Mimpi Indonesia Jenderal Visioner
Luhut Binsar Panjaitan
[ENSIKLOPEDI] Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, mempunyai mimpi bahwa suatu hari nanti kita semua akan menghargai dan menghormati sesama warga bukan karena punya latar belakang etnis yang serupa, bukan karena berasal dari kampung halaman yang sama, bukan juga karena suatu iman dan satu agama, melainkan dihargai dan dihormati karena ia orang Indonesia yang mampu berjuang untuk mengangkat harkat dan hidup manusia-manusia Indonesia lainnya.
“Sebagaimana banyak orang Indonesia lainnya yang juga punya mimpi, saya pun mempunyai mimpi, bahwa suatu hari di masa dekat, kita semua akan ikhlas memilih seorang pemimpin bukan karena ia lahir dari suku mayoritas terbesar, bukan karena ia berkulit dan berwajah sama dengan dirinya, dan bukan karena ia satu imam, kepercayaan atau agama dengannya; melainkan karena ia seorang pemimpin yang mampu serta bisa membawa bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik, ke arah Indonesia Emas yang gemilang,” tulis Luhut Panjaitan tentang Mimpi Indonesia di blognya: luhutpanjaitan.com.
Dia juga yakin bahwa mimpi yang dikemukakan itu bukan hanya pribadi seorang Luhut Binsar Pandjaitan di siang hari bolong, tetapi visi jutaan masyarakat Indonesia yang menginginkan kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Indonesia yang dipaterikan dalam Mukadimah UUD 1945 yang mampu menuju masyarakat adil dan makmur.
Dalam paparan visinya yang lain bertajuk ‘Pemimpin dan Esensi Beragama’, Luhut menyatakan semestinya di era yang semakin modern ini kemampuan seseorang itu tidak lagi dilihat dari apa agamanya. Kalau kita membuat gelas misalnya, atau membuat produk tertentu, kita tidak akan menanyakan apa agamamu. Seperti juga sejarah telah mencatat orang yang merancang Masjid Istiqlal itu adalah justru seorang Kristiani.
Demikian juga mengenai kemampuan kepemimpinan seseorang. Menurut Luhut, saat ini yang penting adalah bagaimana sosok pemimpin itu bisa menyejahterakan rakyat. Karena soal keyakinan itu merupakan hal yang sangat pribadi. Jika kita puas dengan agama kita masing-masing, silahkan beribadah menurut keyakinan masing-masing.
Luhut pun menyatakan Mimpi Indonesia bahwa suatu hari di masa dekat, kita semua akan ikhlas memilih seorang pemimpin bukan karena ia lahir dari suku mayoritas terbesar, bukan karena ia berkulit dan berwajah sama dengan dirinya, dan bukan karena ia satu imam, kepercayaan atau agama dengannya; melainkan karena ia seorang pemimpin yang mampu serta bisa membawa bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik, ke arah Indonesia Emas yang gemilang.
Sekarang ini, menurut Luhut, bukan lagi kita berpikir mengenai pertentangan antar agama yang hanya akan memecah belah bangsa ini. Bukan lagi kita saling curiga dengan saudara sebangsa kita yang berbeda agamanya.
Mimpi Indonesia itu diawali dengan kutipan pidato Dr Martin Luther King Jr, seorang tokoh hak asasi manusia, pada 28 Agustus 1963 di hadapan sekitar 250 ribu orang kulit hitam yang berkumpul di depan monumen Abraham Lincoln di Kota Washington DC, Amerika Serikat. Ketika itu, masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat masih menjadi warga kelas dua. Di bagian selatan negara itu warga kulit hitam tidak boleh naik bus yang dinaiki oleh kulit putih, tidak boleh mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah kulit putih dan tidak boleh masuk restoran khusus untuk kulit putih.
Dalam situasi itu Dr Martin Luther King Jr, memidatokan mimpinya: “I have a dream that one day on the red hills of Georgia the sons of former slaves and the sons of former slaves owner will be able to sit down together at the table of brotherhood.” [Saya mempunyai mimpi, bahwa suatu hari di bukit yang memerah di Georgia, anak-anak dari bekas budak dan anak-anak dari bekas pemilik budak akan duduk bersama di meja persaudaraan];
“I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the colour of their skin but by the content of their character. I have a dream today!” [Saya mempunyai mimpi bahwa keempat anak saya yang kecil suatu hari akan hidup di sebuah negara di mana mereka tidak dinilai dari warna kulitnya, melainkan oleh isi karakter mereka.]
Luhut menyatakan sungguh mengherankan, negara besar yang sering menyebut dirinya sebagai kampiun demokrasi masih memperlakukan warganegaranya yang kebetulan berkulit berbeda, secara tidak setara. Sementara, sungguh membangggakan pula pada tahun 1963 itu Indonesia tidak pernah memperlakukan warganya, dari asal mana saja, sebagai warga kasta rendahan.
Luhut menyebut pidato Dr. King tersebut adalah salah satu pidato yang paling banyak dikutip sebagai salah satu speech that change the world. Lalu, dia pun memaparkan ketika di tahun 2009 seorang senator berkulit hitam dan pernah menjadi warga Jakarta selama beberapa tahun bernama Barrack Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat pertama, yang bukan berkulit putih, semua teringat akan pidato inspiratif Dr. Martin Luther King di atas. Ia dan mungkin puluhan juta warga Amerika berkulit putih maupun yang berkulit warna lain tidak mengira bahwa impian Dr. King terwujud juga.
Impian telah menjadi kenyataan! Bila setengah abad lalu banyak kaum pesimis mengatakan bahwa pidato Dr. Martin Luther King itu hanya mimpi di tengah hari bolong, kini semua pihak mengakui mimpinya tepat dikatakan sebagai visi yang mulia.
Maka, Luhut pun menyatakan Mimpi Indonesia bahwa suatu hari di masa dekat, kita semua akan ikhlas memilih seorang pemimpin bukan karena ia lahir dari suku mayoritas terbesar, bukan karena ia berkulit dan berwajah sama dengan dirinya, dan bukan karena ia satu imam, kepercayaan atau agama dengannya; melainkan karena ia seorang pemimpin yang mampu serta bisa membawa bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik, ke arah Indonesia Emas yang gemilang.
Jenderal Visioner
Luhut Binsar Panjaitan dikenal sebagai salah seorang jenderal yang visioner. Tatapan masa depannya yang tajam dan jauh hingga menembus tabir serta penuh optimisme, telah terpatri dari sejak masa kecilnya. Sosok keteladanan ayahnya yang visioner di bawah terang iman, kasih dan pengharapan, telah sejak kecil mengalir dalam sel-sel darah dan sumsum tulangnya.
Visi, optimisme dan perjuangan ayah dan ibunya Bonar Pandjaitan dan Siti Frida Naiborhu telah mengilhaminya dalam menatap dan menapaki masa depan. Luhut dilahirkan di sebuah kampung kecil di Simargala, Toba Samosir, Sumatera Utara, pada 28 September 1947. Kehidupan orang tuanya berlangsung penuh perjuangan. Sang Ayah mengawali karir sebagai sopir bus. Sang Ayah bekerja keras mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Tetapi di tengah perjuangan itu, Sang Ayah selalu menyalakan cahaya hati dan pikirannya menatap masa depan. Sang Ayah tidak mau pasrah cukup menjadi sopir hingga hari tuanya. Melainkan, Sang Ayah selalu bermimpi menjangkau kehidupan yang lebih baik.
Untuk mewujudkan mimpi itu, Sang Ayah pun berjuang untuk menjangkau pendidikan lebih tinggi. Atas ketekunan dan kesungguhannya Sang Ayah menjadi Putra Indonesia pertama yang berkesempatan belajar ke Cornell University (Amerika Serikat) atas biaya perusahaan di mana beliau bekerja setelah tidak lagi menjadi sopir bus. Dari Cornell University itu Sang Ayah atas karunia Tuhan kembali ke Indonesia bergelar Insinyur.
Bagi Luhut, perjuangan visioner orang tuanya telah menjadi inspirasi tak terhingga baginya dalam menjalani setiap tapak kehidupan. Jujur, kerja keras, terus belajar dan berikan yang terbaik, itulah antara lain hal yang terinspirasi dari keteladanan orang tuanya yang telah menjadi panduan hidupnya sejak kecil. Inspirasi yang selalu mendorongnya untuk selalu belajar lebih banyak dan berkembang lebih jauh.
Long life education, itulah jati dirinya. Setelah menamatkan sekolah menengah di SMA Penabur, Bandung, Luhut mengikuti tes penerimaan Akademi Militer (Akabri). Dia diterima dan tiga tahun berikutnya (1970) menyelesaikan pendidikan sebagai lulusan terbaik Akabri Bagian Darat dimana dia dianugerahi penghargaan Adhi Makayasa.
Luhut pun memilih korps infanteri dan kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), hal mana pilihan ini harus ditempuh melalui pelatihan-pelatihan yang amat berat. Kemudian, Luhut mengawali karier militernya sebagai Komandan Peleton I/A Group 1 Para Komando, Kopassus (1971) hingga menjabat Komandan Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Darat (Kodiklat TNI AD) (1997-1999). Di tengah perjalanan karier militernya, dia juga selalu giat menekuni berbagai pendidikan dan latihan. Dia mengikuti Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SESKOAD), Sekolah Staf Komando ABRI (SESKO ABRI), Kursus Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS), pendidikan di National Defense University, USA, bahkan hingga meraih gelar Masters in Public Administration, George Washington University, Washington DC, Amerika Serikat.
Selain itu, Luhut juga mengikuti berbagai pelatihan militer, antara lain: US Army Air Borne, Pathfinder, And Ranger Course, Fort Bragg And Fort Benning, Amerika Serikat (1976); Free Fall Instructor Course, US Army Special Forces, Fort Bragg, Amerika Serikat (1976); Bomb Disposal Instructor Training, US Army Special Forces, Fort Bragg, Amerika Serikat (1977); Mobile Trainning Team (MTT) Instructor Course Golden Knight, US Army Special Forces, Fort Bragg, Amerika Serikat (1978); US Army John F. Kennedy Special Warfare Center and School (US. Army Special Forces Course), Fort Bragg, Amerika Serikat (1978); HALO Jumpmaster Instructor, US Army Jumpmaster School, Amerika Serikat (1980); Counter-Terrorism and Special Operations Course, Grenzschutzgrupppe 9 (GSG-9) German Federal Police, Jerman Barat (1981); Shooting & Anti-Terror Instructor Training, Jerman Barat (1981); dan Royal Army Special Air Service (SAS), Inggris (1981).
Dia juga menjalankan beberapa tugas operasi, di antaranya sebagai Komandan Peleton Batalion Siliwangi di Kalimantan Barat, pada Operasi Pemberantasan dan Penumpasan PGRS/Paraku (1972) dan Komandan Tim C Group 1 Para Komando Satuan Lintas Udara Operasi Seroja, Kopassus di Timor Timur (1975).
Sejalan dengan jenjang penugasan kedinasan dan operasi serta pendidikan dan latihan yang telah ditempuhnya, pangkat dan jabatannya pun terus menanjak. Pangkatnya terus naik, mulai dari Letnan Dua Inf (1970), Letnan Satu Inf (1973), Kapten Inf (1975), Mayor Inf (1980), Letnan Kolonel Inf (1983), Kolonel Inf (1990), Brigadir Jenderal TNI (1995), Mayor Jenderal TNI (1996), Letnan Jenderal TNI (1997), hingga Jenderal TNI (1999).
Demikian juga jenjang kariernya, setelah diawali sebagai Komandan Peleton, kemudian naik menjadi Komandan Kompi A Group 1 Para Komando, Kopassus (1973); Perwira Operasi pada Pusat Intelijen Strategis/Pusintelstrat; Perwira Operasi Satuan Tugas/Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI; Komandan Pertama Detasemen 81 Anti Teroris Kopassus (1981); Komandan Pertama Proyek Rajawali Pusat Intelijen Strategis/Pusintelstrat, BAIS ABRI (1983); Komandan Satuan Pengamanan Presiden RI/VVIP KTT ASEAN Manila, Filipina (1984); Komandan Pertama Proyek Charlie/Proyek Intelijen Teknik Detasemen 81 Anti Teroris Kopassus (1985).
Lalu menjabat Komandan Sekolah Pusdik Para Lintas Udara (Pusshandalinud), Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus), Kopassus (1987); Asisten Operasi (Asops) Kopassus (1989); Komandan Group 3 Sandhi Yudha Kopassus, (1990); Komandan Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus), (1993); Komandan Korem 081/Dhirotsaha Jaya, Madiun, Jawa Timur, dimana dia meraih prestasi sebagai Komandan Korem Terbaik 1995; Wakil Komandan Pusat Persenjataan Infanteri; Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Pussenif) TNI-AD (1996-1997); dan Komandan Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Darat (Kodiklat TNI AD) (1997-1999).
Setelah itu, dia ditugaskan menjadi Duta Besar RI Berkuasa Penuh Untuk Singapura (1999 – 2000) pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie. Kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid memberinya kepercayaan menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Kabinet Persatuan Indonesia (24 Agustus 2000–22 Juli 2001).
Setelah itu, sebagai seorang jenderal visioner, dia melihat peluang bisnis, di samping pengabdian sosial, sebagai bagian perjuangannya dalam rangkaian Mimpi Indonesia. Dia pun mengawali bisnis di bidang enerji dengan mendirikan PT Toba Sejahtra pada tahun 2004. Luhut melihati bahwa potensi sumber energi di Indonesia sangatlah besar. Bukan hanya enerji fosil (tidak terbarukan), melainkan juga energi terbarukan.
Bisnisnya di bawah bendera Toba Sejahtera Group pun berkembang hingga memiliki lima bidang yakni: 1) Toba Power dengan dua anak perusahaan PT. Pusaka Jaya Palu Power dan PT. Kartanegara Energi Perkasa; 2) Toba Batubara dengan lima anak perusahaan PT. Toba Bara Sejahtra, Tbk, PT. Adimitra Baramata Nusantara, PT. Indomining, PT. Trisensa Mineral Utama dan PT Kutai Energi; 3) Toba Oil & Gas dengan dua anak perusahaan PT. Energi Mineral Langgeng dan PT Fairfield Indonesia; 4) Toba Perkebunan dan Kehutanan, tiga anak perusahaan PT Perkebunan Kaltim Utama I, PT. Tritunggal Sentra Buana dan PT. Adimitra Lestari; 5) Toba Properti & Infrastruktur dengan anak perusahaan PT Toba Pengembang Sejahtra yang saat ini tengah membangunan “Sopo Del Office Tower, Hotel & Lifestlye” – sebuah properti premium yang memiliki Grade-A dan Platinum-rated Green Building terletak di tanah seluas 1,7 hektar di kawasan central business district bergengsi Mega Kuningan. Proyek ini dijadwalkan selesai pada awal 2016. (Bersambung: Chairman Toba Sejahtera Group). Ch. Robin Simanullang | TokohIndonesia.com