Pelopor Industri Film Nasional
Djamaluddin Malik
[ENSIKLOPEDI] Berkembangnya perfilman di Tanah Air tak bisa dilepaskan dari peran Djamaluddin Malik. Produser film, pengusaha, dan politisi ini merintis pondasi industri film nasional dengan mendirikan perusahaan film pertama di Indonesia, mendorong film lokal untuk tampil dalam ajang internasional, hingga menghelat acara penghargaan bagi para sineas. Berkat perjuangannya membela Tanah Air lewat jalur kesenian, Pemerintah RI mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional.
Sebelum terjun ke dunia perfilman, produser kelahiran Padang, 13 Februari 1917 ini awalnya bekerja sebagai pegawai maskapai pelayaran Belanda (KPM), serta bekerja di sebuah perusahaan dagang di zaman kolonial Belanda. Dari pengalamannya bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda tersebut, ia mendapatkan pengetahuan yang mendalam mengenai kiat berdagang dan manajemen perdagangan modern. Meski bekerja pada penjajah, Malik tetap mempertahankan sikap nasionalismenya dengan ikut melakukan perlawanan demi memperjuangkan kemerdekaan.
Pada tahun 1942, ketika terjadi perebutan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang di mana semua aset dan kekuasaan Belanda diambil-alih oleh Jepang, ia mulai turut memperjuangkan kemerdekaan dengan mendirikan kelompok sandiwara Pantja Warna yang didirikannya bersama sang istri, Farida Al-Hasni. Kelompok itu menggelar pementasan dengan cara berkeliling di berbagai kota, antara lain Jakarta, Priangan, Surabaya, hingga kota-kota di Pulau Kalimantan. Ketika tampil di Jakarta tepatnya di Garden Hall, mereka mementaskan sandiwara berjudul Ratu Asia. Melalui Pantja Warna, Malik dkk tak hanya menyuguhkan hiburan bernilai seni namun juga menyisipkan pesan kecintaan pada Tanah Air serta membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia di berbagai pelosok.
Selain terjun di dunia seni, Malik juga piawai mengelola bisnis. Ia pernah menjabat sebagai Presiden Direktur Biro Teknik Prapatak yang bergerak dalam bidang instalasi listrik, radio, menjual kulkas, mesin-mesin ketik dan hitung, serta Presiden Direktur PT. Cimalaka, sebuah pabrik tenun di Sumedang, Jawa Barat. Bakat wirausahanya berkembang dengan modal finansial yang memadai, sehingga dalam waktu yang relatif singkat, ia termasuk pengusaha sukses di zamannya.
Pada tahun 1951, Malik mendirikan PT. Persari (Perseroan Artis Indonesia) yang merupakan perusahaan film pertama di Indonesia. Di perusahaan yang awalnya hanya berupa sebuah studio film kecil dan sangat sederhana itu, Malik menjabat sebagai Presiden Direktur. Lama kelamaan studio film yang berlokasi di bilangan Polonia, Jatinegara itu berkembang pesat dengan menempati areal tanah yang sangat luas dan memiliki sarana yang lengkap, baik untuk latihan, shooting, dan pertunjukan film dan drama.
Studio itu juga dilengkapi dengan perumahan para artis. Sejak awal ia memang ingin mengangkat kehidupan para artis, yang kebanyakan baru meniti karir dalam asuhannya sendiri. Perusahaan Malik juga sering dijadikan tempat pertemuan para seniman, budayawan, hingga alim ulama.
PT Persari sangat produktif menghasilkan film, dengan produksi rata-rata delapan film setahun, sehingga ia tampil sebagai produser film pribumi terbesar saat itu. Film pertama yang dibuatnya di tahun 1950-an belum sepenuhnya berwarna dan proses pencuciannya pun masih harus dilakukan di luar negeri. Walau film Indonesia yang sepenuhnya berwarna secara resmi baru berhasil dibuat tahun 1968, namun sebenarnya Persari telah menghasilkan tiga buah film berwarna yaitu Rodrigo de Villa (1952) dengan bintang Raden Mochtar, Leilani (1953), dan Tabu (1953) yang seluruhnya dilaksanakan di Filipina.
Pada tahun 1951, Malik mendirikan PT. Persari (Perseroan Artis Indonesia) yang merupakan perusahaan film pertama di Indonesia. Di perusahaan yang awalnya hanya berupa sebuah studio film kecil dan sangat sederhana itu, Malik menjabat sebagai Presiden Direktur. Lama kelamaan studio film yang berlokasi di bilangan Polonia, Jatinegara itu berkembang pesat dengan menempati areal tanah yang sangat luas dan memiliki sarana yang lengkap, baik untuk latihan, shooting, dan pertunjukan film dan drama.
Pada 1962, Persari bekerjasama dengan Sampguita (Filipina) untuk memproduksi lagi film berwarna yang karyawan maupun artisnya berasal dari Indonesia dan Filipina. Film tersebut kemudian diedarkan dengan menggunakan tiga bahasa, yakni Indonesia, Tagalog dan Inggris. Selama memimpin Persari, sedikitnya 59 judul film telah dihasilkan Malik. Film terakhir yang diproduksinya adalah Menyusuri Djejak Berdarah yang dirilis tahun 1967.
Selain meramaikan dunia perfilman Tanah Air dengan karya-karyanya, Malik juga kerap menyumbangkan gagasannya demi kemajuan film Indonesia. Ayah dari pedangdut Camelia Malik ini merupakan tokoh perfilman Indonesia pertama yang menganjurkan agar film Indonesia diikutsertakan dalam festival internasional. Walaupun film-film lokal kala itu dinilai belum memiliki potensi sedikit pun, ia tetap mendesak agar film Indonesia diikutsertakan dalam festival internasional. Keinginan Malik akhirnya terlaksana dengan tampilnya film produksi anak negeri ini untuk pertama kalinya dalam sebuah festival film internasional yang digelar di Tokyo, Jepang.
Di mata para sahabat, sosok Djamaluddin Malik dikenal sebagai figur yang dermawan. Ia tak sungkan menolong siapa pun yang membutuhkan uluran tangannya. Malik bahkan membuka rumahnya selama 24 jam bagi siapa saja yang sedang kesulitan. Para seniman yang kerap berkumpul di Pasar Senen membicarakan berbagai problema bangsa sering merasakan kemurahan hati Malik, baik sekadar untuk minum kopi, membeli buku, menonton sandiwara, hingga memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Malik memberi tidak hanya kepada orang yang dianggap miskin. Pertunjukan kesenian juga banyak yang dibiayai Djamaluddin Malik secara pribadi. Hal itu dimaksudkan untuk memacu perkembangan seni budaya nasional yang waktu itu sedang pada tahap rintisan. Pada tahun 1955, ia memprakarsai penghargaan bagi insan perfilman yakni Festival Film Indonesia. Demi mewujudkan keinginan tersebut, ia tak segan-segan merogoh koceknya sendiri untuk menggelar ajang bergengsi yang hingga kini masih bertahan itu.
Ia juga mendirikan organisasi yang menaungi para produsen film Indonesia dengan nama Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Sebagai penghargaan atas dedikasi dan kontribusinya pada dunia film, nama Djamaluddin Malik bahkan pernah diabadikan menjadi nama penghargaan bagi para sineas berbakat di masa itu.
Kesibukan yang luar biasa baik di dunia film dan bisnis belakangan membuat Malik merasa jauh dari agama. Hingga ia sampai pada suatu titik dimana ia seakan mengalami kekeringan dan kemiskinan rohani di tengah kekayaan materi yang melimpah. Menyadari hal itu akan membahayakan bagi keseimbangan hidupnya, Malik memutuskan untuk melakukan perjalanan rohani ke Tanah Suci untuk mengisi kehausan rohaninya dengan menunaikan ibadah haji. Hal itu kemudian turut mengilhami lahirnya film Tauhid yang diproduksinya.
Ketika berada di Tanah Suci itulah, timbul kesadarannya bahwa dirinya harus juga mengabdikan diri kepada kepentingan masyarakat dan agama. Maka ketika kembali ke Tanah Air tahun 1952, ia memilih Nahdlatul Ulama (NU) untuk berkiprah. Walaupun aktif di NU, aktivitasnya di dunia film tidaklah berhenti. Justru melalui NU itulah, dia ingin dunia film bisa lebih berkembang. Beberapa pengurus NU di daerah bisa menutupi biaya aktivitas politik dan kebudayaan organisasi dengan menjadi distributor film yang dibuatnya.
Kiprahnya di salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia itu juga merupakan bagian dari misinya berjuang lewat kesenian. Dalam sebuah kesempatan seperti dikutip dari situs Taman Ismail Marzuki, Malik pernah berujar, “Kesenian sangat penting sebagai sarana perjuangan melawan kezaliman dan kemungkaran yang banyak dilakukan oleh PKI dengan lembaga kebudayaannya”.
Atas dasar itu, berdirilah Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang merupakan tandingan dari Lembaga Kesenian Rakyat bentukan Partai Komunis Indonesia. Pada kongres pertama di Bandung tahun 1962, Djamaluddin Malik dikukuhkan sebagai Ketua Umum Lesbumi dengan dibantu Usmar Ismail sebagai ketua I dan Asrul Sani ketua II. Namun posisinya di lembaga itu digantikan Usmar Ismail setelah ia terpilih sebagai Ketua II PB Partai NU.
Tak hanya terlibat di organisasi keagamaan dan kesenian, Malik juga pernah berkiprah sebagai pejabat pemerintahan ketika menjabat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung. Tahun 1958, akibat aktivitasnya di bidang politik, Malik sempat mendekam di penjara karena dituduh bersimpati pada pemberontakan PRRI di Sumatera. Namun ia tak lama mendekam di hotel prodeo, karena secara logika, tak mungkin orang NU terlibat, sebab NU secara resmi mengutuk pemberontakan tersebut.
Pelopor industri film nasional ini berpulang ke rahmatullah pada 8 Juni 1970 di Munich, Jerman, saat tengah berobat. Jenazahnya disemayamkan di pekuburan Karet, Jakarta. Tiga tahun setelah kepergiannya, Pemerintah RI berdasarkan Keputusan Presiden mengukuhkan Malik yang pernah melakukan perjuangan membela Tanah Air lewat jalur kesenian sebagai Pahlawan Nasional dan menganugerahkannya Bintang Mahaputra Kelas II/Adipradhana. eti | muli, red