Melukis Mengikuti Kata Hati
Hardi
[ENSIKLOPEDI] Meski sering digolongkan sebagai pelukis beraliran ekspresionis, seniman lukis dan budayawan Indonesia ini mengaku bahwa ia melukis hanya mengikuti kata hati, tanpa ada konsep yang bersifat baku. Karena mengikuti kata hati pula, Ketua Umum Seniman Indonesia Antinarkoba ini tak segan-segan mengkritik keras tingkah polah sesama seniman termasuk para pejabat pemerintah.
Pelukis senior ini dikenal memiliki kepribadian yang terbuka, blak-blakan, bahkan terkadang meledak-ledak. Karyanya terdiri dari beragam tema dan obyek dari yang bernilai filosofis, historis, religius hingga yang bernilai sosial, humanistik, dan politik. Berbagai tema itu menjelma dalam bentuk seni grafis, lukisan, kolase foto seni dan sketsa hitam putih.
Hardi mengasah kemampuannya di bidang seni lukis saat bermukim di Ubud, Bali sekitar tahun 1970. Kala itu, ia kerap menghabiskan waktunya untuk berkumpul dan menggali ilmu dengan beberapa rekannya seperti W Hardja dan Anton Huang. Tak cukup belajar secara otodidak, pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, 26 Mei 1951 ini kemudian hijrah ke Surabaya untuk belajar di Akademi Seni Rupa. Selanjutnya di tahun 1971, ia kuliah di STSRI ASRI Yogyakarta. Empat tahun kemudian Hardi terbang ke negeri Belanda guna melanjutkan studinya di De Jan Van EYC Academie di Maastricht. Dalam perjalanannya merintis karir di bidang senirupa, selain belajar melukis secara formal, ia juga berguru kepada Daryono, Fadjar Sidik, Widayat, Prof. Hans Seur, Prof. Pieter De Fesche, Nyoman Gunarsa, dan Drs. Sudarmadji, hingga akhirnya siap berkiprah di dunia seni sebagai pelukis profesional.
Hardi mengasah kemampuannya di bidang seni lukis saat bermukim di Ubud, Bali sekitar tahun 1970. Kala itu, ia kerap menghabiskan waktunya untuk berkumpul dan menggali ilmu dengan beberapa rekannya seperti W Hardja dan Anton Huang.
Sejak tahun 1976, hampir setiap bulan Hardi menggelar pameran baik tunggal maupun bersama para pelukis lain di dalam dan luar negeri, seperti di Heerlen Belgia, Taman Ismail Marzuki, Bentara Budaya, Balai Budaya, Komala Galery Ubud, Wisma Seni Depdikbud, Hotel Sahid, dan masih banyak lagi. Setidaknya ada ratusan pameran yang telah ia ikuti. Karya-karyanya pun banyak dikoleksi sejumlah tokoh terpandang, mulai dari rekan sesama seniman, pengusaha, hingga pejabat pemerintahan. Hasil sapuan kuasnya pun dipajang di berbagai tempat antara lain Museum Purna Bhakti Pertiwi, Museum Neka Ubud, Balai Senirupa DKI, Dinas Kebudayaan DKI, Yayasan Pengembangan Bisnis Indonesia, Museum Seni Rupa, Bank Indonesia, Taman Ismail Marzuki, Wisma Seni Nasional, Bentara Budaya, hingga PT. Coca Cola.
Sepanjang karirnya sebagai pelukis, Hardi sudah kenyang mengecap pahit manis pengalaman hidup. Salah satu pengalaman yang kurang menyenangkan adalah peristiwa yang terjadi pada 5 Desember 1978. Ketika itu pelukis yang terlahir dengan nama Raden Soehardi Adimaryono ini harus mendekam di tahanan Laksusda Jaya lantara lukisan foto dirinya, berukuran 60 x 30 cm, dengan pakaian jenderal berbintang yang bertajuk Presiden tahun 2001, Soehardi. Lukisan tersebut merupakan protes dan perlawanan sekaligus tantangannya kepada penguasa Orde Baru yang represif dan militeristik. Beruntung bagi Hardi, ia tak harus merasakan dinginnya dinding penjara selama bertahun-tahun. Berkat bantuan Adam Malik yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Presiden, Hardi pun dapat kembali menghirup udara bebas.
Pada 18 April-18 Mei 1999, ia mengadakan pameran tunggal di Graha Budaya Indonesia di Tokyo. Kemudian pada akhir Mei 2008, ia mengikuti pameran bersama bertajuk Manifesto. Dalam pameran yang digelar di Galeri Nasional itu, Hardi menghadirkan karya bertema tersangka terorisme berjudul Waiting For The Death Penalty. Selanjutnya, pada 17-26 Juli 2011, ia menggelar pameran lukisan dan peluncuran buku berjudul Pameran Seni Rupa Retrospektif Hardi 60 Tahun. Acara yang diadakan dalam rangka memperingati usianya yang memasuki 60 tahun itu dihelat di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Pameran tersebut dibuka secara resmi oleh Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Kemenbudpar, Ukus Kuswara, yang mewakili Menteri Kebudayaan dan Pariwisata saat itu, Jero Wacik. Di mata menteri berdarah Bali itu, Hardi merupakan tokoh seniman Indonesia yang berkarakter, bersikap fair dan objektif dalam mengamati perkembangan masyarakat dan bangsa ini dari waktu ke waktu. Jero juga menilai Hardi sebagai sosok yang tak gentar melontarkan pikiran dan komentar kritis dan tajam jika melihat sebuah kekurangan. Namun, jika melihat sebuah upaya perbaikan yang mengarah pada kemajuan negeri ini, tanpa sungkan dan segan ia pun siap mengakui, memuji dan mendukung secara total.
Pujian lain juga datang dari salah satu sahabat dekatnya, mantan wartawan yang menjadi Sekjen Partai Gerindra, Fadli Zon. Fadli menilai sosok Hardi sebagai seniman yang mempunyai kepercayaan diri sangat tinggi, serta tak mau takluk pada industri lukisan yang kaya rekayasa. Namun, di usia menembus 60 tahun, Fadli melihat Hardi jauh lebih bijaksana. Pengalaman masa lalu yang penuh mozaik itu, menjadikannya seorang yang arif dengan bumbu kritik Hardi tetap terasa di sana sini.
Pemilik penerbit Fadli Zon Library itu bahkan menilai Hardi sebagai seorang maestro di dunia seni rupa Indonesia. Pelukis Affandi bahkan menempatkan Hardi sebagai seorang pelukis terbaik Indonesia. Nama Hardi disejajarkan oleh Affandi dengan pelukis ternama Tanah Air seperti S Sudjojono, Basuki Abdullah, Sudarso, Rusli, But Mochtar, Sadali, Srihadi dan Popo Iskandar.
Pengamat seni rupa Sri Warso Wahono juga tak mau ketinggalan memberikan sanjungan pada Hardi. Menurutnya, sudah sepantasnya Hardi menggelar pameran retrospektif karena dari 60 tahun usianya, 40 tahun diantaranya dihabiskan di dunia seni rupa. Dari pameran penting itu banyak pihak akan bisa menyaksikan totalitas kesenimanannya lengkap dengan karya seni yang telah diciptakannya.
Pendapat senada juga dilontarkan Ketua BP TIM, Teguh Widodo yang berujar “Pelukis Hardi sekarang ini telah menjadi ikon budaya Indonesia. Gaung berita tentang diri berikut karya-karyanya telah tersiar di mana-mana. Hardi mampu membuka ruang dan cakarawala kreativitas seni rupa di Indonesia”.
Meski kerap digolongkan sebagai pelukis beraliran ekspresionis, Hardi mengaku bahwa selama puluhan tahun berkarya, ia hanya melukis mengikuti kata hati, tanpa ada konsep yang bersifat baku. Hardi hanya berharap karya-karyanya dapat bermanfaat bagi orang banyak. Karena mengikuti kata hati pula, ia lantang menyuarakan kritiknya tak hanya pada dunia seni yang selama ini menjadi wadah kreativitasnya, namun juga secara khusus menyoroti tingkah polah para penguasa negeri ini.
Di bidang seni, Hardi pernah mengecam galeri yang suka mengorbitkan pelukis. Menurutnya, pengorbitan itu tidak selalu terkait dengan mutu. Hardi mengaku, sekarang sulit berpameran di Galeri Nasional padahal dalam pengamatannya, pelukis lain mudah saja berpameran. Ia kemudian mencibir istilah kurator independen yang menurutnya menjadi kepanjangan tangan cukong.
Ia bahkan menyangsikan kredibilitas para kurator tadi, yang hanya gemar memberi pengantar namun dengan teori mengutip sana-sini. Kurator seperti itu biasanya tidak membahas karya. Meski, ia mengakui, kurator yang sebenarnya-tidak independen itu membantu pelukis. Tapi, yang utama, Hardi mengkritik karya-karya seni kontemporer yang mulai kehilangan gairah realitas sosial. Ia mengingatkan, ada tujuh bom di Indonesia sejak tahun 2000, dan nyaris tidak ada seniman yang menjadikan peristiwa dahsyat itu sebagai sumber inspirasi.
Kata Hardi, itu karena banyak seniman kontemporer yang tenggelam dalam penjelajahan estetisnya. Mereka menikmati dunianya sendiri. Lucunya, menurut Hardi, fenomena itu makin mewabah pasca reformasi, ketika seniman mendapat ruang lebih luas untuk berkarya. “Mereka hanya menghasilkan karya figuratif, terkungkung dalam kotak. Tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kebebasan,” ucap Hardi seperti dimuat dalam situs gatra.com.
Menurutnya, fenomena itu bahkan sudah sampai pada tahap hegemonik. Hardi menyinggung hegemoni itu lewat sket karya berjudul Republik Islam Indonesia 2015. Semuanya berpakaian putih dengan serban ala Front Pembela Islam (FPI). Mereka dibalut pakaian khas FPI, kata Hardi, bukan karena fundamentalis Islam. Melainkan karena ia berusaha menunjukkan bahwa setiap orang juga punya potensi hegemonik. Hardi mengakui, tidak semua orang setuju dengan pendapat atau karya-karyanya. Tapi ia tidak ambil pusing. “Saya menunggu orang yang mengerti karya saya,” katanya.
Hardi kembali melontarkan kritiknya pada para budayawan pasca reformasi yang dinilainya kerap dimanfaatkan oleh kepentingan politik sehingga lupa pada jatidirinya. “Mereka tidak lagi membuat karya. Mereka hanya bisanya mengkritik. Dan mereka lupa bahwa jati dirinya sebagai budayawan,” kata Hardi seperti dikutip dari situs jurnas.com.
Ia berpendapat, seorang budayawan sejati tidak melakukan kritik yang tidak menggunakan etika. Tampil di depan televisi menjelek-jelekan seseorang bahkan menjelekkan Presiden. Seharusnya bukan seperti itu. Hardi mencontohkan para budayawan senior yang mengkritik melalui karya. Dengan begitu, mereka tetap mengkritik sekaligus memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Masih menurut Hardi, andaikan seniman dan budayawan sekaliber Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, dan Sutan Takdir Alisjahbana masih hidup, mereka mungkin akan malu melihat para budayawan berperilaku demikian. Mereka juga tidak akan berperilaku seperti apa yang dilakukan oleh budayawan-budayawan saat ini seperti Arswendo Atmowiloto, Sujiwo Tedjo, Slamet Rahardjo, dan Butet Kartaredjasa, yang hanya mengejek keadaan. “Mengkritik tidak dengan cara menghina tapi langsung melalui karya. Mereka menurut saya seperti badut politik yang diarahkan untuk menghantam presiden dengan dibayar murah,” lanjut Hardi.
Sikap seperti itu hanya akan merusak citra mereka sebagai budayawan. Selain itu, mereka juga sudah tidak memikirkan untuk berkarya lagi dengan kata lain mengalami kemandulan ide. Maka mereka akan mencari popularitas dengan tampil di TV, dan hal tersebut akan sangat meresahkan. Sebagai budayawan dan seniman kawakan, Hardi meminta para juniornya tadi agar memiliki rasa malu dan dapat berperilaku selayaknya seorang budayawan sejati.
Pada April 2011, namanya tiba-tiba mencuat dalam berbagai pemberitaan di media massa lantaran lukisannya yang menggambarkan orang sedang buang hajat di atap gedung DPR. Hardi menegaskan bahwa karyanya yang kontroversial tersebut sebagai cermin bahwa gedung DPR tak lebih dari WC umum karena anggotanya buang hajat di lembaganya sendiri. Lukisan itu sendiri dibuat setelah berhembusnya wacana pembangunan gedung baru DPR yang menelan biaya hingga triliunan rupiah. Hardi menilai kelakuan para anggota dewan yang memaksakan diri melanjutkan pembangunan gedung baru membuat lembaga ini tidak lagi dipercaya rakyatnya sendiri.
Bukan hanya para anggota dewan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun tak lepas dari kritikan tajamnya. Hardi menilai terlalu banyak pemimpin Indonesia yang lembek, termasuk SBY, lantaran enggan menggunakan kewenangannya untuk memerintah. Menteri amburadul dan jalan sendiri-sendiri, tidak tangkas menangani bangsa yang sedang pancaroba. “Ini krisis kepemimpinan, legislatif, yudikatif, eksekutif, termasuk SBY, terlalu lembek,” kata Hardi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu, 18 Juni 2011 seperti dilansir situs tempo.com.
Ia kemudian mempertanyakan apakah dengan kondisi yang demikian, Indonesia bisa bertahan. Hardi menambahkan, masyarakat juga jangan terlalu percaya diri bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila adalah harga mati bagi seluruh warga negara. Pasalnya, banyak yang sudah melupakan Pancasila dan sejarah. Dalam kesempatan itu, ia juga mengkritik politikus Indonesia yang tak memahami filsafat dan logika. Ia berpendapat, sistem pendidikan saat ini yang tak mengajarkan filsafat dan logika sejak dini menjadi akar permasalahannya.
Di usianya yang telah senja, ia masih sibuk menghasilkan karya-karya indah dan penuh makna, memberikan kritikan yang membangun pada apa yang dinilainya menyimpang. Pelukis yang pernah dinobatkan sebagai tokoh Whos Who Asia dari televisi NHK, Jepang ini juga aktif sebagai Ketua Umum Seniman Indonesia Antinarkoba, salah satu wadah di Badan Narkotika Nasional. muli, red