Surat Bismar ke Pak Harto
Bismar Siregar
[ENSIKLOPEDI] Dalam sepucuk surat panjang yang ditulisnya untuk Pak Harto (14/5) yang sedang dirawat di RSP Pertamina, Bismar menumpahkan perasaan empatinya kepada bekas presiden 32 tahun itu. Bismar menyatakan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Pak Harto dan keluarga besarnya.
Surat Bismar dan keluarganya lebih banyak mengadu dan menyampaikan doa: “Ilahi Rabbi, bilamana kami tanpa iman kepada-Mu melihat seseorang sakit, sering lupa memahami apa yang terjadi dalam silih bergantinya malam dan siang, tidak ada yang terjadi kecuali seizinMu. Kini kami lebih memahami makna, apa yang terjadi atas diri hambaMu Soeharto, tiada lain menguji iman dan taqwa. Jadikan kami sebagai umat sekaligus bangsa yang saling mencintai antar sesama.”
Bismar sangat memahami betapa Pak Harto, dalam usia yang sangat lanjut, telah menemukan nilai dirinya di hadapan Allah SWT. (Pak memasuki usia 85 tahun dalam kalender Masehi, atau 88 tahun dalam kalender Islam). Dan Bismar percaya pada makna usia seperti diwasiatkan Rasullullah Muhammad SAW: “Bila seseorang mencapai usia 80 tahun, dan ia beriman, Allah menghapuskan seluruh dosa sebelumnya dan dia dikembali ke keadaan seperti anak-anak yang suci.” Konon, mendekati bilangan 88 tahun, Bismar menjadi penyaksi betapa besar iman dan taqwa Pak Harto menerima cobaan Allah SWT.
Bismar teringat suatu saat ketika bersilaturrahim pada Pak Harto. Dan Pak Harto bertanya: “Sdr. Bismar dalam keadaan saya seperti sekarang ini harus mengalami cobaan, apa dan bagaimana sikap saya?” Kesan Bismar menangkap pertanyaan tersebut, terasa benar Pak Harto merindukan pegangan agar selalu mengingatkannya kepada Sang Khalik. Jawab Bismar: “Jangan abaikan mengembalikan segala sesuatu yang terjadi kepadaNya seraya berkata, “tidak percuma Dikau jadikan ini Ilahi, kecuali ada hikmah terkandung di dalamnya. Ikhlas aku serta berucap Alhamdulillah. Bismar mengingatkan Pak Harto bahwa dzikir yang paling mulia di hadapan Allah ialah tahmid kepada-Nya.
Bismar mendengar langsung ungkapan Pak Harto betapa dia sangat mencintai sesama. Tidak pernah sakit hati atas apapun yang terjadi, pasrah sepenuh pasrah, meskipun menerima caci maki, fitnah, prasangka tidak baik dan demo. Pak Harto berkata telah memaafkan kesalahan mereka, dan tidak pernah sakit hati kepada mereka. Pak Harto percaya bahwa sifat memaafkan jauh lebih baik di mata Allah daripada menyimpan dendam.
Bismar selalu bertanya-tanya: “Mengapa di antara se-sama yang mengaku umat Muhammad menyimpan dendam kepada beliau, dengan alasan dosanya sangat besar sampai bersimpul “tiada maaf baginya?” Bismar merasa sungguh percuma menyampaikan, bila diterapkan akhlak Islam, di negara yang mengaku lahir dan ada atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa ini, dalam waktu singkat. tidak perlu berhitung tahunan, kemakmuran akan dinikmati oleh sebagian besar umat dan bangsa ini.
Tulis Bismar, bila umat/bangsa ini bernalar sebatas akal walau Iahiriah begitu kental kemuslimannya, namun alpa memahami makna pesanMu dalam Surat Al-A’raf 7:179: “Benar, jika ia hanya mengandalkan akal ia akan lebih jahat dari binatang yang tidak berakal.” Sungguh, manusia Indonesia sekarang ini, llahi tidak terkira yang berprilaku Iebih jahat dari binatang, ia Dikau karuniai mata tetapi telah buta, Dikau karunia telinga tetapi telah tuli, Dikau karunia hati tetapi telah mati-rasa. Benar sungguh banyak manusia di antara kami ini tergolong yang demikian, berkenankah Dikau mengampuninya?
Tentang maaf-memaafkan, hati Bismar sering menjerit, sambil berdoa memohon belas kasih dan ampunan Allah, “untuk membukakan hati, telinga dan mata kami mampu merasakan, mampu mendengar dan mampu melihat yang dialami sebagian besar bangsa kami yang semakin terpuruk dalam kemiskinan.” Bangsa yang miskin lahiriah dan batiniah. “Jangan biarkan pemimpin kami membohongi rakyat yang sangat merindukan kejujuran para Imam tanpa kecuali,” tulis Bismar. Bismar mendoakan agar mereka sadar atas makna amanah yang mereka emban, seperti yang dipesankan Nabi Muhammad SAW: “setiap kamu adalah Imam terhadap diri, keluarga dan masyarakat.” Singkatnya, kelak tidak ada yang luput dari pertanggung-jawaban.
Benar, saat melihat serta mendengar tingkah laku di antara pemimpin, nyatanya banyak di antara mereka tergolong, “lain kata dengan perbuatan, dan bukankah Dikau sebut yang demikian tergolong munafik?” Bismar merasa ngeri setelah memahami makna kemunafikan dalam pandangan Allah, tergolong hamba yang paling Dikau benci-murkai. Tulis Bismar, tidak salah bila sampai sekarang ini setelah Orde Reformasi menjadi landasan perjuangan, hari depan bangsa ini bukan semakin jelas dan terang, justru sebaliknya, semakin kelabu menuju kekelaman.
Bismar mengungkap pertanyaan timbul dalam hatinya; bila dan kapankah keadaan ini Dikau akhiri? JawabanMu mungkin sederhana saja, “bila dan kapan hambaKu bertobat minta ampunan atas dosa-kesalahan, baik pribadi maupun dosa sosial. Hal yang mustahil sekarang ini, karena bukankah saat seorang di antara hambaMu Bismar merasa bangsa ini sedang diuji sebanding dengan ujian yang dihadapi Pak Harto yang cukup lama disakiti batinnya oleh mereka yang sebelumnya sering menyanjung dan memujanya, kini berbalik menghujat serta memojokkannya. Dia mengutip pesan leluhurnya : “Molo monang marjuji sude mandok lae, alai molo talu marjuji sude situnjang na’ gale” (Kalau menang main judi semua memanggil Lae, tetapi kalau kalah berjudi semua menendang karena tidak berdaya).
Bismar hanya bisa mengadu pada Ilahi bahwa Pak Harto di matanya sudah dalam keadaan sekarat, menurut perhitungan manusia mustahil disembuhkan, “namun di antara kami masih ada yang demikian kuat dendam kebencian menjadikan dalil hukum jahiliah kepastian hukum untuk menyelesaikan nasib hambaMu,” kata mereka “penuh dosa?” Tidakkah Dikau berfirman: “Maafkanlah kesalahan sesamamu, walau ia tidak meminta maaf sekalipun kepadamu. Lupakanlah ketidak baikan sesamamu, serta ingatlah selalu kebaikannya.
Cintailah sesamamu, seperti mencintai dirimu.” Tetapi itu tidak mempan bagi mereka, alasannya itu urusan nanti, yang perlu sekarang dosanya harus di pertanggungjawabkan.
“Naudzubillah min zalik, ucap demikian keluar dari mulut yang mengaku muslim.” Bismar masih bertanya, “Telah sirnakah iman dan taqwa kami bahwa memaafkan kesalahan sesama, tidak diminta apalagi diminta, merupakan perbuatan yang sangat mulia di mataMu, karena Dikau selalu berkata Aku ghafururrahiim.” Kami telah membudayakan budaya setan-dajjal, selalu berkata “tiada maaf bagimu.”
Terhadap golongan demikian, tulis Bismar, Dikau peringatkan, sekira hambaMu berkata demikian terhadap sesamanya Dikaupun menyahut : “Tiada maaf baginya.” Bismar tidak melupakan sabda indah Nabi Muhammad: “Sekiranya seorang di antara hambaMu tidak pernah beribadah kepadaMu, satu saat ia merindukanMu dan ia tidak menyirikkanMu, Dikau berkata: “Setiap saat dari terbitnya fajar pagi hari sampai datangnya malam serta dari tenggelamnya malam sampai terbitnya fajar, ditunggui olehMu karena cintaMu melebihi cinta seorang ibu yang melahirkannya, Dikau ghafururrahim. “Mengapa kami masih memisahkan serta membedakan maaf kepada sesama manusia sangat bergantung dari mohon maafnya Soeharto? Inikah akhlak Islam?”
Bismar juga mengadu, “Mengapa Ilahi Rabbi tersimpan rasa dendam dan benci dalam hati kami seperti sekarang ini, ribut seakan tidak terselesaikan. Banyak pro dan kontra, dan bukankah saat-saat sekarang ini semustinya Majelis Ulama tampil ke depan memberi fatwa sesuai akhlak Islam? Mengapa mereka seakan diam seribu bahasa, bahkan ada yang sampai bersebut tiada maaf bagi Soeharto kecuali ia dengan jujur memohon maaf atas kesalahan yang pemah dilakukannya, serta mengembalikan harta yang di”jarahnya”? Demikian hukum yang ingin diterapkan mereka yang mengutamakan penyelesaian secara hukum dunia dahulu, maaf-memaafkan urusan kemudian. MTI-SH | Bio TokohIndonesia.com