membawa­nya ke lorong gelap-gulita. Walaupun mungkin, karena kepentingan praktis, misalnya bagi yang antipati dan tidak menginginkan Jokowi terpilih kembali, manuver itu bisa mendapat dukungan, baik dari partai politik dan ormas tertentu.

Peluang Gatot

Kalau begitu indikasi, kalkulasi atau prediksinya, seberapa besar peluang Gatot Nurmantyo menjadi Capres pada Pilpres mendatang? Ada banyak kemungkinan, sebab politik itu adalah seni kemungkinan.
Pertama, jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan penghapusan presidential threshold, peluang Gatot lebih terbuka, hampir dapat dipastikan akan ada partai yang mencalonkannya. PKS dan PAN (terutama PKS) dua partai yang lebih besar kemungkinannya mengusungnya jadi Capres. Walau sebenarnya Muspinas PAN telah menetapkan Ketua Umumnya Zulkifli Hasan menjadi Capres. Tapi partai ini sangat mungkin mengubahnya mengikuti kemauan Amien Rais yang terkesan sangat berseberangan dengan Jokowi. Indikasi dukungan Amien kepada Gatot terlihat dari pujiannya (30/9/2017) yang menyebut Gatot Patriot, setelah berbagai manuver Gatot ramai diperbincangkan.

PBB hampir pasti lebih mengutamakan Yusril jadi Capres dan lebih mungkin menawarkan Gatot Cawapres. PD sangat kecil kemungkinan mencalonkan orang lain di luar kerabat SBY jadi Capres. Gerindra, sudah jelas akan mencalonkan Prabowo, kecuali Prabowo legowo jadi Cawapres atau tidak mencalonkan diri lagi.

Dari koalisi partai pendukung pemerintah (Jokowi): PDI-P sudah pasti mengusung kembali kadernya sendiri, kecuali Jokowi menyimpang dari garis perjuangan partainya; Nasdem, Hanura, Golkar dan PKPI sudah memutuskan dalam Rapimnas masing-masing akan mencalonkan kembali Jokowi. PKB dan PPP belum memastikan mengusung kembali Jokowi. Tapi rasanya sulit bagi Gatot menarik kedua partai ini agar meninggalkan Jokowi, walaupun kemungkinan selalu terbuka.

Partai baru: Perindo sudah menyatakan akan mendukung Jokowi, kalaupun tidak jadi, sangat sulit dibayangkan Perindo tidak mengutamakan ketua umumnya atau daripada mendukung Gatot masih lebih mungkin mendukung Prabowo atau Jokowi. PSI, partai anak muda ini sudah menyatakan mendukung Jokowi. Partai Idaman, didirikan untuk mengusung Rhoma Irama jadi Capres, tapi kemung­kinan mencalonkan Gatot terbuka, karena sentimen asal bukan Jokowi.

Kedua, jika Mahkamah Konstitusi menolak permohonan penghapusan presidential threshold, sudah tentu peluang Gatot sangat kecil menjadi Capres. Mungkin hanya akan ada dua atau tiga pasangan Capres-Cawapres. Jika hanya dua pasangan, peluang terbesar ada di tangan Jokowi dan Prabowo. Jika tiga pasangan peluangnya ada di tangan Jokowi, Prabowo dan AHY atau kerabat SBY.

Peluang Gatot sangat kecil. PKS dan PAN tidak cukup suara untuk mengusung pasangan Capres-Cawapres. Peluangnya masih terbuka jika Golkar ingkar janji dengan membangun koalisi baru mengusung Gatot. Tapi rasanya sangat kecil kemungkinannya. Sebab Golkar saat ini bukan lagi Golkar seperti era Orba yang dikendalikan oleh jalur ABRI. Golkar saat ini sudah benar-benar parpol supremasi sipil.

Lalu, bagaimana peluangnya menjadi Cawapres? Sangat lebih terbuka. Walaupun untuk menjadi Cawapres pendamping Jokowi (koalisi PDIP) rasanya sudah hampir tertutup akibat manuver kemarin. Menjadi Cawapres pendamping Prabowo (koalisi Gerindra) lebih terbuka. Tapi rasanya kurang strategis untuk menyaingi Jokowi. Tanpa Gatot, misalnya, mereka yang menolak pembubaran HTI, sudah akan lebih memilih Prabowo daripada Jokowi. Menjadi Cawapres pendamping AHY (koalisi Demokrat) juga terbuka. Tapi juga kemungkinan akan mudah dikalahkan Jokowi dan Prabowo siapapun Cawapres masing-masing. Karena, berbagai hasil survei saat ini masih mengunggulkan Jokowi dan pesaing terkuatnya masih hanya Prabowo.

Jadi kondisi saat ini, sepertinya kepercayaan diri yang terkesan (jika) berlebihan telah/akan membawa Jenderal Gatot terjebak dalam lorong politik yang remang-temaram bahkan bisa gelap-gulita jika tidak ada hal-hal yang mengejutkan. Memang masih ada harapan, walau tidak ideal, tapi bisa saja justru diharapkan (manuver), misalnya, manakala (supaya) Jokowi bertindak gegabah (terkesan kejam) memecat Gatot, sehingga ia mendapat kesempatan mendulang empati rakyat sebagai orang yang teraniaya seperti SBY tahun 2004.

Tapi kemungkinan ini sangat kecil. Kelihatannya Jokowi masih kelihatan konfiden (antara lain terlihat dari kedatangannya nonton bareng bersama prajurit di Korem). Tampaknya dia tidak akan gegabah memecat Jenderal Gatot karena masih percaya kepada tiga Kepala Staf TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU dan jajaran di bawahnya, juga kepada Kapolri, Kepala BIN dan Menkopolhukam dalam menjamin keamanan nasional.

Hal ini juga terlihat jelas dari instruksi Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet paripurna di Istana Nega­ra, Senin (2/10): “Saya sebagai kepala pemerintahan, kepala negara dan panglima tertinggi angkatan darat, laut dan udara, memerintahkan fokus pada tugas masing-ma­sing.” Jokowi menyatakan, stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi akan terbentuk dan terjaga apabila seluruh kementerian dan lembaga fokus pada hal-hal yang menjadi tugas dan kewenangannya. Juga penampilannya pada saat menghadiri HUT TNI ke-72 di Cilegon, Banten (5/10).

Kini, bisa mungkin timbul dilema bagi Jenderal Gatot: Apakah sabar menunggu sampai pensiun sambil menanti mudah-mudahan dipecat, atau segera mengundurkan diri (pensiun dini) untuk bisa fokus (etis) berpolitik? Tapi dilemanya lagi, jika ia mengundurkan diri (atau dipecat) berarti akan kehilangan panggung besar Panglima TNI. Sementara panggung penggantinya (partai politik) belum tentu tersedia. Kalaupun ada panggung politik yang menggadang-gadangnya, di situ dia masih berstatus penumpang. Atau sudah adakah ‘kekuatan besar’ yang menyediakan panggung politik untuknya? Ini masih remang bahkan bisa gelap-gulita.

Atau, jangan-jangan (mudah-mudahan tidak) dia sedang (hanya) diperalat ‘kekuatan kepentingan politik’ tertentu tanpa disadarinya, dengan mengiming-iming dan menyanjungnya?

Salah satu hal yang menarik (perlu dicermati sebagai indikator), ternyata digorengnya isu kebangkitan PKI tidak dipercaya publik. Justru bisa jadi bumerang bagi penggorengnya. Hasil survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) 3-10 September 2017, mayoritas warga (86,8 persen) tidak percaya sedang terjadi kebangkitan PKI. Sedangkan yang menyatakan setuju (percaya) akan adanya kebangkitan PKI hanya 12,6 persen (0,6 persen tidak tahu) dan mereka beririsan (mayoritas atau 75%) pendukung PKS (37%), Gerindra (20%) dan PAN (18%).

Sementara ‘koalisi’ ini pun sudah punya tokoh unggulan yang juga tampaknya didukung kelompok aksi bela Islam yang juga berpotensi mendukung Gatot. Memang, di lorong politik ini, bisa saja kepada Gatot digelar karpet welcome, tapi di situ sudah ada tokoh berpengaruh yang ‘pemilik’ partai politik. Mampukah Gatot bersaing dengan tokoh tersebut?

Tapi, paling tidak, bergabungnya Gatot di barisan koalisi pendukung Prabowo akan menjadi tambahan amunisi untuk bisa mengalahkan Jokowi. Sehingga tatkala Prabowo menang jadi Presiden RI Ke-8, Gatot bisa mungkin jadi Menkopolhukam.

Namun (apalagi), bisa saja terjadi kejutan. Prabowo legowo tidak mencalonkan diri dan menyerahkan peluang jadi presiden itu kepada Gatot. Jika hal ini terjadi, tak mustahil, walaupun terbilang sangat sulit, Gatot akan mengalahkan Jokowi di Pilpres 2019 nanti. Inilah kemungkinan peluang terbaik Gatot Nurmantyo.

Memang, kalkulasi atau prediksi ini bukan bersumber informasi A1 intelijen. Namun dalam dunia jurnalistik, yang kadang kala lebih ‘intelek’ dari intelijen, suatu kecenderungan adalah fakta. | Ch. Robin SimanullangMajalah Berita Indonesia Edisi 96 | November 2017

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini